PP Sudah Terbit, Koordinasi Pemberian Kompensasi Korban Terorisme Harus Diperkuat
LPSK akan membentuk satgas guna memproses permohonan kompensasi korban terorisme. Hal ini menindaklanjuti terbitnya PP No 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban Terorisme.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak mengapresiasi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban Terorisme. Namun, karena jangka waktu permohonan yang singkat, diharapkan institusi terkait segera berkoordinasi dengan baik untuk mempercepat proses klaim hak korban terorisme.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani naskah PP Nomor 35 Tahun 2020 pada 7 Juli 2020. PP tersebut merupakan revisi atas ketentuan yang sebelumnya tertuang di PP No 7/2018. Para korban diminta untuk melengkapi syarat-syarat permohonan kompensasi hingga 22 Juni 2021.
Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi, Kamis (23/7/2020), mengatakan, terbitnya PP tersebut menjadi syarat pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme, baik di masa sekarang maupun di masa lalu sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diberlakukan.
PP bahkan juga mengatur pemberian hak-hak WNI yang menjadi korban aksi terorisme di luar negeri. Dengan terbitnya PP tersebut, negara dinilai telah memberikan hak secara penuh baik terhadap korban maupun keluarganya. Selama ini, pemerintah telah memberikan hak, seperti hak medis, pendampingan psikologis, dan psikososial bagi para korban. Hanya hak kompensasi yang selama ini belum diberikan oleh negara.
”Walaupun tidak dapat menggantikan kerugian materiil dan imateriil yang dialami korban terorisme dan keluarganya, pemenuhan kompensasi sangat bermakna sebagai wujud kehadiran negara bagi korban yang telah menjadi martir negara. Mereka adalah korban tak bersalah yang menjadi sasaran terorisme yang sebenarnya ditujukan kepada negara ataupun aparatnya,” kata Hasibullah melalui keterangan resminya.
Aliansi Indonesia Damai (AIDA), sebagai lembaga aktif yang mendampingi korban terorisme dan advokasi hak-hak korban, mengapresiasi penerbitan PP tersebut. AIDA juga mengapresiasi para pihak yang terlibat aktif dalam proses penyusunan dan penerbitan PP tersebut. Oleh karena itu, untuk mengawal implementasi PP itu, kementerian atau lembaga yang mendapatkan mandat diminta proaktif.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), misalnya, diharapkan lebih proaktif menghimpun data dan dokumen yang dibutuhkan untuk penerbitan surat keterangan korban terorisme masa lalu. BNPT diharapkan tetap menjunjung tinggi akurasi, kehati-hatian, dan kebijaksanaan agar kompensasi diterima korban secara adil.
”AIDA mendorong BNPT mempermudah penerbitan surat keterangan korban terorisme sebagai salah satu syarat pengajuan hak-hak korban terorisme masa lalu. Selain itu, juga mendorong agar korban segera mengajukan permohonan kompensasi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melengkapi syarat-syarat yang telah ditentukan karena waktu permohonan hanya sampai 22 Juni 2021,” kata Hisbullah.
AIDA mendorong BNPT mempermudah penerbitan surat keterangan korban terorisme sebagai salah satu syarat pengajuan hak-hak korban terorisme masa lalu. Selain itu, juga mendorong agar korban segera mengajukan permohonan kompensasi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melengkapi syarat-syarat yang telah ditentukan karena waktu permohonan hanya sampai 22 Juni 2021.
Satgas khusus
Sementara itu, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, pihaknya akan membentuk satuan tugas (satgas) yang bertugas memproses permohonan korban untuk mendapatkan kompensasi. Satgas juga akan berkoordinasi dengan BNPT. Meskipun waktu pendaftaran kurang dari satu tahun, pihaknya optimistis permohonan dapat diproses dengan cepat karena persyaratannya tidak sulit.
Berdasarkan Pasal 18 C PP No 35/2020, syarat untuk mengajukan kompensasi itu adalah identitas korban, identitas keluarga, ahli waris atau kuasanya, uraian tentang terjadinya tindak pidana terorisme, dan uraian kerugian nyata yang diderita. Syarat-syarat tersebut harus mendapatkan pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu BNPT.
Dalam PP juga disebutkan, apabila persyaratan sudah dipenuhi, LPSK memiliki waktu tujuh hari untuk memproses permohonan itu sejak diajukan oleh korban. Setelah itu, LPSK akan menghitung kerugian nyata yang diderita oleh korban dan menentukan nilai kompensasinya secara proporsional.
Perhitungan kerugian itu di antaranya untuk korban meninggal dunia, korban luka, hilangnya penghasilan atau pendapatan, hingga hilang atau rusaknya harta benda. Nantinya, besaran kompensasi yang ditentukan oleh LPSK itu diajukan ke Kementerian Keuangan untuk disetujui.
”Setelah PP ini terbit, kami akan sosialisasi dan inventarisasi korban terorisme, terutama pada masa lalu sebelum UU No 5/2018 meskipun syarat permohonan cukup singkat, semoga kami dapat mempercepat prosesnya,” kata Hasto.
Koordinasi
Direktur International Association for Counter Terrorism & Security Professionals Center for Security Studies (IACSP) Indonesia Rakyan Adi Brata berpendapat, negara harus terus bertanggung jawab kepada para korban terorisme selama mereka membutuhkan. Sebab, korban terorisme ini adalah korban tindak pidana yang sebenarnya ditujukan untuk negara. Karena itu, bantuan medis dan psikososial harus diberikan selama korban membutuhkan.
Untuk dana kompensasi atas kerugian materiil dan imateriil, menurut Rakyan, prosesnya juga harus dipercepat. Kendala-kendala yang kerap menghambat, misalnya koordinasi antarlembaga, harus diatasi.
Karena waktu pengurusan syarat mengklaim kompensasi ini singkat, kendala level koordinasi birokrasi harus diatasi. LPSK dan BNPT harus dapat menjembatani proses tersebut agar berjalan lancar.
Menurut dia, salah satu caranya adalah tentang restrukturisasi organisasi di BNPT agar pemenuhan hak-hak korban ini dapat diurus di direktorat khusus. Saat ini, pemulihan korban di BNPT masih ditangani di bawah direktorat atau subdit. Dengan demikian, terkadang memicu kendala di level koordinasi birokrasi.
”Karena waktu pengurusan syarat mengklaim kompensasi ini singkat, kendala level koordinasi birokrasi harus diatasi. LPSK dan BNPT harus dapat menjembatani proses tersebut agar berjalan lancar,” kata Rakyan.
Menurut dia, dibandingkan lima tahun lalu, sudah ada banyak perbaikan dalam regulasi aturan bagi para korban terorisme ini. ”Namun, tetap saja kementerian dan lembaga yang mengurusi ini harus ditantang agar dapat memotong proses birokrasi yang biasanya panjang dan berbelit itu,” kata Rakyan.