Sebagian masyarakat menilai praktik politik uang dalam kontestasi politik merupakan hal wajar. Padahal, praktik itu mencederai demokrasi dan integritas pemilihan. Kesadaran warga untuk menolak praktik itu dibutuhkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politik uang dapat merusak demokrasi. Ironisnya, politik uang sudah dianggap wajar terjadi di Indonesia. Karena itu, publik harus memiliki kesadaran untuk melawan politik uang tersebut.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengungkapkan, dalam demokrasi, pemilih berhak menuntut calon yang dipilihnya untuk melakukan apa yang sudah dijanjikannya. ”Ketika uang berkuasa, politisi berhak menanyakan, kamu pilih siapa?” ujar Burhanudin dalam bedah buku yang ditulisnya, Kuasa Uang, Rabu (8/7/2020).
Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Asosiasi Ilmu Pemerintahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (AIPPTM).
Ia mengungkapkan, politik uang mulai banyak muncul setelah Orde Baru. Sebab, pada masa Orde Baru, Partai Golkar sudah dipastikan akan menang. Pascareformasi, politik uang mulai muncul karena penyelenggaraan pemilu relatif terbuka.
Dalam penelitiannya, 25-33 persen respondennya terpapar politik uang pada Pemilu 2014. Dalam penelitiannya tersebut, orang menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar. Bahkan, ketika tidak melakukan politik uang, maka calon dianggap tidak kredibel. Akibat buruknya, ketika politisi sudah berhasil membeli suara, mereka akan meminta timbal baliknya.
Sebanyak 25-33 persen respondennya terpapar politik uang pada Pemilu 2014. Dalam penelitian tersebut, orang menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar. Bahkan, ketika tidak melakukan politik uang, maka calon dianggap tidak kredibel.
Politik uang yang dilakukan politisi tidak hanya menyasar pada pemilih yang berpotensi memilih mereka. Namun, mereka juga melakukan politik uang pada penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Oleh karena itu, komitmen pemilu yang berintegritas sangat dibutuhkan. ”Solusinya adalah penegakan hukum. Kalau tidak ada penegakan hukum, mereka tidak akan takut karena politik uang kemungkinan ditindak kecil. Bahkan, ada anggota DPR yang mengatakan, kalau politik uang ditindak, maka penjara penuh,” ujar Burhanudin.
Menurut Burhanudin, sebagai upaya meminimalkan terjadinya politik uang, maka perlu ada pendidikan politik pada pemilih. Selain itu, lembaga pendidikan juga perlu memasukkan kurikulum antikorupsi. Di sisi lain, revisi Undang-Undang Pemilu juga diperlukan untuk menemukan sistem yang dapat meminimalkan terjadinya politik uang.
Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang Ahmad Amarullah mengatakan, politik uang sudah menjadi fenomena di Indonesia pada pemilu, pilkada, bahkan sampai pada pemilihan RT. Dalam realitasnya, politisi memanfaatkan kebutuhan ekonomi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Politik uang membagi masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni mereka yang mendukung, melawan, dan tidak peduli dengan politik uang. Mereka yang mendukung politik uang biasanya dari masyarakat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi menengah ke bawah. Pada umumnya, mereka berada di perdesaan.
Politik uang sudah menjadi fenomena di Indonesia pada pemilu, pilkada, bahkan sampai pada pemilihan RT. Dalam realitasnya, politisi memanfaatkan kebutuhan ekonomi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Sementara itu, masyarakat yang menolak biasanya memiliki tingkat kesadaran dan pendidikan yang lebih tinggi. Mereka lebih rasional dalam merespons politik uang sehingga tidak mudah dibujuk. Adapun masyarakat yang tidak peduli, mereka tidak terlalu memikirkan politik uang.
”Kita ingin negara ini dibangun dengan rasionalitas melalui adu program,” ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, politik uang berbahaya karena berimplikasi pada terjadinya korupsi. Sebab, politisi membutuhkan uang yang besar untuk mendapatkan kemenangan.
Secara terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri mengatakan, korupsi dapat terjadi karena sistem, di antaranya sistem politik dan pilkada langsung. Orang bisa melakukan korupsi karena didorong oleh sistem yang sangat memungkinkan mereka melakukan tindak pidana tersebut.