Komisi Kejaksaan: Duduk Persoalan ”Red Notice” Joko Tjandra Harus Diperjelas
Komisi Kejaksaan menegaskan, posisi Kejaksaan Agung perlu diperjelas apakah turut meminta penghapusan nama Joko Tjandra atau sebaliknya, Kejaksaan Agung meminta agar nama Joko tetap tercatat di ”red notice” Interpol.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar dan Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai informasi terkait dengan penghilangan red notice Interpol terhadap buronan perkara cessie Bank Bali, Joko Tjandra, harus diinvestigasi secara serius. Posisi para pihak yang terkait harus didudukkan secara jelas agar perkara ini bisa terang benderang dibuka ke publik.
”Ini soal serius dan Komisi Kejaksaan akan mengejar agar masalah ini ditangani serius, diperiksa siapa yang terlibat dan bertanggung jawab, ditindak sesuai ketentuan, dan hasilnya diumumkan ke publik secara transparan,” kata Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Barita Simanjuntak, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (18/7/2020).
Dalam proses penghilangan nama Joko Tjandra itu, kata dia, perlu diperiksa posisi Kejaksaan Agung, apakah turut meminta penghapusan nama Joko Tjandra atau sebaliknya, Kejaksaan Agung meminta agar nama itu tetap tercatat di red notice Interpol.
Sebelumnya, Joko yang divonis 2 tahun penjara kabur dari Indonesia pada 2009 ke Papua Niugini. Pada 8 Juni 2020, dia kembali ke Indonesia, mengurus KTP elektronik, kemudian mendaftarkan peninjauan kembali perkaranya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Joko diketahui juga mendapat surat jalan yang ditandatangani oleh Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri, untuk tujuan Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat, pada 19 Juni. Prasetijo dicopot dari jabatannya dan diperiksa oleh Propam Polri (Kompas, 16/7/2020).
Dalam rentetan masuk-keluarnya Joko Tjandra ke Indonesia, terungkap ada proses korespondensi antara Divisi Hubungan Internasional Polri ke Ditjen Imigrasi pada 5 Mei 2020. Surat itu terkait pemberitahuan penghapusan red notice Interpol Joko.
Selain itu, juga diduga ada korespondensi antara Divisi Hubungan Internasional Polri dan Kejaksaan Agung. Dalam surat tertanggal 21 April 2020 dari Kejaksaan Agung ke Divisi Hubungan Internasional Polri, Kejaksaan Agung meminta agar nama Joko Tjandra tetap ada di red notice Interpol.
Kepala Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menolak untuk menanggapi surat tersebut. Surat bertanggal 21 April 2020 tersebut bersifat rahasia dan sangat segera. ”Maaf, surat itu kodenya R=Rahasia, kami tidak menanggapi,” ujarnya.
Kelemahan koordinasi
Menurut Barita, selama ini kelemahan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah kerja sama atau koordinasi antarpenegak hukum. Misalnya, terkait sistem cekal antara kejaksaan, kepolisian, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Kementerian Dalam Negeri.
Lemahnya koordinasi itu berakibat pada munculnya celah yang kemudian dimanfaatkan oknum untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Padahal, di sisi lain, semua instansi tersebut telah didukung dengan sarana dan prasarana intelijen yang memadai dengan anggaran yang besar.
”Namun, hasilnya, kok, hanya seperti ini? Inilah yang harus dibenahi,” ujarnya.
Lemahnya koordinasi penegakan hukum di Indonesia berakibat pada munculnya celah yang kemudian dimanfaatkan oknum untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Padahal, di sisi lain, semua instansi tersebut telah didukung dengan sarana dan prasarana intelijen yang memadai dengan anggaran yang besar.
Bukan penghapusan
Terkait red notice Joko Tjandra, dua perwira tinggi Polri, kemarin, dicopot dari jabatannya. Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dicopot dari jabatan sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri serta Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo dari posisinya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono menuturkan, pencopotan karena melanggar kode etik Polri terkait penerbitan surat pemberitahuan penghapusan red notice Joko Tjandra tertanggal 5 Mei 2020 ke Ditjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM. Surat atas nama Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu ditandatangani Brigjen (Pol) Nugroho.
Nugroho, kata Argo, melanggar kode etik karena menandatangani surat tanpa sepengetahuan atasannya. Sementara itu, Irjen Napolenon dicopot dari jabatan karena tidak dapat mengawasi jajarannya (Kompas, 18/7/2020).
Terkait isi surat tersebut, Argo dalam jumpa pers Jumat petang di Mabes Polri menegaskan, surat itu bukanlah permintaan penghapusan red notice untuk Joko Tjandra. Surat tersebut hanya ingin menyampaikan bahwa nama Joko sudah terhapus di sistem otomatis Interpol.
Argo mengatakan, data seseorang yang masuk dalam red notice Interpol akan terhapus otomatis dalam kurun waktu lima tahun jika tak ada pembaruan. Itu tertuang dalam peraturan pemrosesan data Interpol yang terbit tahun 2019.
Data seseorang yang masuk dalam red notice Interpol akan terhapus otomatis dalam kurun waktu lima tahun jika tak ada pembaruan. Itu tertuang dalam peraturan pemrosesan data Interpol yang terbit tahun 2019.
Atas dasar aturan tersebut, lanjut Argo, Brigjen (Pol) Nugroho S Wibowo mengirimkan surat kepada Dirjen Imigrasi tertanggal 5 Mei 2020. ”Jadi, (surat) ini bukan penghapusan red notice, melainkan penyampaian. Yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi ini adalah menyampaikan, ini lho bapak Dirjen Imigrasi bahwa red notice atas nama Joko Tjandra sudah terhapus di Interpol karena ada deleted by system,” ujar Argo.
Argo menunjukkan kedaluwarsa lima tahun red notice diatur dalam Bab 5 Pasal 68 Ayat 3 peraturan pemrosesan data Interpol. Sedangkan penghapusan red notice secara otomatis dari sistem Interpol ada pada Bab 2 Pasal 51 Ayat 2.
Sementara Pasal 68 Ayat 3 berbunyi, ”file analisis dapat dibuat oleh Sekretariat Jenderal untuk periode waktu tidak melampaui lima tahun.” Dalam Pasal 68 Ayat 1 disebutkan bahwa file analisis adalah database temporer yang dibuat untuk tujuan analisis kejahatan.
Sementara itu, Pasal 51 Ayat 2 berbunyi lebih kurang, ”Data juga dapat dihapus secara otomatis pada saat masa penyimpanan berakhir apabila NCB, entitas nasional, atau entitas internasional tidak mengindikasikan kebutuhan untuk menyimpan data untuk tujuan yang diinginkan.”
Argo menjelaskan bahwa Sekretaris NCB Interpol Indonesia telah memasukkan nama Joko dalam red notice pada 2009 atas permintaan Kejaksaan Agung. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan nama seseorang masuk dalam red notice Interpol, seperti surat daftar pencarian orang (DPO), data perlintasan, data sidik jari, dan gelar perkara di Bareskrim. Dokumen tersebut tertulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.
Selang lima tahun atau 2014, kata Argo, status red notice Joko terhapus oleh sistem. Sesuai dengan aturan, kata Argo, masa kedaluwarsa red notice lima tahun dan langsung terhapus oleh sistem. ”Jadi, ada batas waktunya red notice,” kata Argo.
Kemudian, pada 2015, Argo menyebut, muncul kabar bahwa Joko Tjandra berada di Papua Nuigini. Saat itu, tepatnya 12 Februari 2015, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri langsung mengirim surat ke Dirjen Imigrasi agar memasukkan Joko dalam daftar pencarian orang (DPO).
”Dikatakan di (surat) sini bahwa mohon bantuan untuk memasukkan nama Joko Soegiarto Tjandra ke dalam DPO Imigrasi dan melakukan tindakan pengamanan apabila terlacak lewat TPI (tempat pemeriksaan imigrasi),” kata Argo.
Alasan Polri mengajukan DPO atas Joko, lanjut Argo, karena diketahui nama tersebut sudah terhapus dari sistem Interpol. ”Itu sudah upaya Polri,” ujarnya.