Setelah didakwa kasus suap Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, eks komisioner KPU, siap membongkar kasus dugaan korupsi yang didakwakannya dengan jadi ”justice collaborator”. Namun, keinginannya belum tentu dipenuhi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, siap membongkar kasus dugaan korupsi yang didakwakan kepadanya dengan menjadi justice collaborator. Komisi Pemberantasan Korupsi berharap Wahyu mau membongkar segala kasus korupsi yang diketahuinya.
Wahyu sebelumnya didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum KPK dengan dua dakwaan sekaligus. Wahyu didakwa menerima suap dalam kasus pergantian antarwaktu (PAW) terhadap calon anggota legislatif (caleg) PDI-P, Riezky Aprilia, dengan Harun Masiku. Selain itu, ia juga didakwa menerima uang terkait proses seleksi calon anggota KPU Papua Barat.
Kuasa hukum Wahyu, Tony Hasibuan, Rabu (22/7/2020), di Jakarta, mengungkapkan, justice collaborator yang diajukan oleh Wahyu pada Senin (20/7/2020) berkaitan dengan dakwaan dari jaksa. Ia yakin justice collaborator tersebut dapat diterima oleh majelis hakim dan pimpinan KPK.
Ia yakin justice collaborator tersebut dapat diterima oleh majelis hakim dan pimpinan KPK.
Adapun justice collaborator adalah pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur Pengetatan Remisi bagi Terpidana Narkotika, Korupsi, dan Terorisme. Justice collaborator menjadi syarat mendapat remisi atau pengurangan masa pidana.
”Menurut pandangan kami, justice collaborator bisa diterima. Sebab, selama ini Wahyu telah menyampaikan seluruh keterangan dengan benar dan bertindak sangat kooperatif selama penyidikan hingga di persidangan,” kata Tony. Selain itu, barang bukti uang dugaan suap dalam perkara tersebut telah dikembalikan oleh Wahyu di tingkat penyidikan.
Sebelumnya, salah satu mantan anggota tim kuasa hukum Wahyu, Saiful Anam, menyatakan, justice collaborator tersebut diajukan selain untuk membongkar kasus korupsi yang didakwakan kepadanya juga terkait kecurangan pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah. Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Tony.
Tony mengatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan ungkapan pribadi dari Saiful dan bukan pernyataan resmi dari Wahyu. Ia juga menuturkan, Wahyu telah mencabut Saiful sebagai kuasa hukumnya.
Saat dikonfirmasi, Saiful membenarkan bahwa ia tak lagi menjadi kuasa hukum Wahyu per hari ini. Ia mengaku tak lagi menjadi kuasa hukum Wahyu karena banyak kegiatan di luar kota. Terkait dengan pernyataannya tentang keinginan Wahyu untuk membongkar kecurangan pilpres dan pilkada, Saiful tidak mau berkomentar lagi.
Keterbukaan terdakwa disampaikan sejak awal penyidikan hingga dalam proses persidangan. Bukan sebaliknya, terdakwa akan membuka semuanya jika diberikan justice collaborator.
Menanggapi justice collaborator yang diajukan Wahyu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK akan mempertimbangkan dan menganalisis justice collaborator yang diajukan oleh Wahyu sesuai fakta di persidangan. ”Jika dikabulkan akan menjadi faktor yang meringankan hukuman yang dijatuhkan, jika ia dinyatakan bersalah menurut hukum,” kata Ali.
Meskipun demikian, ia mengingatkan, seharusnya keterbukaan terdakwa disampaikan sejak awal penyidikan hingga dalam proses persidangan. Bukan sebaliknya, terdakwa akan membuka semuanya jika diberikan justice collaborator. Saat ini, JPU masih mempertimbangkan terkait permohonan justice collaborator yang diajukan Wahyu tersebut.
Ali menambahkan, apabila justice collaborator tersebut tidak dikabulkan, terdakwa bisa menjadi whistle blower dengan menyampaikan kasus-kasus lain yang diketahuinya. KPK akan melakukan verifikasi dan menindaklanjutinya apabila kasus tersebut menjadi kewenangan KPK sebagaimana ketentuan Pasal 11 Undang-Undang KPK.
PDI-P hormati proses hukum
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, mengatakan, ia menghormati proses hukum termasuk menjadi JC yang diajukan oleh Wahyu. Hasto menegaskan, PDI-P juga taat hukum dan ia bertanggungjawab atas pelaksanaan seluruh keputusan politik partai termasuk bagaimana partai menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA).
"Ketika keputusan MA tidak dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu, maka di situlah akar persoalan terjadi”
Putusan MA tersebut memberikan dasar legalitas bahwa proses penetapan calon terpilih bagi calon terpilih yang meninggal dunia merupakan kewenangan politik partai. “Peserta pemilu legislatif adalah partai politik dan kursi yang dimiliki adalah kursi partai, bukan orang per orang. Ketika keputusan MA tidak dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu, maka di situlah akar persoalan terjadi,” kata Hasto.
Ia menambahkan, seluruh proses penggantian calon terpilih yang berhalangan tetap adalah kewenangan politik partai. Karena itu, tidak ada perintah orang per orang dan yang ada perintah partai yang diambil melalui rapat partai. Hal tersebut sah sebagai pelaksanaan kewenangan partai dalam menempatkan kadernya pada jabatan strategis.