Medsos dan Algoritma, Tantangan Berat Media Arus Utama
Di era media sosial, media massa arus utama menghadapi tantangan berat. Masyarakat lebih memercayai informasi dari media sosial daripada media arus utama. Namun, solusinya, media arus utama harus mengedepankan data.
JAKARTA, KOMPAS — Media massa arus utama menghadapi tantangan yang berat di era media sosial. Di Indonesia, masyarakat lebih memercayai informasi yang berasal dari media sosial daripada media arus utama. Di sisi lain, produk jurnalistik berkualitas juga terancam tenggelam dalam mekanisme algoritma internet.
Anita Wahid dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan, tantangan media di era media sosial memang lebih berat. Pasalnya, yang mereka hadapi adalah masyarakat yang sudah terpolarisasi. Masyarakat yang sudah telanjur terbelah itu terkadang hanya memercayai informasi yang dipercayai oleh dirinya sendiri dan kelompok afiliasinya.
Baca juga: Media Arus Utama Tetap Berpeluang Dapat Kepercayaan Publik
Di Indonesia, polarisasi masyarakat itu sudah terjadi sejak Pemilihan Presiden 2014. Kemudian, diperparah pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, yang membelah rakyat dengan polarisasi agama. Pada 2019, ”serbuan” hoaks dan propaganda melalui media sosial tidak hanya menyasar satu kubu, tetapi kedua belah pihak kandidat dalam kontestasi.
Propaganda berbasis komputer (computerial propaganda) ini trennya semakin meningkat. Orang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, menggunakan bot ataupun pendengung (buzzer). Ini merupakan tantangan berat bagi media karena ada upaya delegitimasi media yang membuat kepercayaan masyarakat semakin turun.
”Propaganda berbasis komputer (computerial propaganda) ini trennya semakin meningkat. Orang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, menggunakan bot ataupun pendengung (buzzer). Ini merupakan tantangan berat bagi media karena ada upaya delegitimasi media yang membuat kepercayaan masyarakat semakin turun,” kata Anita dalam diskusi daring bertema ”Tantangan Media di Tengah Industri Manipulasi Informasi, Kebencian, dan Kepentingan Politik”, kemarin, di Jakarta. Diskusi diselenggarakan dalam rangka hari ulang tahun ke-17 NU Online.
Akibatnya, tantangan ke depan, bukan hanya meningkatkan literasi media, melainkan juga mengoptimalkan kemampuan teknologi informasi agar berita berkualitas mendapat panggung di dunia maya. Untuk itu, media dituntut untuk membuat terobosan dalam menyiasati kemunculan ruang gema (echo chamber). Ruang gema adalah kumpulan sekelompok orang dengan minat tertentu.
Mereka menyaring informasi yang hanya sesuai minat mereka dan disebarkan secara eksklusif di kelompok tersebut. Misalnya, ruang gema yang menyebarkan ideologi agama dengan kekerasan. Semakin banyaknya ruang gema terbentuk akan menenggelamkan narasi tandingannya, misalnya ajaran agama yang moderat dan damai. Berita-berita berkualitas juga akan terus tenggelam jika kelompok ruang gema ini kian eksis.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, berdasarkan data survei, Indonesia lebih memercayai informasi yang berasal dari media sosial dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura dan Korea Selatan.
Di Indonesia, kepercayaan publik terhadap informasi dari medsos +40. Sedangkan di negara lain, seperti Korea Selatan, kepercayaan masyarakat terhadap medsos justru negatif. Masyarakat Korsel lebih percaya pada informasi yang bersumber dari media massa arus utama. Fenomena kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap informasi di medsos itu dapat berdampak buruk karena masih banyak orang tidak menggunakan medsos dengan baik.
Algoritma di ruang maya
Menurut Sutta, tantangan tersebut diperparah dengan mekanisme mesin-mesin algoritma internet. Secara tidak sadar, informasi yang disaring dari algoritma itu membanjiri masyarakat setiap harinya. Mekanisme algoritma menyaring tampilan informasi hanya berdasarkan pola konsumsi internet sehari-hari. Bukan pada kebutuhan riil informasi pembaca.
”Menurut penulis Yuval Noah Harari, suatu saat masyarakat akan menemukan titik kulminasi terhadap suguhan informasi dari robot algoritma itu. Masyarakat kemudian akan mencari informasi yang benar-benar mereka butuhkan,” ujar Sutta.
Sejumlah media arus utama pun merasa kewalahan dengan mekanisme algoritma atau penalaran otomatis itu. Namun, menurut Sutta, masa pandemi justru memberikan optimisme terhadap industri media arus utama. Sebab, di masa pandemi ini, orang membutuhkan informasi yang akurat dan kredibel.
Masyarakat lelah dan cemas dengan infodemi atau berita hoaks yang beredar di medsos. Masyarakat pun semakin sadar dengan kebutuhan mengakses informasi dari sumber yang terverifikasi. Tren ini diharapkan dapat terus berlanjut sehingga masyarakat semakin cerdas dalam mengonsumsi informasi.
Ini juga menjadi tantangan bagi internal organisasi media untuk berbenah. Media harus semakin profesional, membuat berita dan informasi berkualitas. Dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama, diharapkan yang muncul ke permukaan adalah informasi berkualitas. Dengan demikian, media juga harus diperkuat dengan teknologi informasi yang optimal.
Jebakan bisnis
Pemimpin Redaksi Narasi TV Zen RS mengamini pendapat Sutta. Menurut dia, media sosial dan ruang gema memang menjadi tantangan tersendiri bagi media arus utama. Apalagi, saat ini terjadi fenomena ketidakpercayaan (distrust) dan kecemasan (anxiety) masyarakat terhadap media arus utama.
Sebenarnya ada tantangan berat lain, yaitu jebakan bisnis media daring, seperti algoritma yang menenggelamkan berita media arus utama. Hanya media yang disukai kelompok tertentu yang banyak dibagikan di ruang gema.
Hasil survei lembaga Edelman Trust Barometer 2018, misalnya, mengatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media arus utama memperlihatkan tren menurun pada 2012-2018. Hal itu dipengaruhi di antaranya oleh banyaknya berita bohong (hoaks) di media sosial, media cetak, dan elektronik. Selain itu, juga karena kantor berita dianggap lebih fokus membuat berita yang menarik perhatian khalayak besar (click bait) dibandingkan dengan melaporkan berita. Lembaga media juga dianggap tidak netral dan bias dalam memberitakan posisi politik dan ideologi tertentu dalam pemberitaan.
Namun, menurut Zen, penurunan kepercayaan publik terhadap media tidak terjadi semata-mata karena rendahnya literasi medsos. Sebenarnya, ada tantangan berat lain, yaitu jebakan bisnis media daring, seperti algoritma yang menenggelamkan berita media arus utama. Hanya media yang disukai kelompok tertentu yang banyak dibagikan di ruang gema.
Selain itu, menurut Zen, juga ada andil dari otoritas pemerintah yang kerap menyebarkan misinformasi kepada masyarakat. Semasa pandemi, misalnya, misinformasi yang berasal dari pemerintah masih kerap ditemukan terutama pemberitaan yang tidak didasarkan pada riset dan ilmu sains. Soal kalung antikorona, misalnya, ataupun ungkapan bahwa Indonesia kebal korona karena berada di wilayah tropis.
”Jadi, selain dari literasi medsos masyarakat yang rendah. Ada ekosistem yang menciptakan distrust dan anxiety terhadap media arus utama,” papar Zen lagi.
Oleh karena itu, menurut Zen, ketidakpercayaan publik terhadap media arus utama itu dapat dilawan dengan jurnalisme yang kredibel. Kerja-kerja jurnalistik harus diperbaiki sehingga menghasilkan informasi yang berkualitas. Di sisi lain, masyarakat juga harus diedukasi agar mau mengonsumsi informasi berkualitas dengan cara berlangganan. Dengan demikian, media tidak hanya mendapatkan pendapatan dari iklan, tetapi juga dari layanan berlangganan. Sebab, mekanisme iklan di media daring saat ini masih menjunjung tinggi asas rating yang dapat menurunkan kualitas media arus utama.
Momentum perbaikan
Bahkan, ketika media sudah mengetahui informasi terhadap suatu peristiwa pun, mereka juga masih harus konfirmasi. Mereka tidak bisa asal-asalan menyebarkan informasi.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Tirto.id A Sapto Anggoro mengatakan, masa pandemi ini dapat dijadikan momentum untuk memberikan pencerahan kepada publik bahwa kerja jurnalistik adalah kerja profesional. Berbeda dengan akun bot dan pendengung, media massa tidak menyebarkan informasi yang asal-asalan.
Baca juga: Jurnalisme Data Jadi Pembeda Mutlak Media Arus Utama dari Pendengung
Sebelum menerbitkan informasi, media harus melakukan disiplin verifikasi sesuai dengan kode etik jurnalistik. Media massa bekerja sesuai aturan UU Pers dan bertanggung jawab terhadap setiap informasi yang disampaikan. Hal ini yang harus terus digarisbawahi sehingga literasi masyarakat terus meningkat.
”Bahkan, ketika media sudah mengetahui informasi terhadap suatu peristiwa pun, mereka juga masih harus konfirmasi. Mereka tidak bisa asal-asalan menyebarkan informasi,” ujar Sapto.