Kampanye Adaptasi Kebiasaan Baru Melibatkan Tokoh Agama
Wapres Ma’ruf Amin mengajak seluruh pemimpin agama untuk ikut mengampanyekan penerapan protokol kesehatan saat memasuki tatanan baru pandemi Covid-19. Dengan demikian, masyarakat tetap produktif dan tetap aman.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemimpin agama diharap terus mendorong umat untuk mematuhi protokol kesehatan dan mengadaptasi kebiasaan baru. Di sisi lain, solidaritas antarsesama perlu diperkuat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan pesannya ini saat memberi sambutan sebelum membuka dialog nasional lintas iman yang diselenggarakan secara virtual oleh Badan Pengelola Masjid Istiqlal, Selasa (14/7/2020).
Hadir sebagai panelis dalam dialog ini adalah Menteri Agama Fachrul Razi, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Kardinal Mgr Ignatius Suharyo, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Gomar Gultom, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Perwalian Umat Buddha Indonesia Siti Hartati Murdaya, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Budi Santoso Tanuwibowo, dan Kepala Pusat Kerukunan Beragama Kementerian Agama Nifasri.
Peran para pemimpin agama sebagai panutan dinilai penting dalam mengampanyekan protokol kesehatan kepada masyarakat. Sebab, pandemi Covid-19 tak bisa ditangani sendiri oleh pemerintah. Pemerintah perlu dukungan semua komponen masyarakat.
Hingga 12 Juli 2020, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 hampir mencapai 13 juta orang di seluruh dunia dengan 7,4 juta di antaranya sembuh dan sekitar 567.000 jiwa meninggal. Di Indonesia, kasus positif Covid-19 sudah mencapai 75.699 kasus dengan 36.455 sembuh dan 3.606 meninggal.
”Saya ingin mengajak kita semua untuk terus memberikan bimbingan kepada semua umat untuk menjaga semangatnya dalam mematuhi semua protokol kesehatan dengan menggunakan masker, sering mencuci tangan, dan menjaga jarak, serta menjaga diri dan keluarganya agar tetap sehat dan produktif tetapi tetap terlindungi dari kemungkinan tertular virus korona,” tutur Wapres Amin.
Saya ingin mengajak kita semua untuk terus memberikan bimbingan kepada semua umat untuk menjaga semangatnya dalam mematuhi semua protokol kesehatan.
Wapres juga mengajak semua tokoh agama untuk mendorong segenap umat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan terutama di saat memasuki tatanan baru. Dengan demikian, masyarakat dapat kembali beraktivitas dan produktif demi menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi dengan aman. Rantai penularan virus korona baru pun bisa diputus.
Para tokoh agama, menurut Nasaruddin, memang perlu memicu semangat hidup dan semangat juang masyarakat melalui kekuatan doa dan kekuatan solidaritas. Hal senada juga diungkapkan oleh Pendeta Gomar Gultom. Pendampingan saat umat menghadapi berbagai masalah termasuk masalah finansial dan psikososial lainnya juga perlu dilakukan.
Wapres juga berharap agar para pemimpin agama mengajak semua umat untuk terus berbagi dan menggalang solidaritas. Kendati pemerintah mengalokasikan anggaran untuk jaring pengaman sosial, uluran tangan umat dapat meringankan beban mereka yang memerlukan bantuan.
Sejalan dengan hal itu, menurut Suharyo, dalam pembinaan umat Katolik, hal itu dilakukan dengan pedoman bahwa semakin beriman harus semakin bersaudara dan berbela rasa. Sebab, ketika betul-betul beriman, seseorang akan melihat sesamanya sebagai saudara. Ketika mengaku beriman tetapi tidak memiliki rasa persaudaraan, iman mereka bisa dipertanyakan. Rasa persaudaraan ini pun membangkitkan bela rasa, empati, dan belas kasihan. Persaudaraan dengan berpedoman pada Pancasila inilah yang menjadi dasar menjadi warga bangsa yang bermartabat.
Ketika betul-betul beriman, seseorang akan melihat sesamanya sebagai saudara. Ketika mengaku beriman tetapi tidak memiliki rasa persaudaraan, iman mereka bisa dipertanyakan.
Budi menambahkan, pandemi Covid-19 mengingatkan manusia untuk menjaga keseimbangan. Bukan sekadar memuji Tuhan, melainkan juga mengikuti hukum yang menjaga semesta ini.
”Agama tidak boleh menentang kearifan ilmu pengetahuan. Sebab, banyak hal tidak bisa hanya diselesaikan agama. Tetapi memang perut harus diisi dulu baru otak dan kemudian bicara hati dan kebijaksanaan,” tuturnya.
Indonesia secara umum, menurut Fachrul Razi, patut bangga karena semua elemen masyarakat di Indonesia berupaya menebar solidaritas dan kerukunan kendati ada juga sekelompok kecil yang sebaliknya. ”Meski tidak semuanya sepenuhnya menunjukkan kerukunan umat beragama, tetapi lebih banyak yang bersimpati dan berusaha untuk mewujudkan kerukunan beragama ini,” katanya.