”Pemulangan” Aset Hasil Korupsi Butuh RUU Perampasan Aset
Ratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik Indonesia dan Swiss hanya bagian kecil dari upaya legislasi untuk ”memulangkan” aset hasil kejahatan, termasuk korupsi. Lebih penting, dibutuhkan RUU Perampasan Aset.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik Pemerintah Indonesia dan Swiss dinilai belum cukup untuk ”memulangkan” aset-aset hasil tindak pidana kejahatan, termasuk korupsi. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset perlu jadi perhatian pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada Selasa (14/7/2020), DPR menyetujui ratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance (MLA) Pemerintah Indonesia dan Swiss. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pun akan segera membentuk tim khusus untuk melacak aset-aset hasil kejahatan, termasuk korupsi dan pencucian uang di Swiss (Kompas, 15/7/2020).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, Pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan Swiss untuk membuka dan meminta data yang ada. Ia menegaskan, aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss, sebelum perjanjian bantuan hukum timbal balik Indonesia dengan Swiss berlaku, tetap bisa dilacak dan disita oleh negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun menyambut baik pengesahan perjanjian tersebut. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengungkapkan, KPK menghargai ratifikasi perjanjian bantuan hukum timbal balik Pemerintah Indonesia dan Swiss. Ia berharap hal tersebut dapat berkontribusi pada penegakan hukum sesuai dengan ruang lingkupnya.
Meskipun demikian, terkait upaya pengembalian aset hasil korupsi dan prinsip dari MLA, penegak hukum di Indonesia tetap dituntut profesional dan mampu memetakan keberadaan alat bukti serta aset di dalam dan di luar negeri.
”Dengan adanya MLA, dasar hukum kerja sama internasional menjadi lebih kuat. Namun, kapasitas penegak hukum kita tetap menjadi poin utama,” kata Nawawi.
Merujuk data dari KPK, hingga saat ini belum ada aset koruptor di Swiss. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Rabu (15/7/2020), mengatakan, hingga saat ini tidak ada penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan perkara tindak pidana korupsi di KPK yang terkait dengan otoritas, badan hukum, warga, maupun aset di Swiss.
Peraturan yang dibutuhkan
Nawawi menyampaikan, jika berbicara komitmen pemberantasan korupsi, KPK memandang hal yang sangat dibutuhkan saat ini ada dua. Keduanya adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dan pengaturan sejumlah tindak pidana korupsi sesuai Konvensi PBB tentang Antikorupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Ia menyebutkan, beberapa aturan korupsi di dunia internasional sudah disebut korupsi, tetapi di Indonesia belum. Aturan tersebut di antaranya peningkatan kekayaan secara tidak sah, memperdagangkan pengaruh, korupsi di sektor swasta, dan suap terhadap pejabat publik asing.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, MLA Indonesia dengan Swiss hanya menjadi bagian kecil dari legislasi yang mendukung perampasan aset hasil kejahatan korupsi di luar negeri.
”Hal yang paling penting saat ini adalah bagaimana DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, RUU tersebut menjadi paket penting untuk dapat merampas aset hasil kejahatan korupsi. Jika RUU ini sudah disahkan, penegak hukum tidak lagi bergantung pada kehadiran para pelaku korupsi di Indonesia.
Meskipun menjadi buronan, aset mereka yang diduga berasal dari kejahatan korupsi bisa dirampas dalam persidangan. Metode pembuktiannya pun lebih mudah karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengatakan, upaya pengembalian aset hasil kejahatan korupsi merupakan hal yang tidak mudah, sangat rumit, berliku, dan jarang yang mencapai hasil memuaskan.
Upaya melacak dan mengembalikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi yang telah ditransfer ke negara lain sering kali merupakan hal yang sangat melelahkan, bahkan tidak jarang menimbulkan friksi antarnegara atau pemerintah yang terlibat di dalamnya.
Pengembalian aset hasil kejahatan korupsi sering digambarkan sebagai ”missing link” dari upaya yang efektif untuk memerangi kejahatan korupsi. Pengembalian aset merupakan faktor penting dalam upaya pencegahan korupsi di negara mana pun. Sebab, aset yang dicuri oleh koruptor akan dilacak, dibekukan, dirampas, dan dikembalikan ke negara korban.
MLA merupakan pintu masuk dan kunci bagi pengembalian aset negara yang dijarah melalui korupsi. Sejumlah negara, seperti Nigeria, Peru, Filipina, dan Gambia, terbukti mencapai keberhasilan dalam proses pengembalian atau repatriasi aset hasil kejahatan korupsi yang dilakukan pejabat atau mantan pejabat di negara-negara yang bersangkutan.
Kerumitan terjadi karena sering kali aset hasil tindakan korupsi yang menjarah uang publik tersebut dipindahkan dan ditempatkan dengan membentuk perusahaan-perusahaan kecil. Mereka menginvestasikan dana yang dikuasai tersebut dalam berbagai cara atau mendepositokan dana tersebut di berbagai bank, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan nama yang direkayasa dalam banyak rekening atau rekening dengan nama-nama sandi.
Menurut Sigit, MLA merupakan cara yang murah untuk mengembalikan aset negara, tetapi prosesnya lambat. Sementara itu, gugatan perdata lebih cepat prosesnya, tetapi biayanya mahal. Cara lainnya, dengan mengajukan proses peradilan kriminal asing, misalnya dengan memanfaatkan Money Laundering Law Swiss.