Dugaan Suap hingga Intervensi Negara di Eropa untuk Gagalkan Ekstradisi Maria Pauline
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebutkan ada upaya suap dan intervensi dari negara di Eropa untuk gagalkan ekstradisi Maria Pauline Lumowa. Namun, Pemerintah Serbia berkomitmen mengekstradisinya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebutkan ada upaya dari kuasa hukum buronan kasus pembobolan kas Bank BNI tahun 2003, Maria Pauline Lumowa, menyuap otoritas Serbia agar tidak diekstradisi ke Indonesia. Tak hanya itu, ada pula upaya intervensi dari salah satu negara Eropa yang menghalangi proses ekstradisi.
Dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020), Yasonna Laoly mengungkapkan, Maria ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003 dengan nomor kontrol A-1361/12-2003.
Maria merupakan pembobol Bank BNI melalui surat kredit (L/C) fiktif yang terjadi pada 2003 senilai Rp 1,2 triliun. Adapun 10 tersangka lainnya telah dipidana dan sedang menjalani hukuman.
Setelah Maria tertangkap, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) langsung mengirimkan surat permintaan ekstradisi pada 31 Juli 2019 dan disusul surat permohonan percepatan ekstradisi pada 3 September 2019.
Setelah itu, Pemerintah Indonesia melakukan lobi tingkat tinggi dengan Pemerintah Serbia. Yasonna juga melaporkan kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno bahwa diperlukan langkah-langkah diplomasi tingkat tinggi. Sebab, jika lewat dari tanggal 16 Juli 2020, masa penahanan Maria oleh otoritas Serbia bakal berakhir dan ia pun harus dibebaskan.
Namun, di tengah upaya lobi itu, ada negara dari Eropa yang juga mencoba melobi otoritas Serbia agar Maria tidak diekstradisi ke Indonesia. Negara apa yang dimaksud tak disebutkan oleh Yasonna. Selain itu, pengacara Maria disebut Yasonna mencoba melakukan sejumlah manuver melindungi kliennya, bahkan disebutnya berusaha menyuap otoritas Serbia.
Namun, Pemerintah Serbia berkomitmen mengekstradisi Maria. Komitmen ini salah satunya disampaikan ketika Yasonna bertemu Presiden Serbia Aleksandar Vucic beberapa hari lalu. Yasonna mendapatkan sambutan hangat dan Presiden Serbia mengatakan persahabatan historis antara Indonesia dan Serbia akan tetap dipelihara serta ditingkatkan.
Puncaknya pada Rabu (8/7/2020), Maria diserahkan kepada Pemerintah Indonesia melalui Kemenkumham. Ditjen AHU menandatangani penerimaannya dan kemudian diserahkan kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Yasonna langsung menjemput Maria ke Serbia untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia. Padahal, pada umumnya, dalam memproses ekstradisi buronan cukup dilakukan oleh pejabat pada level teknis.
”Saya perlu sampaikan, walaupun kita belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Serbia, tetapi dengan dukungan baik, pendekatan diplomasi high level dalam bidang hukum, dan persahabatan akhirnya kita bisa membawa beliau (Maria) kemari supaya dapat menjalani proses hukum sebagaimana mestinya,” kata Yasonna.
Pengembalian aset
Dalam proses hukum selanjutnya, Kemenkumham berharap tidak terfokus semata pada urusan pidana, tetapi juga pemulihan aset negara guna mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana yang dilakukan Maria.
”Kita akan melakukan inteligensi sistem untuk melakukan freeze aset dan blokir akun dan lain-lain. Itu baru bisa kita lakukan setelah proses hukum ada di sini,” kata Yasonna. Aset Maria yang telah ditelusuri di antaranya berada di Belanda, Hong Kong, dan New Jersey (Amerika Serikat).
Buronan lain
Yasonna pun menegaskan, proses pengejaran terhadap buronan tidak akan berhenti di sini. Ia berkomitmen mengejar buronan lainnya, termasuk terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra, yang buron sejak 2009.
Terkait Joko, menurut dia, saat ini Kejaksaan Agung sedang memburunya. Kemenkumham membantu dengan memberikan informasi terkait masuknya Joko ke Indonesia. Namun, ketika mereka cek di data perlintasan, nama Joko tidak ada.
”Jadi, ini bagaimana caranya dia datang, apakah dia sebenarnya datang itu biar jadi penelitian selanjutnya. Namun, kita akan tetap melakukan upaya-upaya hukum. Dulu waktu di Papua Niugini, karena (Joko) warga negara sana, (maka) tidak kita lakukan. (Kita) tidak mendapat green light, kita tidak bisa paksa kalau di negara orang. Kita harus melakukan pendekatan-pendekatan hukum untuk sampai di sana,” kata Yasonna.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berterima kasih kepada Kemenkumham yang bekerja dalam senyap saat menangkap Maria. Selama setahun, Yasonna bekerja secara hati-hati menjalin komunikasi secara intens dengan Pemerintah Serbia. Alhasil, Maria diserahkan secara resmi melalui proses kerja sama bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance/MLA).
”Bayangkan kalau lewat kira-kira seminggu dari sekarang kira-kira kemungkinan akan lolos lagi. Sebab, pada tanggal 17 (Juli) akan datang masa penahanan di Serbia habis dan harus dilepas kalau tidak segera terjadi kesepakatan penyerahan ini,” kata Mahfud.
Mahfud mengaku sudah berbicara langsung dengan Maria. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum akan tetap memperhatikan haknya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengapresiasi keberhasilan pemerintah dalam membawa Maria ke Indonesia. ”Keberhasilan ini hendaknya diteruskan untuk mengejar pengemplang uang rakyat lainnya, termasuk koruptor,” kata Azyumardi.
Ia berharap pemerintah menegakkan hukum dengan sungguh-sungguh dan tidak menganggap enteng permasalahan yang sebenarnya serius. Azyumardi pun mendorong agar segera menangkap para buronan yang masih bebas.