Prioritaskan Pengembalian Uang Negara
Pengembalian uang negara hasil kejahatan merupakan salah satu bukti keberhasilan aparat penegak hukum meminimalkan kerugian negara. Karena itu, penegak hukum harus didorong untuk utamakan pengembalian uang negara.
JAKARTA, KOMPAS — Penegak hukum didorong mengutamakan pengembalian uang negara dan perampasan aset dari pelaku kejahatan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Upaya itu sejalan dengan harapan pemerintah agar penyelamatan aset serta pengembalian uang negara itu menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dari kinerja penegak hukum.
Dorongan itu disampaikan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat saat melakukan kunjungan kerja ke tiga mitra kerjanya, yakni Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin dan Selasa lalu.
Kunjungan kerja ke Kejagung dan Polri, Senin (6/7/2020), dilakukan atas nama Panitia Kerja Penegakan Hukum yang dibentuk oleh Komisi III, tahun 2019. Berbeda dengan kunjungan ke kejaksaan dan kepolisian, kunjungan ke gedung KPK, Selasa kemarin, bukan atas nama Panja Penegakan Hukum.
Baca juga : Pengembalian Uang Negara yang Dikorupsi
Ketua Komisi III DPR Herman Hery, saat dihubungi, Rabu (8/7/2020) di Jakarta, mengatakan, sekalipun kunjungan awal ke kejaksaan dan kepolisian dilakukan atas nama Panja Penegakan Hukum, fokus kegiatan yang dilakukan anggota Komisi III itu pada dasarnya sama, yakni untuk mengetahui secara langsung kondisi mitra kerja, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, fasilitas yang dimiliki oleh penegak hukum, dan hal-hal apa saja yang dapat diperbaiki dari kondisi lapangan itu.
Sekalipun kunjungan awal ke kejaksaan dan kepolisian dilakukan atas nama Panja Penegakan Hukum, fokus kegiatan yang dilakukan anggota Komisi III itu pada dasarnya sama, yakni untuk mengetahui secara langsung kondisi mitra kerja, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, fasilitas yang dimiliki penegak hukum, dan hal-hal apa saja yang dapat diperbaiki dari kondisi lapangan itu. (Herman Hery)
Khusus untuk kunjungan ke KPK, rapat kerja (raker) yang berlangsung tertutup juga membahas kinerja KPK dan kaitannya dengan keberadaan Dewan Pengawas KPK yang diatur di dalam UU KPK yang baru, yakni UU No 19/2019. Sejumlah kasus korupsi yang mendapatkan perhatian publik juga ditanyakan kepada pimpinan KPK.
Pelanggaran hukum SDA
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni mengatakan, pembicaraan di kejaksaan dan kepolisian lebih dilakukan untuk penanganan pelanggaran hukum terkait dengan sumber daya alam (SDA).
”Utamanya yang terkait dengan upaya peningkatan pendapatan negara, yakni melalui perampasan aset dan pengembalian uang negara dari pengelolaan SDA yang melanggar hukum, seperti penambangan ilegal atas nikel, batubara, dan hasil-hasil alam lainnya di beberapa daerah,” ujarnya.
Dorongan untuk mengembalikan aset dan penanganan korupsi di bidang SDA juga muncul dari dua kesimpulan raker tertutup antara Komisi III DPR dan KPK. Kesimpulan pertama, Komisi III meminta pimpinan KPK melaksanakan fungsi pencegahan korupsi dan melakukan pengawasan terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan, kebijakan, dan penggunaan anggaran pemerintah, terutama di sektor-sektor strategis sehingga dapat membantu peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, Komisi III DPR meminta pimpinan KPK mengoptimalkan fungsi penindakan dalam penanganan perkara-perkara korupsi, khususnya di bidang sumber daya alam, penyalahgunaan wewenang di berbagai institusi/lembaga, dan korupsi yang merugikan kesejahteraan masyarakat, terutama yang terjadi di masa krisis akibat pandemi Covid-19.
Anggota Panja Penegakan Hukum dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, panja itu sebenarnya sudah lama dibentuk, tetapi baru pertama kali bekerja pekan ini. Agenda kerja panja sempat terkendala karena munculnya pandemi Covid-19.
Menurut hasil kajian dari Komisi III DPR, salah satu penyumbang kerugian negara terbesar ialah pengelolaan SDA yang menyalahi ketentuan. Pengelolaan itu antara lain melalui penambangan ilegal (illegal mining), pembabatan hutan (illegal logging), dan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing). Pengelolaan SDA yang ilegal itu pun disinyalir banyak berhadapan dengan pengusaha-pengusaha besar yang memiliki kekuasaan.
”Secara khusus, kami ingin mendorong agar kepolisian dan kejaksaan fokus pada penanganan kasus yang terkait dengan SDA. Kemudian, kami juga ingin memberikan penguatan, apabila ada kekuatan-kekuatan yang berhadapan dengan aparat penegak hukum terkait dengan kasus-kasus SDA itu, kami siap memberikan dukungan politik kepada mereka. Jangan khawatir melawan itu semua,” katanya.
Kami ingin agar penegak hukum mengembalikan kerugian negara, yakni dengan cara mengembalikan uang negara melalui proses hukum. Hal ini pun sejalan dengan harapan presiden, yang menginginkan uang negara yang diambil atau dirampok, dan diperoleh dengan berbagai cara kejahatan itu dikembalikan. Uang yang berhasil dikembalikan itu agar dapat digunakan melanjutkan pembangunan ke depan. (Taufik Basari)
Taufik mengatakan, Komisi III DPR berharap penegak hukum tidak tumpul ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.
”Kami ingin agar penegak hukum mengembalikan kerugian negara, yakni dengan cara mengembalikan uang negara melalui proses hukum. Hal ini pun sejalan dengan harapan presiden, yang menginginkan uang negara yang diambil atau dirampok, dan diperoleh dengan berbagai cara kejahatan itu dikembalikan. Uang yang berhasil dikembalikan itu agar dapat digunakan melanjutkan pembangunan ke depan,” ujar Taufik.
Kerugian besar
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring menyampaikan, kejahatan SDA begitu besar merugikan negara. Setidaknya ada tiga kerugian yang harus dibayar oleh pelaku kejahatan, meliputi kerugian keuangan negara terkait royalti pajak atau izin pertambangan, kerugian ekologis, serta biaya pemulihan lingkungan.
”Di situ, kita bisa melihat sebetulnya urgensinya tinggi untuk dikawal masalah sumber daya alam ini. Nilai kerugiannya pun fantastis,” ujar Raynaldo.
Dari data ICEL per 2018 saja, dari delapan gugatan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan, total nilai ganti rugi mencapai sekitar Rp 2,7 triliun. Namun, belum sepenuhnya putusan tersebut yang dieksekusi oleh pengadilan. Padahal, sekitar 67 persen dari nilai kerugian lingkungan yang diputus ditujukan sebagai biaya untuk memulihkan lingkungan.
Menurut Raynaldo, angka itu terus bergerak karena kasus kebakaran hutan dan lahan terus terjadi. Kerugian sumber daya alam pun tidak hanya meliputi sektor tersebut, tetapi salah satunya ada pada sektor pertambangan.
Atas dasar nilai kerugian yang besar dan belum bisa dikembalikan itu, kata Raynaldo, sebetulnya yang perlu didorong kepada para institusi penegak hukum adalah strategi-strategi pembaruan dalam eksekusi pengembalian kerugian negara. Sebab, sejauh ini, diketahui ada sejumlah hambatan dalam eksekusi kerugian negara, seperti aset yang sudah tidak ada, serta perusahaan pelaku kejahatan sudah berganti nama.
”Jadi dalam konteks mengembalikan kerugian yang timbul, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Pekerjaan rumah ini penting bagi DPR untuk mendudukkan institusi-institusi penegak hukum agar bersinergi dalam proses pengembalian kerugian tersebut. Sebab, nominalnya fantastis,” tutur Raynaldo.
Masih banyak kasus korporasi di dalam negeri yang sebenarnya bisa diproses, tetapi tak segera diproses, bahkan beberapa kasus cuma SP3. Itu perlu perhatian yang serius. (Raynaldo Sembiring)
Selain soal pengembalian kerugian negara, pekerjaan rumah yang lain adalah konteks penindakan. Raynaldo melihat subyek atau aktor utama pelaku kejahatan didominasi oleh korporasi. Karena itu, menurut dia, DPR dan pemerintah harus lebih menggiatkan lagi pertanggungjawaban pidana korporasi.
Baca juga : Pengembalian Uang Negara
”Masih banyak kasus korporasi di dalam negeri yang sebenarnya bisa diproses, tetapi tak segera diproses, bahkan beberapa kasus cuma SP3. Itu perlu perhatian yang serius,” ucap Raynaldo.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto menyampaikan, semua institusi harus berkomitmen dalam proses penegakan hukum dan eksekusi keputusan hukum. Proses penegakan hukum tak akan berjalan mulus apabila tidak dibarengi konsistensi di satu institusi dan antar-institusi.
”Jadi, tiga hal yang paling krusial adalah komitmen, konsistensi, dan semua institusi penegak hukum itu bisa membuktikan bahwa mereka punya integritas di dalam penegakan hukum di Indonesia,” ujar Sigit.