PK Ojong, Manusia Amal, dan Negara Hukum
Bantuan PK Ojong tak pernah hanya dengan kata-kata, tetapi selalu disertai perbuatan. Ia bukan hanya wartawan dan insan pers, tetapi juga penyemai kemanusiaan yang punya kepedulian pada HAM, negara hukum, dan demokrasi.
Pada 25 Juli 2020, Petrus Kanisius Ojong, salah seorang pendiri harian Kompas, genap berusia 100 tahun. Bagi mereka yang mengenal PK Ojong secara langsung, ia bukan hanya seorang guru, wartawan, pembaca yang tekun, dan pembelajar seumur hidup. Namun, ia juga penyemai nilai-nilai kemanusiaan dengan kepedulian yang dalam terhadap hak asasi manusia, negara hukum, dan demokrasi.
Perhatiannya terhadap isu-isu HAM, hukum, dan demokrasi itu ditunjukkan Ojong tidak sekadar bicara. Ojong, sebagaimana karakternya yang disebutkan oleh karibnya, Jakob Oetama—yang juga pendiri Kompas—adalah a man of action.
”Bantuannya tidak pernah hanya dengan kata-kata, selalu disertai dengan perbuatan, langkah konkret. Itulah salah satu cirinya: orang yang berbuat, a man of action, manusia amal. Dan perbuatan tidak pernah setengah-setengah,” tulis Jakob di Kompas, 2 Juni 1980, dua hari setelah kepergian Ojong.
PK Ojong meninggal dalam posisi seperti sedang tidur di sebuah kamar di rumah yang belum lama ditempatinya bersama keluarga, 31 Mei 1980. Buku berjudul The Birth of The Messiah karya Raymond Brown tergeletak di meja yang ada di sebelah ranjang. Buku itu terbuka dengan kacamata di atasnya. Kepergian mantan Pemimpin Redaksi Star Weekly dan Pemimpin Umum Harian Kompas itu sangat tiba-tiba.
Baca juga: Seabad PK Ojong (1920-2020)
Sebagaimana diungkapkan oleh orang-orang yang pernah tersentuh oleh kerja-kerja kemanusiaannya, antara lain yang dimuat di dalam biografinya, Ojong memberikan perhatian besar kepada isu-isu hukum dan HAM. Gambaran itu pada akhirnya menunjukkan pula keyakinannya pada nilai-nilai demokrasi. Pada saat bersamaan, selain sebagai pengusaha di bidang penerbitan dan surat kabar, Ojong pertama-tama adalah seorang wartawan, insan pers, yang juga tak kurang merupakan salah satu pilar demokrasi.
Arief Budiman, aktivis sosial yang juga akademisi, dalam artikelnya yang ditulis di Kompas, 9 Juli 1980, menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan Ojong. Pada tahun 1966, ketika ia aktif dalam kelompok Fakultas Psikologi Universitas Indonesia untuk mencetak pamflet-pamflet perjuangan mahasiswa, Ojong adalah orang yang selalu memberikan sokongan material. Peristiwa lain yang diingat Arief ialah ketika penyair Taufiq Ismail memperlihatkan kumpulan sajaknya berjudul Tirani dan memerlukan bantuan untuk memperbanyak sajak itu.
”Saya pergi ke Pak Ojong dan tanpa ragu dia memberikan sumbangan kertas stensil untuk mencetak sajak ini. Begitulah Tirani menjadi sajak perjuangan mahasiswa tahun 1966. Naskah asli sajak-sajak itu kalau tidak salah masih disimpan Pak Ojong sampai sekarang kalau belum diberikan kepada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin,” tulis Arief, yang kini juga telah berpulang.
Arief melihat sosok Ojong sebagai intelektual pejuang. Ia tidak segan membantu orang lain sekalipun Ojong sendiri hidup sederhana. Kepeduliannya pada orang lain didasarkan pada pembelaannya atas nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Ia, antara lain, pernah menjenguk istri Arief yang sedang ditimpa kesedihan karena Arief ditahan penguasa ketika itu. Pihak berwenang tidak memberitahukan di mana Arief ditahan. Ketidakpastian itu membuat keluarga Arief dalam kesedihan luar biasa. Ojong dengan istrinya, Catherine, mengunjungi Leila, istri Arief Budiman, di Jakarta. Kunjungan Ojong ini ditulisnya secara khusus di Kompas, 31 Januari 1972.
Dari kunjungan itu tampaklah kesan dan gugatan keadilan berbasis kemanusiaan yang muncul dari sosok Ojong. Ia tidak takut berhubungan dengan orang-orang dekat aktivis yang ketika itu ditahan dan mendapatkan perlakuan represif oleh penguasa. Dalam tulisannya, Ojong mempertanyakan penahanan sewenang-wenang yang dipandangnya melanggar HAM. Larangan bagi keluarga untuk menemui atau berkomunikasi dengan tahanan juga dinilainya bertentangan dengan piagam HAM PBB yang berlaku universal.
Ojong dalam tulisannya saat mengunjungi istri Arief Budiman mengusulkan agar istri tahanan politik itu diizinkan berkunjung dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, tahanan hanya boleh dikunjungi istri, kunjungan disaksikan polisi, kunjungan dibatasi waktu, dan pokok pembicaraan hanya soal keluarga. Usulan lain, tahanan dibolehkan berkorespondensi dengan keluarga melalui surat.
Ojong kemudian menulis suatu simpulan empatik atas kondisi yang dialami Leila. ”Kalau hak untuk berkomunikasi sekalipun dalam pembatasan-pembatasan ini dapat diakui terhadap istri Arief Budiman, saya rasa Leila tak usah menelan Novalgin atau obat tidur lagi. Sebab, saya tak dapat membayangkan bahwa penguasa sebuah negara Pancasila (dengan Sila Perikemanusiaan) bermaksud menambah secara tak perlu penderitaan seorang istri yang pasti tidak bersalah,” tulisnya.
Dalam peristiwa-peristiwa lainnya, Ojong memberikan perhatian kepada tahanan lain, seperti H Princen, Ide Anak Agung Gde Agung, Mochtar Lubis, HR Darsono, dan Mohamad Roem. Ojong rajin menjenguk dan memberikan bantuan-bantuan sederhana, seperti mengirimkan buku dan naskah untuk keperluan akademik dan mengisi kesunyian mereka di penjara. Ojong juga mengunjungi keluarga mereka sebagai bentuk dukungan.
Penyantun LBH
Ojong juga adalah salah seorang pendiri sekaligus anggota Dewan Kurator/Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang kini menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). LBH didirikan melalui keputusan Dewan Pimpinan Pusat Peradin, 26 Oktober 1970. LBH lahir berkat gagasan Adnan Buyung Nasution yang bertujuan memberi pembelaan kepada masyarakat tidak mampu.
Dalam kiprahnya sebagai anggota Dewan Penyantun LBH, Ojong beberapa kali mendampingi Buyung bersama anggota Dewan Penyantun LBH lainnya untuk bertemu dengan penegak hukum, seperti pimpinan Mahkamah Agung dan kejaksaan.
Pada 4 Februari 1972, Kompas menurunkan berita di halaman muka tentang kunjungan Ojong bersama Adnan Buyung Nasution dan anggota Dewan Penyantun LBH lainnya, antara lain Mochtar Lubis, Lukman Wiriadinata, Besar Martokusumo, Yap Thiam Hien, dan Sudarsono, ke kantor Ketua MA Prof Subekti. Mereka membahas perkembangan hukum di Tanah Air, antara lain mengenai hak tampil pengacara di pengadilan, soal bantuan hukum selama orang yang ditahan masih dalam pengusutan, perpanjangan penahanan tanpa surat dari hakim, serta isu lainnya.
Ia berkeyakinan setiap warga memerlukan perlindungan hak-hak asasi, tanpa membedakan agama, suku, golongan, dan keturunannya. Demikianlah, PK Ojong sejak zaman itu sudah memiliki komitmen tinggi dalam pengakuan dan perlindungan HAM. Atas jasa dan komitmen itu, saya mengabadikan nama PK Ojong menjadi nama salah satu ruangan di gedung LBH.
Pada kesempatan lain, Ojong dan anggota Dewan Penyantun LBH lainnya menerima kunjungan tiga staf ahli Kejaksaan Agung, yang terekam di artikel Kompas 1 September 1972. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai beberapa masalah pokok dalam penegakan hukum, yakni pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, pembuatan berita acara, bantuan hukum, pelaksanaan putusan hakim, dan kontrol atasan terhadap bawahan.
Penahanan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap sejumlah orang oleh aparat penegak hukum menjadi perhatian LBH ketika itu. LBH mendesak agar ada kejelasan tentang mekanisme pemanggilan, dan alasan penahanan harus berdasarkan hukum.
Dalam artikel yang ditulis Buyung dalam rangka peringatan 50 tahun Kompas, 28 Juni 2015, Buyung mengatakan, ”Selain obyektif dan netral, tokoh pendiri serta jurnalis Kompas senantiasa mendukung gerakan prodemokrasi dan hak asasi manusia. Sejarah awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tahun 1970 tidak dapat dilepaskan dari dukungan Kompas yang amat berarti. PK Ojong adalah salah satu tokoh pendiri dan anggota Dewan Kurator/Dewan Penyantun LBH.”
Ia melanjutkan, ”Pak Ojong, demikian saya memanggilnya, mendukung cita-cita LBH. Ia berkata kepada saya akan mendukung setiap usaha yang bertujuan membela orang miskin, tertindas, dan teraniaya. Ia berkeyakinan setiap warga memerlukan perlindungan hak-hak asasi, tanpa membedakan agama, suku, golongan, dan keturunannya. Demikianlah, PK Ojong sejak zaman itu sudah memiliki komitmen tinggi dalam pengakuan dan perlindungan HAM. Atas jasa dan komitmen itu, saya mengabadikan nama PK Ojong menjadi nama salah satu ruangan di gedung LBH.”
Duta Besar RI untuk Norwegia Todung Mulya Lubis yang juga lama berkecimpung di LBH mengatakan, ia sempat beberapa kali bertemu dan mengikuti rapat Dewan Penyantun LBH yang dihadiri oleh Ojong. Ia mengenang sosok Ojong sebagai orang yang tidak banyak bicara.
”Orangnya tidak banyak bicara. Ketika dia bicara sangat bernas dan orangnya sangat terbuka, hangat. Tetapi, Pak Ojong ini bukan orator, berbeda dengan Pak Yap (Yap Thiam Hien) yang kalau berbicara itu membangkitkan emosi, menggebrak dan bersemangat. Kalau Pak Ojong ini, dia memberikan kesejukan, suatu perspektif,” ujar Todung saat dihubungi dari Jakarta, Senin (20/7/2020).
Todung mengenang kiprah Ojong di LBH, yakni ketika awal-awal lembaga itu berdiri, tahun 1970-an. Todung sendiri masuk LBH tahun 1971. Di LBH, Ojong dikenal memiliki wawasan sangat luas. Sebagai staf LBH yang tergolong muda ketika itu, Todung mencermati bagaimana tokoh-tokoh senior yang duduk di Dewan Penyantun LBH berdiskusi dan berargumentasi membahas sejumlah hal. Ojong dinilainya mewakili perspektif Indonesia yang tidak linear karena ia bisa menempatkan suatu wacana dalam konteks yang holistik.
”Dalam konteks negara hukum, Pak Ojong berkontribusi karena posisinya sebagai wartawan menghadirkan perspektif, tidak ada kebebasan pers tanpa demokrasi. Tidak ada pembangunan yang bisa jalan tanpa supremasi hukum. Nah, dia mendukung LBH dalam perspektif berpikir seperti itu. Kehadiran dia sebagai wartawan memberikan dukungan sosiologis terhadap keberadaan LBH,” katanya.
Di masa kini, menurut Todung, dukungan dari tokoh media dan tokoh masyarakat sama pentingnya dengan masa lalu. Orang-orang seperti Ojong diharapkan lahir kembali dengan tantangan zaman yang berubah. LBH maupun kelompok masyarakat sipil lainnya memerlukan orang dengan jiwa dan kepedulian seperti Ojong.
Pak Ojong berkontribusi karena posisinya sebagai wartawan menghadirkan perspektif, tidak ada kebebasan pers tanpa demokrasi. Tidak ada pembangunan yang bisa jalan tanpa supremasi hukum. Nah, dia mendukung LBH dalam perspektif berpikir seperti itu.
Relevansi perjuangan
Hal senada dikatakan Ketua YLBHI Asfinawati dan Ketua LBH Jakarta Arif Maulana. Asfinawati mengatakan, gerakan LBH atau YLBHI mencapai puncaknya dan berkembang sangat baik ketika berkolaborasi dengan tokoh atau pihak lintas bidang. Akademisi, media, serikat pekerja, serikat petani, pakar hukum, pejabat, hingga tokoh agama, semuanya pernah menjadi anggota Dewan Penyantun LBH.
”Tanpa elemen itu semua, tidak mungkin LBH bekerja dengan baik. Media memiliki peran penting sekali sebagai pilar demokrasi, demikian juga akademisi dan elemen lainnya. LBH pun tidak sekadar melihat unsur media sebagai sekadar pemberita, tetapi juga kawan dalam melakukan advokasi kepada mereka yang terpinggirkan, dan peran itu dimainkan dengan baik oleh pendahulu, termasuk Pak Ojong,” ujarnya.
Arif menambahkan, nama PK Ojong di kantor LBH yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, merupakan bentuk penghargaan lembaga kepada tokoh senior yang mendukung dan menyantuni LBH di masa-masa awal itu.
”Berdirinya LBH bukan hanya peran Bang Buyung atau Peradin. Sebab, banyak tokoh yang terlibat dan membantu, termasuk dalam pendanaan LBH, yang dulu mulai Rp 3.000 sampai Rp 1 juta,” katanya.
Di masa sekarang pun, kalangan masyarakat sipil, seperti LBH, tetap memerlukan jiwa juang dan kepedulian dari tokoh-tokoh yang dengan rela hati menyemai nilai-nilai demokrasi, perlindungan HAM, dan cita-cita negara hukum.
”Tantangannya boleh jadi berbeda, karena zaman berubah, tetapi orang-orang seperti PK Ojong akan terus dibutuhkan di negeri ini,” kata Arif.