Dimutasi karena Sikap Hormat Tak Bisa Diubah, Orangtua Murid Gugat ke PTUN
Orangtua seorang pelajar di Malang menggugat sekolah ke PTUN karena anaknya dimutasi. Mutasi dilakukan karena peserta didik tersebut tidak mau memberi hormat saat pengibaran bendera dan menyanyikan ”Indonesia Raya”.
Oleh
INGKI RINALDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman yang merongrong ideologi Pancasila bisa datang dari banyak sumber. Pemahaman yang menyeluruh dari berbagai lembaga negara terhadap berbagai ancaman itu diperlukan untuk menghadapinya.
Salah satu kasus yang terjadi ialah gugatan hukum yang dilakukan orangtua salah satu murid SMKN 4 Malang atas keterangan mutasi yang dikeluarkan sekolah untuk anaknya. Surat keterangan mutasi itu diterbitkan setelah peserta didik bersangkutan tetap menolak memberikan hormat dengan ujung jari telunjuk telapak tangan di dahi kanan serta menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” saat upacara bendera dilakukan.
Kepala SMKN 4 Malang Wadib Su’udi, dalam diskusi daring yang diselenggarakan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Rabu (15/7/2020), mengatakan, kejadian itu diketahui pada Agustus 2019. Setelah dilakukan teguran, pendekatan, hingga diskusi dengan orangtua, hingga Desember 2019, sikap peserta didik itu tidak berubah.
Belakangan, saat hendak dilakukan musyawarah lanjutan dengan sejumlah elemen pendidikan dan aparat penegak hukum, orangtua pelajar bersangkutan pada Januari 2020 langsung menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada kuasa hukum. Kini, kasus itu tengah bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Surat keterangan mutasi dikeluarkan menyusul peserta didik bersangkutan dianggap melanggar tata tertib sekolah yang sudah disepakati. Kesepakatan itu dituangkan dalam pernyataaan bersama orangtua di atas meterai Rp 6.000 saat pendaftaran ulang di awal masa sekolah. Wadib menyatakan jika memang peserta didik tersebut bersedia mematuhi tata tertib, pihaknya bisa menerima kembali yang bersangkutan. Namun, jika tidak, dipersilakan mencari sekolah lain.
Kuasa hukum SMKN 4, Nizar Fikri, menyebutkan bahwa dalam keterangan orangtua pelajar tersebut, sikap sang anak yang tidak menunjukkan hormat bendera dengan mengangkat tangan saat bendera Merah Putih dikibarkan, didasarkan pada keyakinan yang bersumber dari Alkitab. Nizar menyebutkan, kasus serupa pernah terjadi di PTUN Samarinda.
Sikap hormat pelajar dalam organisasi sekolah mesti mengacu pada Peraturan Mendikbud No 22/2018 tentang Pedoman Upacara Bendera di Sekolah, yaitu dengan cara menempelkan sebagian tangan kanan ke pelipis kanan.
Menurut Nizar, sikap hormat pelajar dalam organisasi sekolah mesti mengacu pada Peraturan Mendikbud Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Upacara Bendera di Sekolah, yaitu dengan cara menempelkan sebagian tangan kanan ke pelipis kanan. Jika dikutip dari Pasal 18 Ayat 1 Permendikbud tersebut, sikap hormat dilakukan dengan mengepalkan telapak tangan kanan diletakkan pada dada sebelah dengan ibu jari menempel di dada sebelah kiri atau mengangkat tangan kanan sebatas kepala dengan jari telunjuk menempel pada pelipis.
Akan tetapi, pada kasus pelajar di SMKN 4 tersebut, ketentuan sikap hormat bendera dalam Peraturan Mendikbud No 22/2018 itu tidak dilakukan. Ini ditambah dengan tidak dinyanyikannya lagu ”Indonesia Raya” oleh yang bersangkutan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi BPIP Ani Purwanti mengatakan, sikap terhadap lambang negara di kalangan pelajar itu penting untuk diadvokasi agar tidak menjadi preseden bagi pelajar lain di kemudian hari.
Terkait proses hukum yang bergulir di PTUN Surabaya, menurut Ani, para penegak hukum kemungkinan masih akan menjadikan Pasal 62 UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sebagai pijakan dalam mengadili kasus tersebut. Pada bagian penjelasan Pasal 62 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”berdiri tegak dengan sikap hormat” pada waktu lagu kebangsaan diperdengarkan/dinyanyikan adalah berdiri tegak di tempat masing-masing dengan sikap sempurna, meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan telapak tangan, dan ibu jari menghadap ke depan merapat pada paha disertai pandangan lurus ke depan.
Sikap terhadap lambang negara di kalangan pelajar itu penting untuk diadvokasi agar tidak menjadi preseden bagi pelajar lain di kemudian hari.
Ani menyebutkan, Pasal 62 UU No 24/2009 itu pula yang akan dipakai sebagai legal standing kuasa hukum penggugat. Ketentuan hormat bendera itu cenderung berbeda dengan Peraturan Mendikbud No 22/2018. Dari sisi substansi, ketentuan di dalam pasal UU No 24/2009 dapat dimintakan tafsir ke Mahkamah Konstitusi.
Kepala Seksi Media Literasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Eri Suprayitno mengatakan, kasus tersebut perlu menjadi perhatian bersama agar jangan sampai ada kelompok lain melakukan hal serupa. Sekalipun belum ada penelitian terhadap komunitas agama tertentu dalam kasus di SMKN 4 Malang tersebut, ia menyebutkan bahwa terdapat pula kelompok-kelompok keyakinan lain yang juga melarang untuk hormat bendera dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”.
”Negara tidak boleh kalah (oleh) kemauan kelompok tertentu. Bagaimana (mencegah) ini (agar tidak menjadi) bola salju dan membesar (sebagai) ancaman bagi negara,” sebut Eri.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menambahkan, kasus serupa pernah ditangani KPAI di Batam, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sejumlah lokasi lain. Menurut Susanto, tidak adil jika kasus itu hanya ditimpakan ke sekolah. Pemerintah perlu mencari akar persoalan yang lebih dalam, terutama jika ketidakbersediaan menghormat terhadap lambang negara dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” disebabkan oleh faktor ideologi orangtua.
Ia menegaskan, anak yang tidak hormat pada bendera harus dilihat dari aspek keyakinan, pengetahuan, dan tradisi yang bersangkutan. Selain itu, penting pula didalami tentang pola pengasuhan dan pengaruh tokoh ataupun lingkungan pertemanan dari pelajar yang bersangkutan.