DPR Dorong Pembenahan Penegak Hukum
Komisi III DPR akan mengonfrontasi tiap instansi yang terkait dengan upaya koordinasi dalam penanganan buron Joko Tjandra. DPR minta oknum yang bermain-main dalam kasus itu ditindak secara tegas.
JAKARTA, KOMPAS — Belum tertangkapnya Joko Tjandra mencoreng muka penegakan hukum di Tanah Air. Terlebih lagi muncul dugaan ada upaya dari oknum instansi tertentu untuk melindungi buron terpidana korupsi hak tagih piutang atau cessie Bank Bali tersebut. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mendorong penegak hukum untuk segera mencari oknum di internal penegak hukum yang bermain melindungi buron 11 tahun tersebut.
Komisi III DPR berencana menggelar rapat gabungan dalam waktu dekat ini untuk mengonfrontasi semua pihak, utamanya penegak hukum, dalam penanganan kasus Joko Tjandra. Pada Senin (13/7/2020), Komisi III DPR telah melakukan rapat dengan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jhoni Ginting.
Peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi wajah penegakan hukum kita. Bayangkan saja, seorang Joko Tjandra bisa mengelabui seluruh penegak hukum kita. (Herman Herry)
Dari rapat itu mengemuka sejumlah peristiwa yang melibatkan Joko Tjandra. Keleluasaan Joko Tjandra untuk keluar masuk wilayah Indonesia pun menyiratkan kelemahan koordinasi antarpenegak hukum di Tanah Air.
”Seperti saya katakan sebelumnya, peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi wajah penegakan hukum kita. Bayangkan saja, seorang Joko Tjandra bisa mengelabui seluruh penegak hukum kita,” ungkap Ketua Komisi III DPR Herman Hery, saat dihubungi Selasa (14/7) di Jakarta.
Lemahnya koordinasi antarpenegak hukum tersebut antara lain terlihat dari kronologi pergerakan Joko Tjandra yang disampaikan Ditjen Imigrasi. Pada 5 Mei 2020, kepolisian melalui Divisi Hubungan Internasional mengirim surat penghapusan Interpol Red Notice kepada Ditjen Imigrasi. Pada 13 Mei 2020, kepolisian kembali mengirimkan surat yang meminta penghapusan nama Joko Tjandra dari Sistem Informasi Manajeman Keimigrasian.
Kemudian, baru pada 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung menyurati Ditjen Imigrasi dan meminta agar Joko dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Pada 3 Juli 2020, Kejagung meniindaklanjuti surat dengan meminta pencegahan Joko Tjandra ke luar negeri.
Kejagung, Polri, dan Menkumham didorong melakukan investigasi internal untuk mencari apa adakah oknum internal yang ’bermain’ dalam melindungi Joko Tjandra.
Selain melakukan koordinasi, Herman Herry juga mendorong Kejagung, Polri, dan Menkumham melakukan investigasi internal untuk mencari apa adakah oknum internal yang ”bermain” dalam melindungi Joko Tjandra. ”Jika ada, saya mendorong agar oknum tersebut diberi sanksi secara tegas,” katanya.
Sebelumnya, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengungkapkan adanya surat jalan yang dikeluarkan oleh instansi tertentu untuk mengawal Joko Tjandra, dari Jakarta ke Pontianak dan sebaliknya, pada 19-22 Juni 2020. Foto surat itu telah disampaikan kepada Ombudsman RI (ORI) untuk ditindaklanjuti ada atau tidaknya dugaan malaadministrasi dalam keluarnya surat tersebut.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, foto surat itu juga akan disampaikan kepada Komisi III DPR untuk ditindaklanjuti. ”Foto surat diserahkan dalam kondisi amplop tertutup dengan harapan akan dibuka oleh Komisi III DPR pada saat Rapat Kerja Gabungan dengan Kemenkumham, kepolisian, dan kejaksaan yang direncanakan dalam waktu minggu ini atau minggu depan. Kami sangat berharap DPR selaku wakil rakyat mampu mengungkap sengkarut kasus Joko Tjandra untuk menegakkan hukum dan keadilan,” paparnya.
Baca juga: Usut Surat Jalan Joko Tjandra
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, membenarkan adanya rencana penyerahan foto surat itu. Namun, apakah Komisi III DPR akan menindaklanjutinya dalam rapat gabungan, hal itu akan dibicarakan di internal Komisi III.
Proses pengaktifan tim pemburu koruptor (TPK) terus berlanjut. (Mahfud MD)
Tim Pemburu Koruptor
Masih terkait dengan perburuan terhadap Joko Tjandra dan buron lainnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, proses pengaktifan tim pemburu koruptor (TPK) terus berlanjut. Hal ini ditegaskannya saat menanggapi sejumlah pertanyaan tentang tindak lanjut wacana akan diaktifkannya kembali tim pemburu koruptor tersebut.
”Cantelannya itu adalah inpres. Maka sekarang inpres tentang tim pemburu aset, pemburu tersangka, terpidana koruptor dan tindak pidana lain, sudah ada ditangan Kemenko Polhukam sehingga secepatnya nanti akan segera dibentuk tim itu,” ujarnya.
Mahfud menambahkan, tim pemburu koruptor nantinya akan melibatkan Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian teknis lain yang terkait. Menjawab adanya kekhawatiran akan tumpang tindih dengan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahfud mengatakan, hal itu akan dikoordinasikan tersendiri.
”KPK adalah lembaga tersendiri. Yang diburu oleh KPK tentu nanti dikoordinasikan tersendiri karena bagaimanapun KPK itu adalah lembaga khusus di bidang korupsi yang mungkin sudah memiliki langkah sendiri. Akan kami koordinasikan,” ujarnya.
Tim pemburu koruptor nantinya akan melibatkan Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian teknis lain yang terkait.
Terkait pembentukan tim pemburu koruptor, Herman mengatakan, langkah itu tidak akan ada dampaknya selama penegak hukum tidak memiliki integritas dan profesionalisme. ”Concern saya saat ini bukanlah pilihan kebijakan apa yang akan kita tempuh, tetapi lebih ke pembenahan integritas dan profesionalisme SDM (sumber daya manusia) para penegak hukum kita,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, upaya menghidupkan kembali TPK bisa saja dilakukan. Akan tetapi, hal itu tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan perbaikan sistem dan strategi. Alasannya, yang lebih dibutuhkan saat ini ialah adalah koordinasi antarinstansi penegak hukum yang selama ini tidak berjalan optimal.
Baca juga: Usut Surat Jalan Joko Tjandra
Belajar dari pengalaman kasus Djoko Tjandra ini, ternyata dalam integrated criminal justice system dibutuhkan juga peran pemerintah sebagai sistem pendukung (supporting system). Selain Kemenkumham dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang memang sudah menjadi bagian dari sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system), ternyata Ditjen Imigrasi Kemenkumham serta Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri juga mesti dilibatkan.
”Maka dari itu, sebenarnya yang paling dibutuhkan saat ini bukan tim baru, melainkan koordinasi antarinstansi atau forum yang memungkinkan koordinasi tersebut berjalan optimal. Sementara pelaksananya kembali kepada tugas dan kewenangan masing-masing institusi,” ujarnya.
Arsul mengatakan, TPK sebaiknya berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam dan beranggotakan seluruh lembaga penegak hukum. ”Yang beranggotakan semua lembaga penegak hukum dan kementerian atau lembaga penunjang penegakan hukum. Lembaga penegak hukumnya, ya, Polri, kejaksaan, KPK. Lembaga penunjang setidaknya Kemenkumham dan BIN (Badan Intelijen Negara). Desk ini semacam dulu Desk Anti-Terorisme yang dipimpin Ansyaad Mbai sebelum dibentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)," kata Arsul.
Upaya menangkap koruptor tidak perlu dilakukan dengan membentuk tim terlebih dulu. Sebab, yang dibutuhkan saat ini ialah tindakan eksekusi dan bukan lagi koordinasi yang birokratis. (Oce Madril)
Arsul berpandangan, dengan masing-masing kementerian atau lembaga mengirimkan pejabatnya untuk secara permanen duduk di desk tersebut, maka ada harapan bahwa desk atau tim tersebut akan lebih efektif dan berdayaguna.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan, upaya menangkap koruptor tidak perlu dilakukan dengan membentuk tim terlebih dulu. Sebab, yang dibutuhkan saat ini ialah tindakan eksekusi dan bukan lagi koordinasi yang birokratis. Pembentukan TPK itu diyakini akan membutuhkan banyak diskusi meliputi siapa saja anggotanya, anggaran, dan bagaimana mekanisme kerjanya. Sementara di sisi lain telah ada lembaga penegak hukum yang memiliki kewajiban menangkap buronan.
”Memburu buronan itu, kan, tugas penegak hukum. Misalnya, polisi dengan Interpol, jaksa sebagai eksekutor putusan hakim, serta ada fungsi supporting seperti Imigrasi yang bertugas mencegah dan mencekal orang. Jadi, untuk menangkap buron tidak perlu menunggu ada tim khusus karena masing-masing penegak hukum punya kemampuan dan kewenangan melakukannya,” ujarnya.
Jika yang menjadi persoalan ialah koordinasi antarinstansi penegak hukum, menurut Oce, tidak perlu juga diatasi dengan membentuk tim baru.
”Menko Polhukam, kan, tinggal mengadakan rapat koordinasi. Tinggal dipanggil saja. Kalau membentuk tim itu, dikhawatirkan pada ujungnya kurang efektif karena nanti yang dikirim untuk menjadi anggota tim biasanya eselon 2 atau eselon 3. Hal itu sama dengan nasib Tim Saber Pungli. Jangan sampai tim pemburu koruptor ini hanya menjadi gimmick-gimmick kebijakan saja, sementara yang kita butuhkan saat ini ialah peran eksekusi,” ujar Oce.
Baca juga : Tim Pemburu Koruptor Segera Dibentuk