Pandemi Tingkatkan Potensi Pelanggaran Terkait Politik Uang
Potensi pelanggaran Pilkada 2020, khususnya politik uang, diprediksi meningkat saat pilkada dilaksanakan di tengah-tengah pandemi Covid-19. Tekanan ekonomi akibat pandemi menjadi salah satu faktor yang menyebabkannya.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang belum usai dan cenderung bertambah banyak penularannya berpotensi meningkatkan pelanggaran dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Di sisi lain, peraturan Bawaslu mengenai pengawasan Pilkada 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19 belum diundangkan.
Pembahasan itu mengemuka dalam seminar daring bertema ”Menakar Kualitas Demokrasi dalam Pelaksanaan Pilkada di Era New Normal,” Minggu (12/7/2020). Seminar yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Gorontalo tersebut menghadirkan para penyelenggara pemilu, pegiat pemilu, dan akademisi.
Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, dalam diskusi itu menyebutkan, keterpurukan ekonomi yang melanda sebagian masyarakat dapat menjadi sebab potensi kenaikan praktik politik uang dan mahar politik. Potensi kenaikan itu jika diukur dari penyelenggaraan Pilkada 2015, 2017, dan 2018.
Keterpurukan ekonomi yang melanda sebagian masyarakat dapat menjadi sebab potensi kenaikan praktik politik uang dan mahar politik. Potensi kenaikan itu jika diukur dari penyelenggaraan Pilkada 2015, 2017, dan 2018.
Ratna mengatakan, sekalipun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur bahwa penerima dan pemberi uang yang terkait pertarungan politik itu bisa dikenai sanksi, tekanan ekonomi menyusul kejadian pandemi Covid-19 tetap akan meningkatkan potensi tersebut. Ia menyebut hal itu sebagai kondisi bertemunya kepentingan penerima dan pemberi suara.
Sejumlah tahapan dalam pilkada serentak 2020 berpotensi dalam hal terjadinya pelanggaran tersebut. Dewi menyebutkan, misalnya saja potensi tindakan pencoblosan yang dilakukan seorang pemilih lebih dari sekali pada hari pemungutan suara atau menggunakan hak pilih orang lain. Adapun saat ini, dengan tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan serta pencocokan dan penelitian data pemilih yang sedang dan bakal berlangsung, Dewi menyebutkan kemungkinan pelanggarannya berbentuk penggunaan dokumen palsu.
Sementara jika berdasarkan data pelanggaran Pilkada 2020 per 3 Juli 2020, diketahui terdapat 630 temuan dan 122 laporan. Pelanggaran hukum dengan tren pemberian dukungan politik oleh aparatur sipil negara (ASN) melalui media sosial dan melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri ke partai politik, mendominasi selama periode itu. Jumlahnya 401 kasus.
Berdasarkan data pelanggaran Pilkada 2020 per 3 Juli 2020, diketahui terdapat 630 temuan dan 122 laporan. Pelanggaran hukum dengan tren pemberian dukungan politik oleh aparatur sipil negara (ASN) melalui media sosial dan melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri ke partai politik mendominasi selama periode itu.
Pelanggaran kode etik berupa adanya anggota panitia pengawas tingkat kecamatan yang menjadi pengurus partai politik dan memberikan dukungan kepada bakal pasangan calon tercatat ada 31 kasus. Sementara tindak pidana pemilihan dengan menghilangkan hak seseorang menjadi pasangan calon dan memalsukan dokumen pasangan calon perseorangan tercatat empat kasus.
Dewi menyebutkan, saat ini peraturan Bawaslu untuk melakukan pengawasan Pilkada 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19 sedang dalam proses harmonisasi. Saat ini tindak lanjut untuk pengundangannya tengah ditunggu sebelum bisa diberlakukan.
Lebih jauh Dewi meyebutkan, tantangan penanganan pelanggaran Pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19 ialah pada peran serta masyarakat, batasan waktu penanganan, protokol kesehatan untuk dijalankan, pemanfaatan teknologi informasi, dan keterbatasan akses internet.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, pada kesempatan itu, mempertanyakan kesiapan peraturan Bawaslu terkait pengawasan Pilkada 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19. Ia berharap peraturan tersebut melalui proses uji publik agar bisa mendapatkan berbagai masukan dari masyarakat tentang bagaimana cara efektif melakukan pengawasan saat bencana, seperti pandemi Covid-19, terjadi.
Penggunaan teknologi informasi bisa didorong dan dimaksimalkan dalam sebagian tahapan dalam proses pemilihan. Ini termasuk penggunaannya bagi pemilih yang tengah dalam perawatan medis dan juga sedang menjalani isolasi mandiri menyusul paparan Covid-19.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, dalam kesempatan tersebut mengatakan, penggunaan teknologi informasi bisa didorong dan dimaksimalkan dalam sebagian tahapan pada proses pemilihan. Ini termasuk penggunaannya bagi pemilih yang tengah dalam perawatan medis dan juga sedang menjalani isolasi mandiri menyusul paparan Covid-19. Hal ini untuk menjamin hak bagi calon pemilih dan menjalankan protokol kesehatan yang ketat di setiap tahapan.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sri Nuryanti, dalam diskusi itu berharap agar Bawaslu mengembangkan metode baru dalam praktik pengawasan. Ini dinilai penting agar jangan sampai praktik politik uang menjadi modus operandi yang berjalan di balik alasan solidaritas kemanusiaan menyusul pandemi Covid-19.
”Hal penting yang harus diingat, agar jangan sampai (pilkada) menggeser (Indonesia) ke pemerintahan tidak demokratis,” sebut Sri.