Kemenhan RI Tidak Merujuk Merek Osprey untuk Alutsista
Badan Kerja Sama Pertahanan AS mengeluarkan rilis, TNI memesan pesawat angkut. Kemenhan membenarkan TNI memang butuh pesawat angkut personel. Namun, baru spesifikasi teknisnya dan belum menunjuk produk tertentu.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pertahanan menyatakan TNI saat ini memang membutuhkan pesawat angkut personel. Akan tetapi, pembahasannya baru sampai pada spesifikasi teknis, belum menunjuk produk tertentu.
Hal ini disampaikan Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Djoko Purwanto, Selasa (7/7/2020), di Jakarta, saat ditanya. Djoko mengatakan, memang telah ada perencanaan pembelian pesawat angkut militer. ”Tapi, kita tidak merujuk pada satu produk tertentu,” kata Djoko.
Sebelumnya, dalam siaran pers Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan (DSCA) AS disebutkan, Kementerian Luar Negeri AS menyetujui rencana penjualan delapan pesawat tiltrotor MV-22 Osprey Block C kepada Indonesia. Pesawat ini baru digunakan AS dan Jepang. Siaran pers itu dikeluarkan di Washington DC, AS, Seini (6/7/2020) waktu setempat atau Selasa (7/7/2020) di Jakarta.
Baca juga: AS Setujui Penjualan MV-22 Osprey ke Indonesia
Disebutkan, DSCA telah mengirim notifikasi akan kemungkinan penjualan Osprey tersebut ke Kongres AS pada hari yang sama. Menurut AS, Pemerintah Indonesia telah mengajukan pembelian delapan pesawat MV-22 Osprey Block C kepada Pemerintah AS, beberapa waktu lalu. Nilai total pembelian ini mencapai 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 28,9 triliun.
TNI saat ini memang membutuhkan pesawat angkut personel. Akan tetapi, pembahasannya baru sampai pada spesifikasi teknis, belum menunjuk produk tertentu.
Dalam acara diskusi peluncuran buku karya Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji sebelumnya, yang berjudul Ekonomi Pertahanan: Menghadapi Perang Generasi Keenam, baru-baru ini, Agus yang juga Sekjen Kementerian Pertahanan hingga Mei 2020 itu mengatakan, proses pembelian alutsista merupakan proses bertahap yang panjang. Pasti ada perencanaan yang berjenjang. ”Apa kepentingan nasional kita. Itu yang jadi pertimbangan utamanya,” kata Agus.
Ia mengatakan, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) membutuhkan proses yang matang disesuaikan dengan kebutuhan pertahanan Indonesia. Informasi tentang persetujuan Departemen Luar Negeri AS atas rencana penjualan delapan pesawat tiltrotor MV-22 Osprey Block C kepada Indonesia dinilainya sebagai pernyataan sepihak AS.
Hadir dalam acara diskusi tersebut, Guru Besar Universitas Pertahanan Laksamana TNI (Purn) Marsetio, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, dan Jubir Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak. Saat ditanya, Dahnil menolak berkomentar tentang rencana pembelian helikopter Osprey.
Ekonomi pertahanan
Lebih jauh, dalam acara diskusi tersebut, Agus mengatakan, perlombaan senjata tak bisa dihindari. Menurut dia, perlombaan senjata terjadi ketika dua negara atau lebih meningkatkan ukuran dan kualitas sumber daya militer untuk mendapatkan keunggulan militer ataupun politik. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengendalikan peredaran senjata di negaranya, membatasi impor senjata, meningkatkan kualitas hasil produksi agar kompetitif, serta memberikan peluang yang sama antara industri pemerintah (BUMN) dan industri swasta nasional.
”Pertahanan itu harus bisa diciptakan bukan sebagai biaya, melainkan industri untuk datangkan devisa,” kata Agus. Ia mencontohkan negara-negara besar mendapatkan banyak sekali devisa dari industri pertahanan seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya. Oleh karena itu, ekonomi dan pertahanan bisa menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Artinya, pertahanan yang kuat membutuhkan kekuatan ekonomi yang baik. Sebaliknya, kekuatan ekonomi membutuhkan stabilitas keamanan sehingga keduanya tak bisa dipisahkan.
Perang generasi kelima
Menurut Agus, saat ini dunia sedang berada pada ”perang generasi kelima plus”, yaitu Cyber Warfare + UAV/UUV (unmanned aerial vehicle atau UAV, unmanned underwater vehicle atau UUV). Penggunaan tank-tank konvensional sama saja dengan menyiapkan peti-peti mati. Menurut dia, operasi militer harus dilaksanakan perbaikan secara besar-besaran yang menyesuaikan dengan perkembangan generasi perang.
Menurut dia, ke depan TNI harus dibangun dengan mengutamakan penguasaan ruang udara, data raksasa, dan electronic intelligence. Kekuatan pertahanan pada aspek udara dan ruang angkasa berada pada garda terdepan. Tentunya, penguatan ini dilakukan tanpa mengabaikan kesiapan matra laut dan darat.
Selain itu, pertahanan nasional juga membutuhkan peralatan komunikasi dan elektronika yang mempunyai daya tahan tinggi dan daya jangkau jauh serta dilengkapi dengan sistim enkripsi yang andal dalam rangka melaksanakan electronic intelligence, communication intelligent, ataupun deception. ”Dibutuhkan radar-radar dan rudal dengan presisi tinggi, satelit dan UAV, unmanned ship dan UUV,’’ jelas Agus lagi.
Ke depan TNI harus dibangun dengan mengutamakan penguasaan ruang udara, data raksasa, dan electronic intelligence. Kekuatan pertahanan pada aspek udara dan ruang angkasa berada pada garda terdepan.
Hal senada dikatakan mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Marsetio. Menurut dia, ekonomi pertahanan memanfaatkan berbagai sumber daya nasional untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara. Dia mengungkapkan, belajar dari kasus-kasus perang di Irak dan Iran serta Kuwait, sebuah negara membangun kekuatan pertahanannya memerlukan kekuatan ekonomi. Hal tersebut nanti sangat menentukan jumlah anggaran yang akan digunakan untuk pertahanan.
Perang generasi keenam juga harus menjadi perhatian. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang sudah membangun angkatan keenam. Angkatan ini siap menghadapi cyber warfare. Bahkan, angkatan keenam ini anggarannya melebihi kekuatan tradisionalnya, seperti Navy Seal. ”AS dengan kekuatan kapal induk 25 buah dengan kekuatan nuklir, 75 kapal selam dengan rudal ICBM. Ini dunia yang kita hadapi. Tak lepas bagaimana menguasai ruang udara,’’ ujar Marsetio.
Menurut Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, pertahanan merupakan salah satu kunci penting bagi keberlangsungan negara di lingkungan dunia internasional yang anarkis. ”Peningkatan kemampuan pertahanan akan meningkatkan posisi dan daya tawar sebuah negara. Ini biasa dipakai para diplomat untuk berdiplomasi,’’ jelasnya.
Karena itu, ekonomi dan pertahanan harus berjalan beriringan. Ekonomi yang sehat akan mendukung peningkatan pertahanan. Pertahanan yang lemah dapat mengancam keberadaan negara dan ini akan menghasilkan konsekuensi negatif yang tinggi bagi ekonomi negara. ”Salah satu alasan utama runtuhnya Uni Soviet ialah pembangunan aspek pertahanan tanpa memikirkan aspek ekonomi,’’ paparnya.
Seharusnya melihat anggaran pertahanan berdasarkan ancaman yang ada.
Meutya pun menilai perspektif alokasi anggaran pertahanan ke dalam tiga perspektif, yaitu ancaman, kesejahteraan, dan kelembagaan. Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata harus cermat mengenai isu-isu pertahanan dan bisa memprediksi konsep pertahanan ke depan seperti apa.
Baca juga: Kisah Mil Mi-6, Helikopter Terbesar di Dunia yang Pernah Dioperasikan AURI
Dahnil menilai ada banyak pihak yang punya kesalahan perspektif tentang pertahanan. Pertahanan dilihat sebagai segmen untuk mengeluarkan uang sehingga banyak pihak yang menyoroti besarnya anggaran pertahanan. ”Seharusnya melihat anggaran pertahanan berdasarkan ancaman yang ada,” katanya.
Anggaran pertahanan sebesar Rp 129 triliun, ucap Dahnil, tergolong kecil dibandingkan dengan anggaran kementerian lainnya. Anggaran tersebut dibagi ke lima pos di bawah Kementerian Pertahanan. Sekitar 50 persen dipakai untuk belanja pegawai, termasuk gaji. Sementara persenjataan porsinya hanya sekitar 30 persen. ”Jadi, ini ada gap literasi terhadap ancaman. Pertahanan itu bukan biaya, melainkan investasi,’’ ujar Dahnil.