DPR Belum Beri Perhatian pada Isu Keadilan Elektoral
Dalam pembahasan draf RUU Pemilu, isu tentang keadilan pemilu belum banyak disinggung di DPR. Fraksi-fraksi di DPR dinilai masih lebih tertarik pada isu-isu praksis bagaimana agar diuntungkan dalam norma UU Pemilu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat belum memberikan perhatian terhadap isu keadilan elektoral. Dalam pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Pemilu, Komisi II DPR belum menyentuh isu tersebut secara mendalam. Rancangan masih berkutat pada isu-isu yang terkait erat dengan kemungkinan raihan kursi setiap partai dalam pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, isu keadilan elektoral dipandang krusial oleh Komisi II. Namun, isu itu belum sepenuhnya dibahas mendalam oleh komisinya karena dalam penyusunan RUU Pemilu, fraksi-fraksi cenderung fokus kepada tema-tema yang terkait langsung dengan kepentingan mereka meraih kursi atau suara.
Fraksi-fraksi, antara lain, membahas tema terkait dengan ambang batas raihan suara untuk dihitung dalam perolehan kursi (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), dan besaran kursi daerah pemilihan.
Dalam diskusi daring bertema ”Memperkuat Keadilan Pemilu Melalui Penataan Sengketa Proses dalam RUU Pemilu” yang diadakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (26/7/2020), Arwani mengatakan, isu-isu mengenai keadilan pemilu seharusnya juga menjadi perhatian DPR.
Namun, belajar dari pengalaman penyusunan RUU sebelumnya yang memakan waktu lama, yakni setahun, Komisi II DPR menyepakati untuk menuntaskan dulu draf yang ada terkait dengan isu-isu krusial. Baru setelahnya, ketika draf itu tuntas diharmonisasi Badan Legislasi DPR dan diputuskan menjadi inisiatif DPR, dikirim kepada pemerintah, pembahasan mendalam bisa dilakukan bersama pemerintah.
”Memang isu tentang keadilan pemilu belum banyak disinggung teman-teman di DPR. Sebab, selalu saja teman-teman lebih tertarik pada isu-isu bagaimana agar diuntungkan dalam undang-undang atau norma dalam pemilu itu,” katanya.
Selain Arwani, turut pula sebagai narasumber dalam diskusi itu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Irvan Mawardi, dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Saya masih belum mengerti mengapa kalau pemilu yang menangani adalah PTUN, sedangkan untuk pilkada adalah PTTUN. Padahal, PTUN yang merupakan pengadilan tingkat pertama nilai putusannya final dan mengikat. Adapun untuk pilkada ditangani PTTUN, yang jumlahnya hanya empat dan hakimnya terbatas di Indonesia.
Irvan dalam kesempatan itu memaparkan celah penyelesaian sengketa proses pemilu yang selama ini terjadi dalam pemilu. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus Evi Novida Ginting, anggota Komisi Pemilihan Umum yang diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), juga dinilai perlu menjadi refleksi pembuat undang-undang. Sebab, dengan adanya putusan PTUN Jakarta itu, kini keppres yang memberhentikan Evi atas dasar adanya putusan DKPP menjadi batal.
”Seperti halnya yang terjadi dengan putusan PTUN Jakarta itu, sebenarnya adalah kejadian-kejadian yang bisa dianggap tidak terdeteksi. Namun, regulasi harus memberi kepastian hukum dengan tidak melupakan asas keadilan dan kemanfaatan,” kata Irvan.
Hal lain yang juga dipertanyakan ialah ketegasan batas kewenangan antara Badan Pengawas Pemilu, DKPP, PTUN, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dalam pemilu dan pilkada. Misalnya, perbedaan kewenangan antara PTUN dan PTTUN dalam penanganan sengketa proses dalam pemilihan. PTUN menangani sengketa proses dalam pemilu, sedangkan PTTUN menangani sengketa proses dalam pilkada.
”Ini yang saya masih belum mengerti, mengapa kalau pemilu yang menangani adalah PTUN, sedangkan untuk pilkada adalah PTTUN. Padahal, PTUN yang merupakan pengadilan tingkat pertama nilai putusannya final dan mengikat. Adapun untuk pilkada ditangani oleh PTTUN, yang jumlahnya hanya empat dan hakimnya terbatas di Indonesia,” kata Irvan.
Selain itu, fenomena pemberhentian calon anggota legislatif terpilih oleh partai politik untuk diganti dengan calon lain yang dikehendaki partai dengan alasan putusan pengadilan negeri (PN) menjadi salah satu persoalan yang mestinya dibahas mendalam oleh pembuat undang-undang.
Dengan demikian, kejadian semacam itu tidak terulang lagi. Sebab, kini PN seolah menjadi penentu bisa tidaknya seorang caleg terpilih dilantik. Putusan PN bisa saja membuat caleg yang seharusnya dilantik akhirnya batal dilantik karena hakim PN mengabulkan gugatan parpol atas diri caleg tersebut.
”Padahal, caleg itu, kan, terpilih melalui pemilu, dan ia mendapatkan suara rakyat. Seharusnya yang menentukan dilantik atau tidak dilantiknya caleg itu suara rakyat, bukan putusan PN. Kini, seolah-olah ada lembaga baru yang dapat ikut menentukan hasil pemilu, yakni PN, sekalipun caleg itu memperoleh suara rakyat,” ujar Irvan.
Tidak adanya hak banding bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga disoroti Irvan. Sebab, jika ada sengketa proses pemilu yang dibawa ke PTUN, asumsi hakim ialah adanya keputusan KPU yang digugat oleh peserta pemilu. Sebaliknya, tidak ada kesempatan bagi KPU untuk mengajukan banding atas putusan PTUN itu.
Tidak terpotret UU
Titi sependapat dengan Irvan dalam banyak hal, terutama mengenai detail-detail celah mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa proses yang kiranya perlu ditata dan ditegaskan kembali dalam RUU Pemilu. Jangan sampai celah-celah tersebut luput dari perhatian pembuat undang-undang dan mengakibatkan upaya pemenuhan rasa keadilan dalam sengketa proses pemilu atau pilkada itu tidak memuaskan semua pihak.
”Saya, misalnya, setuju dengan diberikannya hak banding kepada KPU dalam sengketa proses. Ini kaitannya dengan penetapan parpol sebagai peserta pemilu yang memenuhi syarat. Sekalipun KPU telah bekerja dengan optimal, dan tidak dapat membuktikan kinerjanya itu, karena tidak ada kesempatan banding. Berapa kerugian negara yang terdampak akibat masuknya satu parpol yang tidak memenuhi syarat ke dalam surat suara,” ujarnya.
Menurut Titi, banyak kompleksitas penegakan hukum pemilu yang tidak dapat dipotret oleh pembentuk undang-undang. Untuk mendekati persoalan hukum itu, pembagian tugas dan kewenangan harus lebih jelas, demikian halnya pemahaman atas tugas masing-masing kewenangan, serta perlunya kesepahaman tentang keseluruhan tahapan pemilu, dan mesti menghindari ego struktural dalam kelembagaan pemilu.