Rapat Pengawasan Penanganan Pelarian Joko Tjandra Hadapi Ganjalan
Surat izin Komisi III DPR untuk RDP pengawasan penegakan hukum buronan Joko Tjandra belum ditandatangani Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Alasannya, Tata Tertib DPR dan putusan Bamus melarang RDP pengawasan saat reses.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana rapat gabungan antara Komisi III DPR dan seluruh aparat penegak hukum terkait kasus buronan kasus cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, di tengah masa reses tidak mendapat izin Badan Musyawarah DPR. Alasannya, masa reses seyogianya digunakan untuk melaksanakan kunjungan kerja. Keputusan ini disayangkan karena tidak mempertimbangkan urgensi persoalan yang mengusik rasa keadilan publik.
Joko Tjandra, yang buron sejak 2009, pada bulan Juni-Juli 2020 menimbulkan guncangan di tengah aparat penegak hukum karena ia berhasil masuk ke Indonesia, kemudian mengurus KTP elektronik, lalu menggunakannya untuk mendaftarkan peninjauan kembali perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dia juga diduga bepergian dari Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat, dengan surat jalan dari perwira tinggi Polri. Terkait rangkaian perkara Joko Tjandra, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis beberapa hari terakhir mencopot jabatan seorang jenderal bintang dua dan dua jenderal bintang satu.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (18/7/2020), mengatakan, surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pengawasan terhadap Kepala Bareskrim, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, dan Direktur Jenderal Imigrasi telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7/2020).
Namun, hingga saat ini, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Azis Syamsuddin. Padahal, Ketua DPR Puan Maharani telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP, yang sedianya digelar pada Selasa (21/7/2020).
Informasi yang didapat Herman, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis karena putusan Bamus DPR yang melarang rapat pada masa reses.
Informasi yang didapat Herman, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis karena putusan Bamus DPR yang melarang rapat pada masa reses. Larangan tersebut didasari Pasal 1 Angka 13 Tata Tertib DPR, yang menyatakan masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar Gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.
”Apa pun alasan berbungkuskan MD3 (Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD), sebagai wakil rakyat harus memiliki sense of urgency, tidak semata kepentingan sesaat berbungkus aturan MD3. Akhirnya, saya serahkan kepada publik dan masyarakat yang menilai,” ujar Herman.
Rapat gabungan merupakan bagian dari dorongan Komisi III agar kasus Joko Tjandra diusut tuntas. Sebab, kasus tersebut telah mencoreng wajah penegakan hukum di Tanah Air. Atas dasar itu, menurut Herman, pengusutan pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian Joko harus dikejar hingga tuntas. Ia mengapresiasi ketegasan dan komitmen Kapolri dalam menyikapi kasus tersebut dengan menindak aparat Polri yang terlibat.
”Kasus Joko Tjandra adalah kasus yang mengusik rasa keadilan publik. Tentunya, kami menganggap kasus ini bersifat super urgent,” tutur Herman.
Sebelumnya, Jumat (17/7/2020), Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis kembali mencopot dua perwira tinggi Polri dari jabatannya terkait pelarian Joko. Dua perwira tinggi Polri tersebut adalah Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dari jabatannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri serta Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo dari posisinya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Keduanya dicopot karena melanggar kode etik Polri terkait penerbitan surat pemberitahuan penghapusan red notice Joko Tjandra.
Kapolri juga telah mencopot Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri karena telah menerbitkan surat jalan bagi Joko (Kompas, 16/7/2020).
Masa reses
Azis melalui keterangan tertulis membantah tudingan bahwa dirinya menolak untuk menandatangani surat masuk yang dikirim Komisi III untuk melakukan RDP gabungan dengan aparat penegak hukum.
”Tentunya, saya tidak ingin melanggar Tata Tertib DPR. Saya hanya ingin menjalankan Tata Tertib DPR dan putusan Bamus yang melarang RDP pengawasan oleh komisi pada masa reses,” ucap Azis.
Di Bamus, lanjut Azis, sudah ada perwakilan dari setiap fraksi. Oleh karena itu, informasi kesepakatan dan keputusan yang terjadi bisa dikoordinasikan di setiap fraksi. ”Hal ini penting agar komunikasi dan etika terjalin dengan baik,” ujarnya.
Azis mengatakan, dirinya selalu mendukung kinerja para anggota di komisi. Namun, yang terpenting, semua sesuai dengan aturan dan mekanisme di Tata Tertib dan Bamus. Hal tersebut menjadi pijakan Azis dalam menjalankan tugas sebagai bagian dari pimpinan DPR.
”Kasus Joko Tjandra harus diusut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Oknum-oknum yang terlibat dalam hal tersebut harus ditindak tegas,” ujar Azis.
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menyampaikan, idealnya, RDP memang tidak tepat dilakukan pada masa reses. Reses itu merupakan waktu bagi anggota DPR mengunjungi daerah pemilihan (dapil). Akan tetapi, kata Lucius, situasi pandemi Covid-19 membuat banyak anggota DPR tak leluasa ke dapil mereka.
Sebagaimana pada reses masa sidang III yang lalu, sejumlah aktivitas rutin DPR, seperti pembahasan legislasi maupun rapat persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, tetap dilakukan oleh alat kelengkapan Dewan tertentu di DPR. Mayoritas anggota Dewan tetap mengikuti rapat melalui telekonferensi.
Berkaca dari pengalaman reses masa sidang saat itulah, menurut Lucius, mestinya permintaan Komisi III untuk melakukan RDP terkait kasus Joko Tjandra bisa diizinkan oleh Bamus atau pimpinan DPR. Apalagi, lanjutnya, kasus tersebut menjadi perhatian publik.
”Ada pilih-pilih, ada kepentingan untuk menentukan boleh atau tidaknya rapat digelar di masa reses. Padahal, dari sisi urgensi, tentu saja kepentingan ini sangat mendesak. Seharusnya, ini jadi tanggung jawab DPR berpartisipasi mencari jalan keluar atau melakukan pendalaman terkait kasus Joko Tjandra,” tutur Lucius.
DPR, kata Lucius, harus segera mengevaluasi kinerja dan koordinasi di antara aparat penegak hukum agar kasus serupa tak terulang kembali. Fungsi kontrol ini diharapkan bisa memberikan titik terang terkait kasus Joko Tjandra.
Ada pilih-pilih, ada kepentingan untuk menentukan boleh atau tidaknya rapat digelar di masa reses. Padahal, dari sisi urgensi, tentu saja kepentingan ini sangat mendesak. Seharusnya, ini menjadi tanggung jawab DPR berpartisipasi mencari jalan keluar atau melakukan pendalaman terkait kasus Joko Tjandra.
”Siapa yang harus bertanggung jawab dan apa yang harus dilakukan ke depan dalam konteks seperti ini, semua harus terjelaskan ke publik. Dan diharapkan lewat rapat terbuka di DPR, itu bisa terjadi,” ujar Lucius.