Pengurangan jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas belum menjamin kualitas legislasi yang dihasilkan. Beberapa kalangan menilai, penyusunan Prolegnas belum mengikuti acuan tertentu, seperti RPJMN.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun telah ada kesepakatan di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengubah mekanisme penentuan Program Legislasi Nasional, yakni dengan memastikan Prolegnas tahunan disusun dengan lebih realistis, hal itu dipandang tidak akan banyak berpengaruh pada kualitas Prolegnas. Sebab, selama ini visi penyusunan legislasi di DPR tidak didasarkan pada acuan atau visi yang jelas.
Pada rapat paripurna, Kamis (16/7/2020), Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengungkapkan adanya kesepakatan antara pimpinan DPR dan pimpinan Baleg DPR untuk mengubah mekanisme penentuan Prolegnas tahunan, yakni dengan membatasi setiap komisi di DPR agar hanya mengajukan satu rancangan undang-undang (RUU) setiap tahunnya. Ketika RUU itu berhasil dituntaskan pada tahun yang ditargetkan, barulah komisi itu diberi kesempatan untuk mengajukan RUU lainnya.
Selain itu, DPR juga memberikan batasan waktu yang tegas bagi penyusunan RUU, yakni dalam dua kali masa sidang. Apabila penyusunan draf RUU itu tidak selesai dalam dua kali masa sidang, RUU tersebut diusulkan untuk dikeluarkan dari Prolegnas. Adapun untuk masa pembahasan RUU dibatasi dalam tiga kali masa sidang. Jika pembahasan tidak tuntas dalam tiga kali masa sidang, pembahasan akan dialihkan pada alat kelengkapan dewan (AKD) yang lain.
Pembatasan satu RUU untuk setiap komisi itu memang seolah-olah akan memberikan perbaikan bagi tata laksana penentuan Prolegnas tahunan DPR. Namun, bukan berarti kualitas RUU yang diusulkan di dalam Prolegnas akan lebih baik.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, saat dihubungi, Jumat (17/7/2020), di Jakarta, mengatakan, pembatasan satu RUU untuk setiap komisi itu memang seolah-olah akan memberikan perbaikan bagi tata laksana penentuan Prolegnas tahunan DPR. Jumlah RUU yang diusulkan oleh DPR akan cenderung lebih sedikit dan diharapkan lebih realistis. Namun, bukan berarti kualitas RUU yang diusulkan di dalam Prolegnas akan lebih baik.
”Pembatasan jumlah itu hanya sesuatu yang dapat dilihat di permukaan saja, sedangkan ada hal lain yang penting untuk diperhatikan, yakni mengenai arah legislasi kita. Pembatasan jumlah hanya salah satu hal saja yang dapat diukur dari Prolegnas. Tetapi, yang lebih penting ialah untuk memastikan RUU itu selaras dengan agenda pembangunan,” ujarnya.
Penyesuaian dengan agenda pembangunan itu seharusnya bisa dilakukan jika setiap RUU yang diusulkan masuk di dalam Prolegnas tahunan mengikuti acuan tertentu. Misalnya, mengikuti Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Artinya, setiap RUU yang dibuat harus mengikuti kebutuhan atau program yang dicanangkan di dalam RPJMN. Dengan demikian, setiap RUU akan menopang kebutuhan regulasi bagi jalannya arah dan program pembangunan negara.
”Kalau hanya mengurangi target jumlah RUU saja, ke mana arah RUU itu masih dipertanyakan. Dengan pembatasan satu RUU dalam satu komisi, bisa saja slotnya hanya akan terisi oleh RUU yang menjadi kepentingan politik dari pembuat UU, sementara yang sebenarnya menjadi kebutuhan publik tidak terakomodasi,” ujar Fajri.
Selain membatasi jumlah RUU setiap komisi, DPR juga hendaknya menentukan alat seleksi dalam penentuan Prolegnas. Seleksi itu pun harus didasarkan pada acuan atau visi yang jelas.
Oleh karena itu, selain membatasi jumlah RUU setiap komisi, DPR juga hendaknya menentukan alat seleksi dalam penentuan Prolegnas. Seleksi itu pun harus didasarkan pada acuan atau visi yang jelas.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, pembatasan jumlah RUU yang diusulkan oleh setiap komisi memang dapat mengurangi target Prolegnas tahunan yang selama ini cenderung tidak realistis. Sebab, selama ini dari tahun ke tahun jumlah RUU yang diusulkan selalu banyak, sementara hanya sebagian kecil dari target legislasi itu yang dapat dipenuhi oleh DPR.
”Dengan adanya pembatasan satu komisi dengan satu RUU, maka sedikitnya ada keharusan atau kewajiban bagi komisi itu untuk memastikan RUU tersebut dapat dituntaskan dalam masa satu tahun. Hal ini tentu mengandaikan adanya kerja keras dari tiap-tiap komisi untuk menuntaskan kewajibannya,” kata Lucius.
Untuk pengajuan prioritas RUU lainnya, menurut Lucius, bisa juga dilakukan dengan membentuk banyak panitia khusus (pansus) yang melibatkan banyak anggota DPR lintas komisi. Pembentukan pansus itu juga untuk memfasilitasi RUU-RUU lain yang penting, tetapi belum dapat diusulkan oleh komisi karena mereka belum selesai menuntaskan target Prolegnas lainnya. Pembentukan pansus juga bisa menjadi sarana akselerasi bagi penyelesaian kebutuhan regulasi yang mendesak, sementara di saat bersamaan AKD masih menyelesaikan target RUU masing-masing.
DPR harus mengacu pada UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU itu diatur tentang hal apa saja yang dapat dijadikan rujukan bagi DPR untuk menyusun RUU.
Di samping itu, Lucius mengingatkan, DPR harus mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU itu diatur tentang hal apa saja yang dapat dijadikan rujukan bagi DPR untuk menyusun RUU. Dengan demikian, RUU yang dibentuk tidak asal-asalan.
”Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa menjadi acuan, seperti kebutuhan masyarakat, kekosongan hukum, putusan Mahkamah Konstitus (MK), amanat Undang-Undang Dasar 1945, dan RPJMN. Hal-hal itu harus menjadi dasar bagi DPR atau komisi untuk mengusulkan RUU, tidak hanya berbasis kepentingan politik,” katanya.
Sebelumnya, Supratman mengatakan, selama ini Baleg memang belum memiliki satu acuan atau visi yang pasti dalam penyusunan Prolegnas. Selain diusulkan oleh komisi, tiap-tiap anggota DPR juga dapat mengusulkan RUU sesuai dengan pemikirannya. Kondisi itu mengesankan DPR asal saja dalam menyusun Prolegnas. Akibatnya, jumlah Prolegnas tahunan berpotensi membengkak. Di sisi lain, hal itu tidak diimbangi oleh kemampuan DPR dalam menyelesaikan target Prolegnas.
”Pada saat ini, kami mulai melakukan evaluasi. Harapannya agar hal semacam itu tidak terulang. Menurut saya, Prolegnas sebaiknya memang tidak usah banyak-banyak, atau maksimal 30 saja. Daripada DPR membuat target tinggi-tinggi, tetapi ternyata tidak dapat dipenuhi sehingga menjadi penilaian kinerja yang kurang baik bagi DPR,” ujarnya.