Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menekankan pandemi Covid-19 semestinya dipandang sebagai tragedi kemanusiaan karena sudah merenggut banyak korban. Covid-19 tidak boleh diremehkan
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pandemi Covid-19 bukan semata-mata persoalan ekonomi, sosial, politik, tetapi tragedi kemanusiaan karena telah merenggut lebih dari setengah juta penduduk dunia. Karena itu semestinya semua elemen bangsa tidak meremehkan pandemi penyakit yang disebabkan virus SARS-Cov-2.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam jumpa wartawan secara virtual, Jumat (17/7/2020), mengatakan, segala sesuatu yang menyebabkan kematian manusia, meski hanya satu nyawa, merupakan tragedi kemanusiaan. Pandemi Covid-19 pun semestinya dipandang sebagai tragedi kemanusiaan karena sudah merenggut banyak korban.
Hingga Jumat ini setidaknya 593.019 jiwa penduduk dunia meninggal setelah terpapar Covid-19. Jumlah penduduk yang terpapar SARS-Cov-2 juga terus bertambah hingga mencapai 13,96 juta jiwa pada Jumat.
Karena itu menurut Haedar, pandemi Covid-19 tidak bisa disederhanakan. “Perang dan apapun yang menyebabkan matinya satu nyawa saja, itu harus dipandang sebagai tragedi dalam kemanusiaan. Karena itu jangan mencoba meletakkan kasus ini (Covid-19) menjadi ringan-ringan saja. Apalagi memandang toh orang Indonesia biasa meninggal karena flu dan sebagainya,” kata Haedar.
Pandangan yang cenderung meremehkan Covid-19 bertentangan dengan prinsip keagamaan dan ketuhanan. Selain itu juga bertentangan dengan prinsip keharusan menyelamatkan nyawa manusia, yang merupakan salah satu ajaran Islam.
Begitu pula upaya untuk menangani dampak Covid-19, terutama di sektor ekonomi, semestinya dilakukan tanpa mengabaikan sumber sekaligus dampak pandemi, yakni kematian manusia. Problem utama pandemi, yakni kesehatan, tidak boleh dikesampingkan. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus terus berupaya mencegah penularan sekaligus mengendalikan Covid-19.
“Kami berharap pada pemerintah ketika mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang terkait pandemi harus betul-betul dilakukan dengan seksama. Termasuk usaha mengendalikan Covid-19 ini sebagai prioritas utama,” ujar Haedar.
Kami berharap pada pemerintah ketika mengambil keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang terkait pandemi harus betul-betul dilakukan dengan seksama. Termasuk usaha mengendalikan Covid-19 ini sebagai prioritas Utama.
Organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, lanjut Haedar, sudah berusaha sedemikian rupa untuk memutus mata rantai Covid-19. Termasuk mencari dan melakukan ijtihad bagi kegiataan keagamaan, termasuk ibadah. Kebiasaan yang dilakukan umat Islam, seperti sholat berjamaah di masjid serta sholat Idul Fitri dan Idul Adha di tanah lapang, harus diubah karena pandemi.
Muhammadiyah sendiri sejak awal melakukan ijtihad demi menyiapkan panduan beribadah selama pandemi, salah satunya panduan untuk melakukan sholat Idul Fitri di rumah bersama keluarga terdekat. Muhammadiyah mencoba mencari dasar hukum sehingga kebiasaan baru dalam beribadah tetap sesuai dengan syariat. Haedar menyampaikan, tidak mudah bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah yang tak sesuai dengan kebiasaan.
“Kami (ormas keagamaan) harus terus meyakinkan umat bagaimana kami melakukan ijtihad itu tetap sesuai syariat, dan tujuannya untuk menyelamatkan manusia. Ini tidak mudah, tetapi akhirnya ummat bisa mengerti,” kata dia.
Keraguan ummat kembali muncul saat pemerintah memutuskan untuk membuka pusat-pusat kegiatan masyarakat, terutama pusat perbelanjaan. Mereka mempertanyakan mengapa masjid ditutup, sementara tempat wisata, mall, dan pusat kegiatan masyarakat lainnya malah dibuka.
Ormas-ormas keagamaan pun harus kembali meyakinkan masyarakat mengenai pentingnya beribadah tanpa harus membahayakan diri dan orang lain. Muhammadiyah, bahkan, sampai memutuskan kembali menunda penyelenggaraan muktamar. Awalnya muktamar diagendakan digelar Juli 2020, tetapi diundur menjadi Desember 2020, dan kemudian kembali ditunda.
Tak hanya itu Muhammadiyah juga merencanakan menggelar tanwir secara daring, Minggu (19/7/2020). “Kami ingin meyakinkan publik bahwa Muhammadiyah memundurkan muktamar untuk menyelamatkan nyawa sesama dan untuk kepentingan bersama. Ini panggilan keagamaan,” tuturnya.
Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto menambahkan, agenda tanwir adalah menetapkan jadwal muktamar sekaligus mengonsolidasikan penanganan Covid-19 oleh persyarikatan. Pandemi Covid-19 yang belum terkendali menjadi pertimbangan Muhammadiyah menunda muktamar hingga tahun 2021, bahkan bisa juga hingga tahun 2022.