Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegak Hukum Menurun
Hasil survei menunjukkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia cenderung turun. Hal ini sejalan dengan penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum yang juga terus menurun.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum pada Juli 2020 mengalami penurunan dibandingkan pada Juni 2020. Penilaian masyarakat ini sangat mungkin terus bergerak turun karena pada periode itu belum terkuak wajah kegagalan penegakan hukum di Tanah Air, salah satunya terkait terpidana kasus hak tagih piutang atau cessie Bank Bali, Joko Tjandra.
Tren penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum itu terpotret dari hasil survei yang dilakukan Charta Politika Indonesia yang dirilis, Rabu (22/7/2020). Charta Politika membandingkan hasil survei pada Juni 2020 dengan hasil survei terbaru pada 6-12 Juli 2020.
Proses wawancara pada survei awal Juli dilakukan melalui telepon dan menggunakan simple random sampling dengan jumlah responden 2.000 orang. Toleransi kesalahan (margin of error) sebesar lebih kurang 2,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Berdasarkan hasil survei pada Juni 2020, secara berurutan, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, seperti Polri (73,0 persen), Komisi Pemberantasan Korupsi (73,2 persen), Kejaksaan Agung (61,8 persen), Mahkamah Konstitusi (61,3 persen), Mahkamah Agung (57,6 persen).
Jika dibandingkan dengan hasil survei pada Juli 2020, tren kepercayaan publik terhadap mayoritas lembaga penegak hukum itu menurun, seperti Polri (72,2 persen), KPK (71,8 persen), Kejagung (61,6 persen), dan MK (60,0 persen).
Sementara itu, untuk MA, di hasil survei Juli 2020, tingkat kepercayaan publik naik 1,8 persen menjadi 59,4 persen. Namun, jika dibandingkan dengan hasil survei pada Mei 2020, tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut menurun 2,9 persen. Adapun saat itu, MA dipercaya publik hingga 60,5 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menjelaskan, tren penurunan kepercayaan publik terhadap semua lembaga penegak hukum hampir merata. Padahal, survei terbaru belum menyertakan keramaian masalah penegakan hukum yang terjadi belakangan ini, seperti kasus Joko Tjandra.
Penurunan tren kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum ini sejalan dengan penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum yang juga terus menurun.
Menurut Yunarto, penurunan tren kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum ini sejalan dengan penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum yang juga terus menurun. Pada Februari 2020, kepuasan publik terhadap kondisi penegakan hukum mencapai 59,8 persen. Angka itu menurun menjadi 55,2 persen pada Juli 2020.
”Padahal, kalau coba dilihat di survei pada 6-12 Juli 2020, momen-momen saat itu belum terlalu ramai terkait kasus hukum, misalnya kasus Joko Tjandra. Tetapi, di luar kasus itu pun sudah ada tren yang turun dari persepsi publik terhadap kondisi penegakan hukum,” tutur Yunarto.
Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis mencopot tiga perwira tinggi Polri dari jabatannya terkait pelarian Joko Tjandra. Tiga perwira tinggi Polri itu adalah Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dari jabatannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo dari posisinya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia, serta Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, menilai, penurunan kepuasan publik terhadap kondisi penegakan hukum masih di batas kewajaran. Publik masih memberi kesan positif atas aksi sosial yang dilakukan instansi penegak hukum pada masa pandemi Covid-19.
”Jadi, bantuan-bantuan sembako yang diberikan oleh institusi (penegak hukum) kepada masyarakat dengan jumlah besar, memiliki korelasi yang positif dengan pandangan mereka terhadap institusi penegakan hukum,” kata Nasir.
Namun, menurut Nasir, kondisi itu akan berubah signifikan apabila survei dilakukan pada Juli hingga September mendatang. Seperti diketahui, belakangan terdapat putusan terhadap penyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan dan kasus Joko Tjandra, yang mengusik rasa keadilan publik.
”Tentu saja kondisi (penegakan hukum) ini akan sangat berbeda,” kata Nasir.
Di luar itu, Nasir berharap, survei ini bisa meningkatkan performa lembaga penegak hukum, selain membantu meringankan penderitaan publik yang terdampak pandemi.
RUU Cipta Kerja
Selain soal wajah hukum Indonesia, Charta Politika juga menyurvei pandangan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang ”Omnibus Law” Cipta Kerja. Dari hasil survei, sebanyak 13,3 persen responden pernah dan mengerti berita tentang RUU Cipta Kerja. Sementara itu, 37,5 persen responden tak pernah mendengar berita tentang RUU tersebut.
Namun, setelah didalami, dari 13,3 persen responden yang menjawab pernah dan mengerti RUU Cipta Kerja, terdapat 35,8 persen responden tidak setuju RUU disahkan hari ini. Alasan penolakan itu di antaranya, pembahasan RUU yang dianggap tidak transparan, serta khawatir RUU itu mengurangi hak-hak pekerja.
Terhadap penilaian itu, Ketua DPP Partai Golkar Meutya Hafid mengatakan, pemerintah dan DPR memiliki pekerjaan rumah yang berat karena masih tingginya responden yang tidak pernah mendengar berita tentang RUU Cipta Kerja. Artinya, sosialisasi harus terus digencarkan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya membantah apabila ada anggapan rapat di Baleg selalu tertutup. Sebab, dirinya selalu membagikan informasi terkait rencana rapat kepada wartawan. Rapat pun disiarkan secara terbuka melalui Youtube.
”Rapat selalu terbuka, tak ada satu pun yang tertutup. Jadi, semua bisa mengakses secara terbuka. Siapa biacara apa, semua terbuka,” ujar Willy.
Respons negatif terhadap RUU Cipta Kerja, menurut Willy, adalah hal wajar karena mayoritas pekerja menduga RUU itu disahkan di rapat paripurna pada Kamis (16/7/2020). Padahal, isu itu tidak benar.
”Problem utama kita di sini adalah narasinya. Sebenarnya, (RUU Cipta Kerja) omnibus law ini 11-12 dengan pandemi Covid-19. Ketakutannya lebih besar, tetapi dampaknya belum tersosialisasi dengan baik. Narasi yang dominan adalah kebisingan di media sosial, dan mengatakan (RUU Cipta Kerja) ini sangat kapitalistik, neoliberal,” kata Willy.