Sikap MKD yang menganggap tidak ada masalah etik dalam permintaan anggota Komisi VII DPR untuk dilibatkan dalam program penyerahan CSR BUMN sektor tambang dikritik. MKD seharusnya mempersoalkan hal tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sehari setelah klarifikasi dilakukan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada pimpinan Komisi VI terkait dengan dugaan permintaan dana tanggung jawab sosial perusahaan dari sejumlah badan usaha milik negara di bidang tambang, Mahkamah Kehormatan Dewan tidak melakukan tindak lanjut pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etis tersebut. MKD menilai persoalan itu bukan merupakan pelanggaran etik anggota DPR.
Sebelumnya, peristiwa sejumlah anggota DPR meminta dilibatkan dalam pembagian tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responbility/CSR) dari BUMN mengemuka saat rapat Komisi VII DPR dengan Holding Industri Pertambangan BUMN, MIND ID, Selasa (30/6/2020). Dalam rapat itu terjadi pula insiden pengusiran Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak oleh anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Nasir.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel mengatakan, pelibatan anggota DPR dalam penyerahan CSR BUMN sektor tambang di masa pandemi Covid-19 untuk memaksimalkan fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 serta Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Dengan begitu, katanya, kontribusi dari BUMN tersebut bisa berjalan dengan baik dan tepat sasaran (Kompas, 7/7/2020).
Tidak ada kasus pelanggaran etis dalam peristiwa rapat Komisi VII, pekan lalu
Wakil Ketua MKD dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman, saat dihubungi Selasa (7/7/2020), mengatakan, pihaknya menilai tidak ada kasus pelanggaran etis dalam peristiwa rapat Komisi VII, pekan lalu. Bahkan, ia berencana mengusulkan agar MKD melayangkan surat protes kepada Direktur Utama MIND ID Orias Petruk Moedak, yang dinilai perilakunya tidak etis di dalam rapat bersama DPR.
”Memang tidak ada kasus, kok. Saya justru akan mendorong agar MKD memprotes sikap Dirut Inalum (MIND ID) yang tidak beretika,” katanya.
Habiburokhman mengatakan, anggota dan pimpinan Komisi VII DPR dinilai telah menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Ia justru menyoal sikap Orias yang kurang santun dan tidak menghargai anggota DPR ketika berbicara. Orias dinilai kerap memotong pembicaraan anggota DPR. Sikap tersebut dipandang tidak seharusnya ditunjukkan oleh mitra kerja DPR saat rapat di gedung DPR. Sebagai representasi rakyat, gedung DPR adalah rumah rakyat sehingga mitra kerja yang diundang datang diharapkan menghargai peran pengawasan yang dijalankan oleh DPR.
”Sikap Direktur yang semacam itu justru harus dievaluasi,” katanya.
Sikap MKD yang tidak menindaklanjuti peristiwa rapat di Komisi VII DPR itu justru menjadi masalah tersendiri.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, sikap MKD yang tidak menindaklanjuti peristiwa rapat di Komisi VII DPR itu justru menjadi masalah tersendiri. Sebab, mereka merasa pekerjaan mereka dalam melakukan penegakan etik atas kasus dugaan permintaan jatah CSR dianggap sudah selesai dengan klarifikasi yang diinisiasi oleh pimpinan DPR.
”Klarifikasi kepada pimpinan tidak bermakna apa pun, apalagi dilakukan secara tertutup. Klarifikasi itu hanya untuk memperjelas persoalan, bukan menyelesaikannya secara etis,” ujarnya.
Benteng terakhir penuntasan masalah secara etis di parlemen ada di MKD. Menurut Lucius, tidak ada alat kelengkapan lain yang bisa mewakili fungsi dan kewenangan MKD tersebut. Oleh karena urusan dugaan permintaan jatah CSR dianggap merupakan perbuatan tidak etis, seharusnya hal itu menjadi tanggung jawab MKD untuk memprosesnya. Jika ada AKD lain yang berupaya melakukan klarifikasi, itu hanya sebatas untuk memperjelas persoalan, bukan menyelesaikannya.
Lucius mengatakan, akan menjadi masalah jika MKD yang tidak melakukan apa pun malah berniat menyurati MIND ID.
”Bukannya sibuk mengurusi etika internal yang menjadi kewenangannya, MKD dapat dinilai mau bermain lintas institusi. Ini akan semakin membuat citra dan wibawa DPR tercoreng karena MKD serampangan melakukan tugas dan kewenangannya,” katanya.
Cara komunikasi politik anggota Komisi VII DPR dipandang sama sekali tidak mencerminkan suara rakyat. Terlebih lagi ketika kata-kata keras dilontarkan oleh anggota DPR hingga mengusir tamu dari Gedung DPR.
Di sisi lain, cara komunikasi politik anggota Komisi VII DPR dipandang sama sekali tidak mencerminkan suara rakyat. Terlebih lagi ketika kata-kata keras dilontarkan oleh anggota DPR hingga mengusir tamu dari gedung DPR. Sebagai wakil rakyat, anggota DPR seharusnya menjadi contoh baik bagi publik. Oleh karena itu, mereka idealnya tidak mempertontonkan etika politik yang buruk.
”Ketika mereka mengundang mitra kerja, kan, itu logikanya bukan mengundang bawahannya. Oleh karena itu, dengan siapa pun mitra kerja yang datang, ada empat aspek komunikasi yang harus dikedepankan, yakni respect (penghargaan), good will (niatan baik) untuk mendalami persoalan atau klarifikasi, political will (niatan politik) yang berkaitan dnegan peran dan fungsi DPR, serta understanding (pemahaman),” kata Gun Gun Heryanto, pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dalam memenuhi empat aspek komunikasi yang baik itu, menurut Gun Gun, tidak semestinya anggota DPR melontarkan pertanyaan dengan kata-kata kasar yang agresif sehingga bisa mengakibatkan mitra kerja dipermalukan atau seolah diolok-olok.
”Sebagai wakil rakyat, yang dipertontonkan seharusnya ialah argumentasi yang tajam berbasis data, alasan, logika dan berorientasi pada manajemen kehormatan lembaga serta mitra kerja. Artinya, kalau mau mempertajam sesuatu bahasan, tidak perlu dengan mempermalukan atau mengusir tamu. Sebab, ketika dia diperlakukan begitu oleh orang lain, juga tidak suka, kan,” katanya.
Publik bisa saja mengaitkan sikap keras itu dengan upaya mendapatkan dukungan CSR dari anggota DPR karena ada koherensi komunikasi atau benang merah yang dilihat publik dalam suatu pertemuan atau rapat. Jika persepsi itu yang tercipta di benak publik, menurut Gun Gun, cara komunikasi DPR harus dikoreksi.