Putusan Kasus Novel Tak Beri Perlindungan kepada Penegak Hukum
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menghukum pelaku penyerangan Novel Baswedan dengan pidana 2 tahun penjara dan 1,5 tahun penjara dinilai tak cukup untuk melindungi penegak hukum dari serangan serupa ke depan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim advokasi Novel Baswedan kecewa terhadap putusan yang dijatuhkan kepada dua polisi penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. Meskipun putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu telah melebihi tuntutan jaksa (ultrapetita), tetapi tidak cukup memberikan perlindungan terhadap penegak hukum khususnya penyidik perkara korupsi.
Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, saat dihubungi Jumat (17/7/2020) mengatakan, meskipun dua polisi penyerang Novel dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa, vonis tersebut masih terhitung ringan. Tim advokasi menilai sejak awal memang sudah ada skenario agar dua pelaku itu divonis ringan. Hal itu dimaksudkan agar kedua terdakwa tidak dipecat dari kepolisian dan menjadi whistle blower atau justice collaborator.
”Terbukti, seusai vonis dibacakan, kedua terdakwa langsung menerima putusan tersebut. Meskipun sebenarnya vonis lebih berat dari tuntutan jaksa,” ujar Kurnia.
Tim advokasi Novel Baswedan menilai sejak awal memang sudah ada skenario agar dua pelaku itu divonis ringan.
Sebelumnya, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara terhadap Rahmat Kadir Mahulette, dan 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Ronny Bugis. Vonis terhadap pelaku penyiraman air keras yang mengakibatkan kerusakan mata Novel Baswedan itu lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu pidana 1 tahun penjara, (Kompas, 17 Juli 2020).
Kurnia juga mengatakan, tuntutan jaksa dapat dibuat ringan karena alat bukti dan saksi yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki keterkaitan serta kesesuaian dengan terdakwa. Oleh karena itu, putusan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 183 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengamanatkan agar keyakinan hakim saat memutus didasarkan pada dua alat bukti yang sah.
Penasihat hukum Novel Baswedan Saor Siagian menambahkan, banyak kejanggalan dalam persidangan, seperti tidak dihadirkannya saksi utama. Padahal, menurut hasil penelusuran Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk polisi, Novel diserang karena kinerjanya dalam memberantas kasus korupsi kelas kakap.
Sejumlah kasus besar yang diungkap Novel adalah kasus korupsi KTP elektronik, korupsi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dugaan korupsi yang melibatkan bekas Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi, korupsi Wisma Atlet, dan diduga terkait terungkapnya “buku merah”, salah satu bukti catatan aliran uang dalam kasus suap hakim MK Patrialis Akbar. Namun, bukti-bukti dari TGPF tersebut tidak pernah diungkap di persidangan.
Selain itu, di persidangan majelis hakim juga mengatakan bahwa kedua terdakwa terbukti merencanakan penganiayaan. Padahal, seharusnya menurut Saor, perbuatan terdakwa termasuk dalam kategori penganiayaan berat. Akibat penyerangan tersebut, Novel Baswedan menderita buta mata kiri, dan mata kanan rusak 50 persen.
Seharusnya, tambahnya, majelis hakim dapat menyatakan pelaku penyerangan Novel melanggar Pasal 353 KUHP dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara. Majelis juga dapat memberlakukan pemberatan pidana karena penyerangan dilakukan kepada aparat penegak hukum. Namun, hal tersebut tidak dilakukan.
”Persidangan kemarin hanya formalitas, menutupi siapa aktor utama yang memerintahkan penyerangan terhadap Novel Baswedan,” kata Saor.
Putusan tersebut, lanjut Saor, mencerminkan bahwa negara melalui badan peradilannya belum bisa memberikan perlidungan terhadap aparat penegak hukum, khususnya yang memberantas kasus korupsi. Dengan hukuman yang ringan tersebut, dikhawatirkan akan menambah daftar panjang penyerangan terhadap penyidik KPK. Apalagi, para penyidik yang bertugas menangani kasus korupsi kelas kakap.
Dengan hukuman yang ringan tersebut, dikhawatirkan akan menambah daftar panjang penyerangan terhadap penyidik KPK. Apalagi, para penyidik yang bertugas menangani kasus korupsi kelas kakap.
Kurnia menambahkan, sejak awal persidangan, tim advokasi sudah mencurigai bahwa proses peradilan dirancang untuk menguntungkan para terdakwa. Fakta-fakta sebenarnya dikesampingkan sejak awal, mulai dari dakwaan, pembuktian, tuntutan jaksa, hingga putusan.
”Sikap yang tidak mengungkap kejahatan politik sampai akarnya pada saat ini hanyalah perulangan terhadap kasus-kasus serangan terhadap aktivis antikorupsi serta aktivis-aktivis lain dan penegak hukum pemberantas korupsi,” kata Kurnia.
Oleh karena itu, tim advokasi Novel Baswedan berkesimpulan bahwa vonis majelis hakim dalam kasus Novel belum menunjukkan keberpihakan peradilan terhadap korban kejahatan, khususnya penegak hukum dalam perkara korupsi. Dikhawatirkan, penyidik kasus korupsi akan terus dibayang-bayangi teror karena negara kurang serius dalam memberikan perlindungan hukum.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, tim advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo selaku kepala negara. Tim meminta presiden bersikap tegas terhadap kelompok yang mencoba merusak citra penegakan hukum di Indonesia.
Tim advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban dari Presiden Joko Widodo selaku kepala negara. Tim meminta presiden bersikap tegas terhadap kelompok yang mencoba merusak citra penegakan hukum di Indonesia.
Presiden juga dianggap paling berwenang karena Polri dan Kejaksaan Agung berada di bawah presiden langsung. Baik atau buruknya penegakan hukum di Indonesia adalah tanggung jawab langsung dari presiden.
”Kami meminta presiden membentuk ulang Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kembali kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan. Sebab, penanganan oleh kepolisian kemarin gagal untuk mengungkap tuntas kasus termasuk aktor intelektual dalam kejahatan tersebut,” kata Kurnia.
Di dalam persidangan kemarin, majelis dalam pertimbangannya mengatakan bahwa kedua terdakwa telah mencederai citra Polri. Hal itu menjadi hal memberatkan para terdakwa.
Kurnia mengatakan, hal tersebut harus menjadi perhatian dari pihak kepolisian. Sebab, vonis Novel terjadi bersamaan dengan dugaan adanya keterlibatan pejabat Polri dalam lolosnya narapidana kasus cessie Bank Bali Joko S Tjandra.