Bamus DPR Tak Pernah Larang Rapat Joko Tjandra di Masa Reses
Alasan Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar Azis Syamsuddin yang menolak rapat Komisi III DPR untuk membahas buronan Joko Tjandra dipertanyakan. Bamus DPR disebutkan tak pernah melarang rapat di saat reses DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Badan Musyawarah atau Bamus DPR menepis pernyataan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin yang menyebutkan rapat Bamus DPR memutuskan rapat alat kelengkapan DPR tak bisa digelar di masa reses. Alasan Azis itu membuat Komisi III DPR tak bisa memanggil sejumlah instansi penegak hukum untuk mengungkap bebasnya Joko Tjandra yang berstatus buronan kasus cessie Bank Bali kembali ke Indonesia bulan lalu. Political will pimpinan DPR pun dipertanyakan.
Surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat di masa reses dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah diajukan oleh pimpinan Komisi III DPR kepada pimpinan DPR, Selasa (14/7/2020).
Rapat dengan sejumlah instansi penegak hukum itu telah diputuskan oleh Komisi III DPR saat rapat dengan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jhoni Ginting, 13 Juli 2020. Rapat gabungan ini dibutuhkan untuk mengungkap bebasnya Joko Tjandra masuk ke Indonesia bulan lalu.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Herman Hery mengatakan, pihaknya menganggap kasus Joko Tjandra bersifat sangat penting sehingga berdasarkan mekanisme tata tertib DPR, pimpinan Komisi III meminta izin kepada pimpinan DPR agar bisa rapat di masa reses. DPR mulai reses pada Jumat (17/7/2020).
Namun, hingga saat ini, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin dari Fraksi Partai Golkar selaku Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan. Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya mengizinkan rapat digelar pada Selasa (21/7/2020).
Baca juga : Perlu Ada Lobi Tingkat Tinggi untuk Ekstradisi Joko Tjandra
Oleh karena tidak diberikan izin, Herman mengatakan, rapat gabungan itu akan dilakukan seusai masa reses atau pada masa sidang berikutnya, yakni Agustus 2020. Kalaupun ada keinginan dari Komisi III untuk mendatangi mitra kerja di kantor masing-masing, atau tidak rapat di gedung DPR, hal itu tidak dimungkinkan.
”Dalam reses kali ini, kunjungan pun ditiadakan karena aturan Covid-19. Kami menunggu masa sidang Agustus saja,” ujarnya di Jakarta, saat dihubungi, Minggu (19/7).
Sementara itu, Azis membantah dirinya menolak menandatangani surat izin rapat dari Komisi III. Ia beralasan ada Tata Tertib (Tatib) DPR dan putusan Bamus yang melarang rapat pengawasan dilakukan oleh komisi di masa reses. Di dalam Peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tatib DPR, hal itu diatur di dalam Pasal 1 angka 13.
”Aturan itu menerangkan masa reses adalah masa DPR berkegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melakukan kunjungan kerja,” katanya.
Selain itu, ada pula putusan Bamus DPR yang disepakati oleh masing-masing perwakilan fraksi dan alat kelengkapan dewan (AKD). Ia menegaskan, pada prinsipnya dirinya mendukung kerja-kerja komisi. Namun, hal itu harus sesuai dengan aturan dan mekanisme di tatib dan Bamus.
”Bahwa hal yang lebih penting ialah menanggapi perkembangan kasua Joko Tjandra, di mana kasus tersebut harus diusut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Oknum-oknum yang terlibat dalam hal tersebut harus ditindak tegas,” katanya.
Alasan untuk tidak menandatangani surat izin rapat itu berbeda dengan kebijakan pimpinan DPR sebelumnya. Di masa reses sebelumnya, sejumlah AKD dibolehkan menggelar rapat.
Salah satunya, rapat pembahasan dan pengawasan anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang diadakan oleh Komisi II DPR dan dihadiri oleh pemerintah serta penyelenggara pemilu. Selain itu, pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja juga jalan terus di masa reses. Bahkan, pada masa reses saat ini pun izin membahas RUU Cipta Kerja itu dimintakan kembali kepada pimpinan DPR.
Menanggapi hal ini, Azis beralasan, pembahasan legislasi berbeda dengan pengawasan DPR. Demikian juga soal rapat Komisi II DPR ketika itu.
”Itu waktu Covid-19, yang diputus sebagai diskresi dalam Bamus DPR. Dengan pertimbangan, pada reses yang lalu, komisi tidak melakukan kunjungan lapangan ke daerah,” ujarnya.
Baca juga : Rapat Pengawasan Penanganan Pelarian Joko Tjandra Hadapi Ganjalan
Bukan putusan Bamus
Klaim mengenai putusan Bamus DPR yang menjadi alasan tidak diizinkannya rapat pengawasan masa reses itu ditanggapi berbeda oleh sejumlah anggota Bamus.
Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan, ada dua kali rapat Bamus DPR yang menyinggung soal rapat di masa reses, yakni pada 13 Juli dan 15 Juli. Dalam rapat pertama, Saleh mengakui mengajukan interupsi terkait dengan rapat di masa reses. Fraksinya berkeberatan dengan rapat di masa reses, terutama jika digunakan untuk membahas RUU Cipta Kerja dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
”Saat itu memang saya yang melakukan interupsi karena dalam pikiran saya waktu itu jangan sampai masa reses ini dimanfaatkan untuk membahas sejumlah RUU. Dua RUU ini (HIP dan Cipta Kerja), kan, sensitif di tengah masyarakat. Banyak juga yang menyampaikan hal itu ke PAN. Saya tidak mau ada RUU yang sangat diperhatikan atau jadi concern masyarakat dibahas saat reses. Kalau masa sidang tidak apa-apa, tetapi jangan di masa reses,” ujarnya.
Saleh mengatakan, usulan Fraksi PAN itu didiskusikan dan menjadi salah satu putusan rapat. Namun, sama sekali putusan itu tidak terkait dengan pengajuan izin rapat dari Komisi III DPR.
”Saat itu, sama sekali tidak terpikir soal izin komisi untuk rapat soal Joko Tjandra karena yang jadi concern saya adalah rapat RUU di masa reses,” ujarnya.
Dengan adanya larangan rapat di masa reses, Saleh menuturkan, saat itu, perwakilan fraksi yang lain tidak ada yang berkeberatan. Sejumlah anggota dan pimpinan Komisi III DPR yang ikut di dalam rapat juga disebutnya tidak menolak putusan itu. Dari unsur pimpinan, menurut Saleh, hadir Wakil ketua Komisi III dari Partai Golkar Adies Kadir, sedangkan ada pula anggota Komisi III yang mewakili fraksinya, yakni Habiburokhman dari Gerindra.
Sementara itu, berbeda dengan keterangan Azis dan Saleh, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Amir Uskara yang juga hadir di dalam rapat Bamus mengatakan, tidak ada putusan Bamus yang melarang rapat pengawasan di masa reses.
”Sebenarnya di dalam rapat Bamus memang ada pimpinan fraksi yang mengusulkan kepada pimpinan DPR untuk tidak mengizinkan AKD mengadakan rapat-rapat selama masa reses. Tetapi, itu tidak menjadi keputusan,” ujarnya.
Amir mengatakan, Fraksi PPP tetap mengizinkan anggotanya untuk rapat di AKD selama masa reses karena tidak mungkin pimpinan AKD meminta izin ke pimpinan DPR untuk rapat di masa reses kalau tidak ada yang mendesak untuk dibahas.
Baca juga : Komisi Kejaksaan: Duduk Persoalan ”Red Notice” Joko Tjandra Harus Diperjelas
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditia yang dalam rapat Bamus mewakili Baleg mengatakan, tidak ada larangan untuk rapat di masa reses. Hal itu juga tidak diputuskan di dalam rapat Bamus.
Sesuai dengan tatib DPR, sepanjang AKD yang bersangkutan mengajukan izin kepada pimpinan DPR, dan disetujui, rapat di masa reses dapat dilakukan.
Untuk pembahasan RUU Cipta Kerja, misalnya, saat ini Baleg DPR mengajukan kembali izin pembahasan di masa reses kepada pimpinan DPR. ”Ini izin kedua, setelah masa reses yang lalu kami juga mengajukan izin rapat di masa reses,” ujar Willy.
Bisa dinegosiasikan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Kelompok Fraksi Gerindra di Komisi III Habiburokhman, yang juga hadir dalam rapat Bamus, menuturkan, baik Azis Syamsuddin maupun Herman Hery memiliki argumentasi yang kuat.
”Ada atau tidak putusan Bamus DPR, reses memang aturannya kita turun ke dapil. Saya kebetulan ikut rapat Bamus. Saya mendengar yang disampaikan Pak Azis bahwa saat reses kita harusnya di dapil. Tetapi, sekalipun putusan Bamus, itu bisa didiskusikan saja urgensinya seperti apa. Kalau Joko Tjandra dianggap penting, pimpinan bisa saling berdiskusi supaya hasilnya baik,” katanya.
Pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, tidak diberikannya izin untuk mengadakan rapat terkait kasus Joko Tjandra di masa reses mengindikasikan minimnya political will pimpinan DPR dalam mendorong pengungkapan kasus yang memalukan negara tersebut.
”Kalau persoalan Joko Tjandra ini dianggap penting, sekalipun reses bisa kok diadakan rapat. Ini, kan, tergantung bagaimana pimpinan DPR. Kalau dalam masa reses sebelumnya bisa diadakan rapat soal pilkada serentak 2020, dan RUU Cipta Kerja, kenapa soal Joko Tjandra tidak bisa,” katanya.
DPR dalam praktiknya merupakan lembaga negosiasi politik. Dengan natur politiknya, menurut Adi, segala hal dapat dibicarakan atau dinegosiasikan, termasuk mengenai boleh tidaknya rapat di saat reses. Semuanya pun berpulang pada niatan politik DPR dalam menyikapi kasus Joko Tjandra.
”DPR, kan, tempatnya negosiasi politik. Kalau soal tatib, kan, bisa diubah, begitu halnya dengan putusan Bamus. Kalau memang ada anggapan kasus Joko Tjandra ini penting, maka hal itu bisa dinegosiasikan lagi,” katanya.
Dengan tidak diberikannya izin rapat pengawasan kasus Joko Tjandra di masa reses, menurut Adi, akan muncul pemahaman di benak publik bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja atau Pilkada 2020 lebih penting bagi DPR daripada penangkapan koruptor yang merugikan serta mempermalukan negara.
”Kalau menyangkut kepentingan mereka, segala sesuatunya gampang dilakukan. Tetapi, kalau keinginan publik, itu susah sekali dipenuhi. Publik hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali,” ujar Adi.