Saat Kualitas Berita Saja Tidak Cukup untuk Bertahan...
Tingkat kepercayaan publik terhadap informasi dan berita mengenai Covid-19 yang berasal dari organisasi pemberitaan menduduki peringkat ke-4, jauh di atas media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Jurnalisme kembali dicari. Prinsip, etika, dan metodenya dalam mengumpulkan serta menyajikan informasi dibutuhkan pada saat banjir informasi. Namun, untuk bertahan dan berkembang, sekadar berkualitas saja tidak cukup.
Permintaan relatif tinggi pada konten berita dan informasi yang dihasilkan industri media berbasis ruang redaksi (gatekeeper) juga cenderung makin membesar pada masa pandemi Covid-19. Hal ini tecermin dalam hasil riset Reuters Institute Digital News Report 2020. Konsumsi berita naik signifikan, khususnya melalui media televisi dan daring (online). Sementara konsumsi media cetak cenderung menurun menyusul sulitnya mendistribusikan media tersebut secara fisik.
Tingkat kepercayaan publik terhadap informasi dan berita mengenai virus korona yang berasal dari organisasi pemberitaan menduduki peringkat ke-4. Posisi ini hanya berada di bawah para dokter dan ilmuwan, organisasi kesehatan tingkat nasional, dan organisasi kesehatan global yang masing-masing ada di posisi ke-1, ke-2, dan ke-3.
Temuan survei dari 40 negara dengan lebih dari 80.000 responden itu dilakukan pada Januari dan Februari 2020. Selain itu, survei kembali diulang pada awal April 2020 di Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, Korea Selatan, dan Argentina.
Laporan itu menunjukkan bahwa pada April 2020, tingkat kepercayaan publik terhadap informasi dan berita mengenai virus korona yang berasal dari organisasi pemberitaan menduduki peringkat ke-4. Posisi ini hanya berada di bawah para dokter dan ilmuwan, organisasi kesehatan tingkat nasional, dan organisasi kesehatan global yang masing-masing ada di posisi ke-1, ke-2, dan ke-3.
Pada pemeringkatan dari riset yang sama, platform aplikasi percakapan, seperti Whatsapp dan Facebook Messenger, berada di peringkat terakhir, yakni ke-12. Di atasnya bertengger platform media sosial, seperti Facebook dan Twitter (peringkat ke-11); laman video, seperti Youtube daan Vimeo (peringkat ke-10); dan mesin pencari, seperti Google, Bing, dan Naver (peringkat ke-9). Tidak ada pembanding untuk kategori data ini pada survei tahun lalu.
Baca juga : ”Kompas” dan Jurnalisme Makna
Sebab, jika tingkat kepercayaan terhadap media berbasis ruang redaksi dibandingkan dengan tahun lalu, persentasenya justru turun. Data Reuters Institute Digital News Report 2020 menunjukkan bahwa hanya 38 persen responden memercayai sebagian besar berita secara keseluruhan di sebagian besar waktu. Kategori data yang sama dalam Reuters Institute Digital News Report 2019 menunjukkan, persentasenya masih sebesar 42 persen.
Kenaikan kebutuhan orang-orang pada berita dan informasi oleh media berbasis ruang redaksi pada saat pandemi Covid-19 cenderung menyiratkan kegunaan nyata informasi kredibel bagi publik.
Laporan Reuters Institute Digital News Report 2020 itu juga mengingatkan bahwa tingkat ketertarikan publik terhadap berita dari media berbasis ruang redaksi selama pandemi Covid-19 sulit dipertahankan. Pada sisi lain, implikasi terhadap tingkat kepercayaan pada media berbasis ruang redaksi disebut sulit diprediksi. Hal ini menyusul perubahan peran pada masa awal pandemi dibandingkan dengan masa pemulihan kini.
Kenaikan kebutuhan orang-orang pada berita dan informasi oleh media berbasis ruang redaksi pada saat pandemi Covid-19 cenderung menyiratkan kegunaan nyata informasi kredibel bagi publik. Hal ini menyusul arus infodemi yang mendampingi gelombang epidemi. Bentuknya bisa berupa misinformasi, disinformasi, ujaran kebencian, dan sebagainya.
Tantangan jurnalisme untuk menghadapi misinformasi, ujaran kebencian, dan disinformasi memang tidak ringan. Apalagi tatkala konten-konten itu hadir di media sosial.
Namun, langkah progresif dilakukan sejumlah korporasi global yang dikabarkan bakal memboikot pemasangan iklan di sejumlah platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter di sisa tahun 2020. Laman Washingtonpost.com dalam artikel berjudul ”Facebook Faces a Growing Advertising Boycott After Consumer Goods Giant Unilever Joins” yang dipublikasi pada 27 Juni 2020 menyebutkan hal tersebut. Tindakan itu sebagai protes terkait penanganan ujaran kebencian daring oleh pengelola platform media sosial tersebut.
PBB mengajak orang-orang untuk menjadi sukarelawan informasi untuk membagikan konten tepercaya guna menjaga keluarga dan komunitas mereka aman dan saling terhubung.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres pada 14 April 2020 mengumumkan insiatif respons komunikasi PBB untuk membanjiri internet dengan fakta-fakta dan sains. Sebagaimana dikutip dari laman UN.org, ini dilakukan sembari melawan momok misinformasi sebagai racun yang bahkan dapat membahayakan lebih banyak nyawa.
Inisiatif untuk menghadapi infodemi tersebut ditindaklanjuti dengan meluncurkan inisiatif bernama ”Verified” pada 21 Mei 2020. PBB mengajak orang-orang untuk menjadi sukarelawan informasi untuk membagikan konten tepercaya guna menjaga keluarga dan komunitas mereka aman dan saling terhubung. Hal ini sebagaimana keterangan di laman UN.org yang dipublikasikan 21 Mei 2020.
Pendapatan turun
Namun, kebutuhan tinggi terhadap media berbasis jurnalisme itu tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Bagi para penerbit media, hal ini cenderung menghasilkan lebih sedikit pendapatan. Resesi tak terhindarkan yang bakal dihadapi pengiklan, tulis laporan itu, dan pendapatan media cetak yang menurun menjadi alasannya. Sehubungan dengan itulah, sepertinya akan terdapat dorongan lanjutan dari praktik berlangganan digital serta model berbayar lain.
Terkait dengan keberadaan di masa depan, para penerbit media berbasis ruang redaksi disebutkan semakin menyadari bahwa koneksi yang lebih kuat dan dalam dengan audiens di ranah daring akan menentukan kelangsungan hidup dalam jangka panjang. Laporan itu juga menyebutkan ihwal semakin pentingnya surel dan podcast untuk meningkatkan ketertarikan dan loyalitas audiens.
Kreativitas memformulasikan model bisnis dan keberanian mengadvokasi hak-hak dalam kerangka relasi hukum internasional terkait hubungan industrial dengan pengelola platform media sosial menjadi keharusan.
Karena itulah, kreativitas memformulasikan model bisnis dan keberanian mengadvokasi hak-hak dalam kerangka relasi hukum internasional terkait hubungan industrial dengan pengelola platform media sosial menjadi keharusan. Keadilan dalam hubungan industrial kedua entitas media ini penting mengingat sebagian besar kue iklan dalam industri tersebut yang lebih terserap ke media sosial.
Bahkan, sejumlah media berbasis ruang redaksi berada di ambang kebangkrutan karena kekurangan iklan. Jurnalisme berada di titik nadir. Demikian pula keberlangsungan masyarakat dalam negara demokratis menyusul peran pers sebagai pilar keempat yang cenderung terus menyusut.
Dalam hubungan itu, Australia tengah mencoba untuk memaksa Google dan Facebook membagi pendapatan iklan mereka dengan perusahaan media di Australia. Hal ini sebagaimana dilaporkan dalam laman Theguardian.com yang dipublikasi di bawah judul ”Facebook and Google to be Forced to Share Advertising Revenue with Australian Media Companies” pada 19 April lalu. Sejumlah hal serupa pernah dilakukan di Spanyol dan Perancis. Hasilnya masih harus ditunggu.
Baca juga : Menjaga Jurnalisme di Era Disrupsi
Pendekatan parsial
Namun, menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Irwansyah, saat dihubungi pada Sabtu (27/6/2020), pendekatan seperti yang tengah dicoba di Australia cenderung parsial. Yang semestinya dilakukan untuk mengatasi ketimpangan hubungan industrial itu ialah lewat pendekatan hukum internasional. Pendekatan ini akan membuat di mana saja perusahaan media sosial itu beroperasi dan menjangkau orang-orang, mereka akan terkena peraturan dan etika yang ditetapkan.
”Kalau mau berjuang, mau survive, jangan bertahan sendiri-sendiri. Harus berkolaborasi, harus memikirkan kepentingan bersama,” kata Irwansyah.
Saat ini, media berbasis ruang redaksi dan media sosial sama-sama telah menjadi media arus utama. Bedanya, media berbasis ruang redaksi cenderung menjadi lebih referensial karena serangkaian proses panjang untuk menghasilkan informasi kredibel.
Irwansyah mengatakan, saat ini media berbasis ruang redaksi dan media sosial sama-sama telah menjadi media arus utama. Bedanya, media berbasis ruang redaksi cenderung menjadi lebih referensial karena serangkaian proses panjang untuk menghasilkan informasi kredibel.
Setelah sempat tergagap-gagap dengan realitas media sosial, kehadiran media berbasis ruang redaksi di media sosial menumbuhkan kembali kepercayaan. Hal itu terutama dalam kaitan peran media berbasis ruang redaksi untuk menjadi referensi.
Hal ini dipandang sebagai bentuk adaptasi dalam konsep perantaraan media. Akan tetapi, lanjut Irwansyah, semestinya jaringan global pengelola media berbasis ruang redaksi mengupayakan pula domain dot news (.news) ke Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN). Ini penting untuk memastikan hak dan kewajiban korporasi media berbasis ruang redaksi. Sekaligus pula menjamin dipenuhinya hak publik dalam mendapatkan informasi yang kredibel.
Tingkat kepercayaan pada media berbasis ruang redaksi cenderung membaik menyusul kebutuhan publik pada informasi yang kredibel. Kebutuhan ini cenderung bukan lagi pada informasi yang sekadar viral, terutama di masa pandemi Covid-19 yang diiringi dengan gelontoran infodemi.
Dosen Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Samiaji Bintang Nusantara, saat dihubungi pada Minggu (28/6/2020) menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan pada media berbasis ruang redaksi cenderung membaik menyusul kebutuhan publik pada informasi yang kredibel. Kebutuhan ini cenderung bukan lagi pada informasi yang sekadar viral, terutama di masa pandemi Covid-19 yang diiringi dengan gelontoran infodemi.
Bintang berpendapat, tren tersebut diprediksi cenderung bertahan. Hal ini menyusul pula perbaikan ekosistem digital dengan upaya memformulasi ulang hubungan industrial antara media berbasis ruang redaksi dan media sosial atau perusahaan teknologi lain yang pada hakikatnya menjalankan bisnis media. Upaya ini tengah dilakukan sejumlah negara di dunia. Ini membuat kemungkinkan serupa dapat didorong pula di Indonesia. Kolaborasi antara sesama media berbasis ruang redaksi untuk mewujudkan ekosistem media yang lebih baik.
Bintang menambahkan, saat ini merupakan momentum dikembalikannya lagi basis dasar jurnalisme dengan disiplin verfikasi yang dimiliki. Hal itu diikuti juga dengan seperangkat etika dan prinsip. Cenderung tidak percaya dirinya industri jurnalisme terhadap kekuatan mendasar itu menjadi sebagian penyebab sejumlah anomali dalam praktik jurnalistik selama beberapa waktu belakangan. Misalnya saja yang berwujud dengan kanibalisasi berita atau strategi penggunaan konten dan judul clickbait.
Menurut dia, keputusan tentang bagaimana publik akan menempatkan media berbasis ruang redaksi di tengah banjir informasi akan sangat tergantung dari inovasi yang dilakukan pembuat produk. Faktor keterikatan publik terhadap media berbasis ruang redaksi juga akan menjadi pemicu.
”Publik hanya menunggu adanya cara-cara kreatif dan kontinu,” ujar Bintang.
Sejumlah hal di atas membuat produk jurnalistik yang berkualitas tidak lagi cukup untuk bisa mempertahankan dan mengembangkan industri jurnalisme. Namun, hal itu harus ditambah dengan kreativitas memformulasikan model bisnis dan keberanian mengadvokasi hak-hak industri jurnalisme di tingkat global.
Baca juga : Jangan Teraniaya di Jagat Maya