Untuk membangun sistem pertahanan udara di tengah kebutuhan jangka panjang dan pendek, konstelasi geopolitik dan keterbatasan anggaran negara, pemerintah akan membeli pesawat. Inilah wawancara Kompas dengan Wamenhan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
Untuk membangun sistem pertahanan udara di tengah kebutuhan jangka panjang dan pendek, konstelasi geopolitik dan keterbatasan anggaran negara, pemerintah akan membeli sejumlah pesawat angkut dan pesawat tempur militer yang tangguh. Namun, proses pembelian alat utama sistem persenjataan tersebut bukan hal yang mudah, tetapi sesuatu yang kompleks.
Di tengah kompleksitas masalah itu, masyarakat akan terus memantau rencana pengadaan alutsista tersebut dari waktu ke waktu. Sejarah juga akan mencatat bagaimana kiprah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Trenggono memperjuangkan kepentingan nasional tersebut.
Dalam wawancara khusus dengan harian Kompas, Rabu (22/7/2020) lalu, lewat telepon seluler, Wakil Menteri Pertahanan Wahyu menjelaskan panjang lebar terkait rencana pengadaan alutsista tersebut. Inilah sebagian perbincangannya.
”Yang ingin kita bangun adalah efek gentar. Mau tidak mau, senjata harus kita perbarui terus-menerus, dan tak boleh kalah dengan negara-negara lain di kawasan. Ini yang akan membuat Indonesia disegani lawan.”
Bagaimana sebenarnya konsep Kementerian Pertahanan untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI saat ini?
Bidang pertahanan sebetulnya sangat unik. Yang ingin kita bangun adalah efek gentar. Mau tidak mau, senjata harus kita perbarui terus-menerus, dan tak boleh kalah dengan negara-negara lain di kawasan. Ini yang akan membuat Indonesia disegani lawan. Kita juga harus punya alutsista yang bisa mengimbangi negara-negara lainnya.
Sementara alutsista yang canggih itu mahal sekali. Bagaimana cara mengatasi anggaran kita yang terbatas?
Nah, itu ada strateginya. Untuk jangka panjangnya, kita harus bisa membangun industri pertahanan kita sendiri. Karena dengan demikian, kita bisa buat senjata yang orang lain enggak bisa menduga apa kemampuannya. Untuk memenuhi kebutuhan saat ini, kita akan beli alutsista yang canggih. Masalahnya, sampai alutsistanya datang, hal itu membutuhkan waktu sampai lima tahun prosesnya. Namun, yang untuk jangka pendek, kita beli yang untuk sementara ini bisa kita pakai terlebih dahulu. Selain itu, untuk jangka yang lebih pendek lagi, kita mengadakan refurbishment atau perbaikan besar-besaran. Tapi, itu kan tetap terbatas jangkauan teknologinya.
”Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, kita jangan beli alutsista yang bekas. Kita harus memilih. Dalam lima tahun, misalnya juga, pilot pesawat tempur harus terus berlatih. Jangan sampai pesawat tempur yang kita punya tidak memadai.”
Untuk pesawat tempur, misalnya, apakah kita harus beli yang bekas? Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, kita jangan beli alutsista yang bekas. Kita harus memilih. Dalam lima tahun, misalnya juga, pilot pesawat tempur harus terus berlatih. Jangan sampai pesawat tempur yang kita punya tidak memadai. Karena itu, pilot-pilot yang terlatih itu sangat penting dan tidak bisa tergantikan. Terkait pesawat yang jenis Eurofighter Typhoon, itu masih kajian. Di satu sisi, kita juga tidak bisa membeli dari sembarang negara. Jadi, soal beli bekas atau tidak, itu juga bagian dari strategi.
Namun, kalau membeli pesawat bekas kan sulit mekanisme transfer teknologinya?
Sepanjang Pak Prabowo dan saya masih di sini, peningkatan kemampuan industri pertahanan akan jadi prioritas. Tapi, tidak bisa instan. Harus ada langkah-langkahnya. Tidak bisa penguasaan teknologi itu meloncat. Makanya, sekarang kita fokus bangun SDM. Di Universitas Pertahanan ini sudah buka S-1, ada MIPA dan teknologi informasi juga. Mereka jago-jago dan akan jadi sumber daya manusia kita tahun-tahun mendatang.