Muhammadiyah Minta Pembahasan RUU Cipta Kerja Dihentikan
PP Muhammadiyah meminta pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan secara total. Pemerintah pun diharapkan untuk menarik diri dari pembahasan. Muhammadiyah menilai RUU itu bertentangan dengan moralitas konstitusi dan lainnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan omnibus law. Dari hasil kajian selama tiga bulan yang dilakukan oleh PP Muhammadiyah, pembentukan RUU Cipta Kerja itu dipandang tidak sejalan dengan moralitas konstitusi, perlindungan daulat rakyat, dan tidak didahului dengan adanya partisipasi publik.
Sikap PP Muhammadiyah itu dituangkan di dalam surat kepada pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketua-ketua fraksi partai politik di DPR, dan kantor-kantor Dewan Pimpinan Pusat parpol. Surat tertanggal 8 Juni 2020 itu ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Surat tersebut menyampaikan tiga pandangan PP Muhammadiyah terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja. Pertama, proses pengajuan dan pembahasan RUU tersebut tidak didahului dengan adanya partisipasi publik. Kedua, substansi RUU tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai moralitas konstitusi, perlindungan daulat rakyat {Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945} dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat yang dijamin di dalam konstitusi, dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
RUU tersebut sangat dikhawatirkan akan memberikan privilege terhadap kekuatan pemodal asing/sekelompok kecil pemodal dalam negeri.
Sebaliknya, RUU tersebut sangat dikhawatirkan akan memberikan privilege terhadap kekuatan pemodal asing/ sekelompok kecil pemodal dalam negeri. Ketiga, kiranya politik legislasi perlu untuk kembali kepada pengamalan konstitusi dan Pancasila sebagai dasar konstitusional dan ideologi bangsa.
Abdul Mu’ti, yang dihubungi, Jumat (10/7/2020), membenarkan surat tersebut merupakan sikap resmi Muhammadiyah dalam menyikapi RUU Cipta Kerja. Kajian dilakukan oleh Muhammadiyah selama tiga bulan, yakni Januari, Maret, dan Mei 2020. Pengkajian terhadap substansi RUU Cipta Kerja itu merupakan bentuk aktualisasi komitmen kebangsaan dan keagamaan Muhammadiyah sesuai dengan amanat konstitusi dan ajaran Islam.
”Muhammadiyah menginginkan agar Presiden Joko Widodo dengan pimpinan DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut demi kemaslahatan bersama,” kata Mu’ti.
Muhammadiyah menginginkan agar Presiden Joko Widodo dengan pimpinan DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut demi kemaslahatan bersama.
Mu’ti mengatakan, surat tersebut merupakan kelanjutan sikap dari PP Muhammadiyah yang sejak awal menginginkan RUU Cipta Kerja itu tidak dilanjutkan. Sebagai basis rasional dan argumentasi atas penolakan itu, Muhammadiyah melakukan kajian atas susbtansi RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah.
Sikap Muhammadiyah itu didasari atas berbagai hasil kajian dan diskusi yang dilakukan oleh cendekiawan Muhammadiyah. Muhammadiyah, antara lain, mengkaji RUU Cipta Kerja itu melalui diskusi sehari mengenai RUU Cipta Kerja di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, 28 Januari 2020. Diskusi dihadiri oleh unsur-unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi lintas disiplin, Forum Rektor Indonesia, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta, dan unsur organisasi otonom Muhammadiyah.
Hasil diskusi tersebut dilanjutkan dengan diskusi terarah (focussed group discussion/FGD) nasional yang diadakan oleh Forum Dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Universitas Muhammadiyah se-Indonesia di kampus Universitas Muhammmadiyah, Magelang, Jawa Tengah. Hasilnya, ada tiga kesimpulan yang, antara lain, menjadi pedoman bagi sikap Muhammadiyah yang disampaikan melalui surat tersebut.
Pertama, Forum Dekan Fakultas Hukum dan STIH Universitas Muhammadiyah se-Indonesia meminta pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda, terutama dalam situasi keprihatian bangsa sebagai dampak serius multidimensional dari Covid-19. Kedua, Muhammadiyah menyatakan menolak dengan tegas keseluruhan substansi RUU tersebut karena bertentangan dengan jiwa dan nilai-nilai dasar moralitas konstitusi. Ketiga, mengharapkan pengertian dari pemerintah untuk menarik keseluruhan draf RUU Cipta Kerja. Sekiranya pemerintah hendak meningkatkan komitmennya pada ikhtiar peningkatan perekonomian negara, hendaknya hal itu ditempuh dengan penuh seksama dalam bentuk kajian etis-akademis yang didasarkan pada sikap konsisten terhadap moralitas konstitusi RI.
Namun, kata Mu’ti, hingga saat ini belum ada jawaban atau tanggapan resmi dari fraksi-fraksi di DPR atas surat dan naskah akademik yang dikirimkan oleh Muhammadiyah tersebut. ”Belum ada tanggapan (dari fraksi-fraksi),” ujarnya.
Sementara itu, RUU Cipta Kerja tersebut saat ini telah memasuki tahap pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk setiap kluster. Badan Legislasi DPR memutuskan hanya menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Adapun kluster-kluster lainnya tetap dibahas dengan memerhatikan masukan publik.
”Pembahasan tetap dilakukan untuk membahas kluster-kluster yang tidak sensitif atau tidak mendapatkan resistensi dari publik. Kami pun setuju kluster ketenagakerjaan itu ditunda dulu pembahasannya. Tetapi untuk kluster lain pembahasannya sedang berlangsung. Misalnya, kluster UMKM, itu kan memang sangat dibutuhkan saat ini dan tidak ada penolakan,” kata Supratman Andi Agtas, Ketua Baleg DPR.
Pembahasan tetap dilakukan untuk membahas kluster-kluster yang tidak sensitif, atau tidak mendapatkan resistensi dari publik. Kami pun setuju kluster ketenagakerjaan itu ditunda dulu pembahasannya. Tetapi untuk kluster lain pembahasannya sedang berlangsung.
Supratman mengatakan, rapat dengar pendapat umum (RDPU) selalu digelar terlebih dulu sebelum membahas suatu kluster. Artinya, ketika publik telah memberikan pandangannya, baru Baleg memulai pembahasan kluster tersebut.
”Kami tidak akan memulai pembahasan sebelum ada RDPU. Seperti kluster UMKM, kami telah mengundang pakar dan pengusaha-pengusaha yang menjadi pelaku dari usaha itu. Setelah mendengarkan masukan dari mereka, barulah kami membahas daftar inventarisasi masalahnya,” kata Supratman.