Persepsi publik, baik positif maupun negatif, terhadap Polri mesti diletakkan sebagai harapan publik terhadap institusi kepolisian. Penilaian itu jadi modal perbaikan bagi Polri di masa datang untuk bekerja profesional.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persepsi publik, baik yang positif maupun negatif, terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia mesti diletakkan sebagai harapan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Penilaian tersebut menjadi modal perbaikan ke depan.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, tercatat adanya keterbelahan sikap responden. Dalam kasus terkait suap, misalnya, separuh bagian (48 persen) sepakat dengan penilaian umum bahwa polisi mudah disuap, tetapi ada separuh bagian lain (42 persen) tidak setuju dengan anggapan tersebut (Kompas, 1/7/2020).
Hal yang sama terjadi pada anggapan soal netralitas. Responden dalam kelompok generasi milenial muda juga terbelah soal ini. Namun, secara keseluruhan, mayoritas responden, yakni 62,1 persen, menilai citra kepolisian saat ini baik.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, ketika dihubungi, Kamis (2/7/2020) di Jakarta, berpandangan, persepsi masyarakat tersebut menandakan besarnya harapan masyarakat terhadap kepolisian. Sebab, Polri adalah institusi yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat.
Persepsi masyarakat tersebut menandakan besarnya harapan masyarakat terhadap kepolisian. Sebab, Polri adalah institusi yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat.
Menurut Poengky, pekerjaan rumah kepolisian adalah melanjutkan reformasi di tubuh Polri, khususnya melakukan reformasi kultural. Hal itu penting agar dalam menjalankan tugasnya, aparat kepolisian dapat bertindak semakin humanis, tidak melakukan kekerasan berlebihan, serta tidak arogan.
”Semakin majunya komunikasi serta kebebasan berekspresi harus disikapi Polri dengan profesional agar tidak terjadi kekeliruan antara yang disebut kebebasan berekspresi dan hate crime yang dapat dijerat pidana,” kata Poengky.
Oleh karena itu, persepsi masyarakat, terutama generasi milenial, yang memandang polisi tidak netral mesti diletakkan dalam konteks penyelenggaraan pilkada maupun pilpres yang belum sepenuhnya dapat diterima setiap lapisan masyarakat. Demikian pula adanya anggapan bahwa anggota kepolisian mudah disuap atau berurusan dengan polisi mesti mengeluarkan uang merupakan penanda bahwa masih ada oknum polisi yang belum melaksanakan reformasi kultural Polri.
Persepsi semacam itu diharapkan menjadi pendorong bagi Polri terus membenahi diri agar semakin profesional. Selain itu, Polri diharapkan memenuhi harapan masyarakat agar lebih humanis.
Persepsi milenial
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Adrianus Meliala, berpandangan, persepsi terhadap Polri dapat bersifat sensitif terhadap waktu. Artinya, situasi dan informasi terkait kepolisian ketika jajak pendapat turut memengaruhi positif atau negatifnya persepsi masyarakat. Demikian pula dengan persepsi negatif kaum milenial terhadap kepolisian kemungkinan besar muncul karena terpapar oleh informasi dari media sosial.
Upaya Polri untuk lebih akuntabel bisa jadi malah dipersepsi negatif oleh masyarakat. Namun, kalau Polri hanya mau terlihat positif saja di mata masyarakat, malah berbahaya.
Pada dasarnya, Adrianus melanjutkan, kepolisian memiliki peran yang bisa jadi berseberangan, yakni sebagai pengayom atau pelindung masyarakat dan sebagai penegak hukum. Kedua tugas itu dapat membuat kepolisian harus humanis dan persuasif di satu sisi, tetapi bisa bertindak represif ketika harus melaksanakan tugas penegakan hukum.
”Upaya Polri untuk lebih akuntabel bisa jadi malah dipersepsi negatif oleh masyarakat. Namun, kalau Polri hanya mau terlihat positif saja di mata masyarakat, menurut saya malah berbahaya,” kata Adrianus.
Menurut Adrianus, persepsi tersebut mesti diletakkan sebagai bentuk pengawasan dari masyarakat. Hal itu penting karena di dalam kepolisian kerap terjadi, berbeda pimpinan, maka berbeda pula kebijakan di lapangan yang diambil. Oleh karena itu, persepsi yang terangkum dalam jajak pendapat merupakan pengingat bagi pucuk pimpinan Polri yang terus berganti.