Dinasti Politik, Tarikan antara Elektabilitas dan Kesetaraan
Politik kekerabatan bukan hal baru dalam kancah politik di Tanah Air. Fenomena ini hadir bahkan sejak era kolonial. Sistem politik yang belum terkonsolidasi jadi salah satu faktor penyebab bertahannya dinasti politik.
Sejumlah anak pejabat, tokoh, dan petahana mencalonkan diri dalam Pikada 2020. Mulai dari anak presiden, kerabat menteri, hingga istri bupati, menyatakan diri untuk bertarung dalam kontestasi lokal. Sekalipun bukan hal baru dalam fenomena politik di Indonesia, berseminya dinasti politik di dalam pilkada tetap menimbulkan pertanyaan terkait dengan dampaknya bagi upaya mewujudkan kontestasi yang setara.
Dari catatan Kompas, kerabat tokoh politik nasional yang sudah mendapat lampu hijau pencalonan dari partai politik, misalnya, Gibran Rakabuming Raka (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P), putra Presiden Joko Widodo, sebagai bakal calon wali kota Solo; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Gerindra), sebagai bakal calon wakil wali kota Tangerang Selatan; Siti Nur Azizah (Demokrat), putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, sebagai bakal calon wali kota Tangsel.
Persaingan ketat ditemui di Banten. Kerabat bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah juga kembali muncul dalam bursa kontestasi di sejumlah daerah di Banten. Di Pilkada Tangsel, selain ada nama Saraswati dan Siti Nur Azizah, juga muncul nama Pilar Saga Ichsan yang diusung Partai Golkar sebagai bakal calon wakil wali kota. Pilar adalah anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah yang merupakan adik Ratu Atut Chosiyah. Pilar juga keponakan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany sekaligus sepupu Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Sementara Ratu Tatu kembali maju di pemilihan Bupati Serang (Kompas, 23/7/2020).
”Dinasti” sebagai faktor krusial dari perpolitikan di Indonesia. Keberlangsungan dinasti politik bahkan diramalkan bisa menentukan keberlanjutan partai politik.
Fenomena dinasti politik ini bukan hal baru di Indonesia. Marcus Mietzner, akademisi dari Lowy Institute, dalam makalahnya tahun 2009 yang berjudul Indonesia’s 2009 Election: Populism, Dynasties and The Consolidation of The Party System, sudah menyebutkan ”dinasti” sebagai faktor krusial dari perpolitikan di Indonesia. Keberlangsungan dinasti politik bahkan diramalkan bisa menentukan keberlanjutan partai politik.
Baca juga: Pilkada Jadi Musim Semi Politik Kekerabatan
Dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV bertema, ”Etika Politik Dinasti Politik,” Rabu (22/7/2020), yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, narasumber membahas tentang dinasti politik dan ragam persoalannya. Narasumber yang hadir ialah Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, politisi PDI-P Andreas Hugo Pareira, bakal calon wali kota Tangsel Siti Nur Azizah, dan bakal calon wakil wali kota Tangsel Rahayu Saraswati yang hadir melalui virtual.
Menyoal dinasti politik, baik Azizah maupun Saraswati mengakui ada pengaruh atau keuntungan tersendiri bagi mereka sebagai bagian dari keluarga atau kerabat tokoh tertentu. Nama besar dari kerabat yang menjadi tokoh atau pejabat boleh jadi memudahkan mereka untuk meraup suara. Hal itu juga pasti diperhitungkan sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan pemilih. Namun, kompetensi dan kapasitas dianggap tetap menjadi hal yang harus mereka miliki sebelum bertarung dalam kontestasi.
”Saya yakin itu pasti diperhitungkan. Tidak mungkin tidak ada. Saya tidak mungkin juga terlalu naif melihat, oh ini karena hanya kemampuan saya. Tetapi, pada saat bersamaan, karena saya kenal Pak Prabowo, beliau tidak mungkin mengajukan saya atau menyepakati saya ke pilkada kalau melihat saya tidak mempunyai kemampuan,” ujar Saraswati.
Nama besar dari kerabat yang menjadi tokoh atau pejabat boleh jadi memudahkan mereka untuk meraup suara. Hal itu juga pasti diperhitungkan sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan pemilih.
Dalam kaitannya dengan Pilkada Tangsel yang semua kandidatnya memiliki kaitan atau hubungan kekerabatan dengan pejabat, tokoh, dan petahana, menurut Sarawati, hal itu bukan menjadi suatu persoalan. Sebab, publik pada akhirnya yang akan menilai dengan cara mereka sendiri. Pertarungannya kini terletak pada bagaimana setiap calon mempunyai pemahaman dan visi-misi untuk Tangsel yang lebih baik.
”Saya rasa lumayan fair di Tangsel, karena saat ini yang sudah terlihat ada Ibu Siti (Siti Nur Azizah), yang merupakan dinasti baru. Lalu ada Pilar Saga Ichsan yang mendampingi mendampingi Benyamin Dafni, bagian dari dinasti Banten, yakni Ratu Atut dan anak dari Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah. Jadi, tiga-tiganya dalam hal ini lumayan balance,” katanya.
Azizah mengatakan, nama besar ayahnya sebagai wakil presiden dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu akan dilihat oleh masyarakat. Namun, ia mengatakan, keinginannya untuk maju dalam kontestasi pilkada bukan semata-mata mengandalkan modal sosial ayahnya. Niatan itu bahkan sudah ada sebelum perhelatan Pilpres 2019. Sebagai birokrat selama hampir 20 tahun, Azizah terpikirkan tentang cara lain untuk mengabdi kepada masyarakat, ketika dalam dua tahun terakhir ini aktif menangani problem sosial keagamaan di tengah masyarakat.
”Narasi perubahan untuk menuju ke arah Tangsel yang lebih baik lagi itu cukup kuat di masyarakat. Dan, hal itu mendorong elemen masyarakat menarik kami juga ke dalam kontestasi agar ini lebih berwarna di dalam proses demokrasi di Kota Tangsel. Artinya, ada alternatif-alternatif pilihan bagi masyarakat untuk bisa melihat gagasan mana yang bisa membawa Tangsel ke depan lebih baik,” ujarnya.
Fenomena dinasti politik sudah ada sejak lama. Bahkan, dalam kasus di Banten, dinasti politik itu sudah ditemui sejak era kolonial. Dinasti politik bertahan dalam setiap kondisi politik, baik era kolonial, nondemokrasi, hingga era demokrasi. Hal itu menunjukkan kekenyalan dinasti politik dalam segala kondisi politik.
Untuk akhirnya bisa dicalonkan, Azizah mengakui bukan hal yang mudah. Sebab, ia harus menawarkan visi-misinya kepada beberapa partai dengan mengikuti konvensi. Ia menilai sebagai anak wapres atau tokoh adalah suatu keberkahan. Proses politik harus tetap ia lewati untuk mendapatkan tiket parpol. Sebab, parpol juga menghitung soal elektabilitas, akseptabilitas, dan popularitas.
Baca juga: Banten, Dinasti Politik, dan Minimnya Sirkulasi Elite
Kecenderungan predatorik
Burhanuddin mengatakan, fenomena dinasti politik sudah ada sejak lama. Bahkan, dalam kasus di Banten, dinasti politik itu sudah ditemui sejak era kolonial. Dinasti politik bertahan dalam setiap kondisi politik, baik era kolonial, nondemokrasi, maupun era demokrasi. Hal itu menunjukkan kekenyalan dinasti politik dalam segala kondisi politik. Dari sisi legal, pencalonan sejumlah kerabat pejabat, tokoh, dan petahana dalam pilkada pun tidak dilarang oleh aturan. Sebab, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pelarangan itu di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Meski demikian, terkait dinasti politik, Burhanuddin menyebutkan ada sejumlah kajian yang menunjukkan dampak buruknya lebih banyak daripada manfaatnya. Hal itu berbeda dengan dinasti politik yang juga ditemui di India dan Amerika Serikat. Karakter dinasti politik di Indonesia memiliki kesamaan dengan Filipina, yakni ada kecenderungan predatorik.
”Hal ini menjadi kesempatan bagi para calon kepala daerah seperti Mbak Saraswati dan Mbak Azizah ini untuk menunjukkan studi negatif terkait dinasti politik yang predatorik ini bisa dihilangkan,” katanya.
Dinasti politik sebagai akibat dari sistem politik yang belum terkonsolidasi atau terlembaga.
Di sisi lain, Burhanuddin melihat dinasti politik sebagai akibat dari sistem politik yang belum terkonsolidasi atau terlembaga. Di sisi lain, ada pula kajian yang menyebutkan pilkada langsung, sistem proporsional terbuka, dan kuota 30 persen perempuan berkontribusi pada naiknya dinasti politik. Publik di satu sisi juga reseptif terhadap dinasti politik. Kalaupun ada penolakan, itu biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas.
Andreas mengatakan, dirinya tidak setuju dengan digunakannya istilah yang seolah menghukum anak-anak pejabat atau tokoh dan petahana karena mereka maju pilkada. Sebab, bagaimana pun latar belakang keluarga adalah added value atau nilai tambah yang dimiliki seseorang. Kelebihan itu juga merupakan modal simbolik dan bukan sesuatu yang buruk.
Terkait dengan rekomendasi yang diberikan kepada Gibran Rakabuming Raka, Andreas mengatakan, ada pertimbangan elektabilitas yang membuat Gibran dipilih. ”Tujuan partai adalah meraih kemenangan. Tidak mungkin juga kita mendukung calon yang kemungkinan akan kalah,” ujarnya.
Mengenai adanya kader PDI-P yang akhirnya tidak bisa mencalonkan diri karena Gibran yang diberikan rekomendasi oleh partai, menurut Andreas, bukan berarti partai mengabaikan kaderisasi. Namun, ada pertimbangan elektabilitas yang dihitung oleh partai. Gibran pun tetap harus mengikuti sekolah partai sebagai bagian dari kaderisasi.
Dinasti politik sebagai tren yang buruk bagi demokrasi. Demokrasi di Indonesia sebaiknya berbasis merit system atau berbasis kompetensi.
Sementara itu, Mardani melihat dinasti politik sebagai tren yang buruk bagi demokrasi. Demokrasi di Indonesia sebaiknya berbasis merit system atau berbasis kompetensi. Sistem itu tidak akan terwujud, kecuali seseorang memiliki rekam jejak dan jalur yang membuat dia mencintai pekerjaannya dan menyadari beratnya tanggung jawab yang dipikul. Ia menyoroti kemampuan mengolah pemerintahan atau governability Indonesia yang belum baik. Hal ini, antara lain, dipicu oleh sistem sirkulasi kepemimpinan yang belum mampu memilih orang dengan merit system.
”Itu ada kaitannya ketika porses internalisasi di partai dan pilkada tidak memberikan kesempatan orang-orang terbaik untuk muncul ke depan,” ujarnya.
Burhanuddin mengatakan, saat ini yang terpenting ialah memastikan politik kekerabatan itu tidak menghalangi orang-orang lain yang tidak ”berdarah biru” untuk mengikuti kontestasi. Sejumlah hal bisa dilakukan, antara lain, dengan menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Saat ini, ambang batas pencalonan kepala daerah ialah 20 persen. Ambang batas itu dinilai terlalu tinggi sehingga membatasi jumlah calon yang dapat berkontestasi.
”Kedua, jangan mempersulit calon perseorangan untuk maju,” ujarnya.
Baca juga: Awasi dan Cegah Potensi Maladministrasi dalam Pilkada 2020