Komisi III DPR: Jika Joko Tjandra Tidak Tertangkap, Negara Dipermalukan
Negara bisa dipermalukan bila buronan perkara Bank Bali Joko Tjandra tak bisa tertangkap. ”Teroris saja bisa ditangkap, kok, hanya seorang buronan saja tak bisa ditangkap,” kata Ketua Komisi III DPR Herman Hery.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara melalui para penegak hukum telah memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk menangkap buronan perkara cessie Bank Bali, Joko Tjandra. Dengan demikian, apabila buronan tidak berhasil ditangkap, negara bisa dipermalukan.
Joko Tjandra, berdasar arsip Kompas, diketahui pergi ke Papua Niugini pada 10 Juni 2009 malam, sehari sebelum Mahkamah Agung memvonis Joko dua tahun penjara pada 11 Juni 2009. Pada Rabu (1/7/2020) sore, tim kuasa hukum Joko Tjandra menegaskan kliennya datang ke PN Jakarta selatan pada 8 Juni untuk mendaftarkan peninjauan kembali atas putusan perkaranya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebutkan, Joko kembali ke Tanah Air sejak tiga bulan lalu. Namun, pernyataan tersebut dibantah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Yasonna mengatakan, sistem keimigrasian tidak menemukan data soal masuknya buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie PT Bank Bali tersebut.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Herman Hery, yang dihubungi di Jakarta, Kamis (2/7/2020), mengatakan, institusi penegak hukum lebih paham dan mampu untuk menangkap Joko Tjandra yang bertahun-tahun telah buron. Namun, persoalannya, apakah negara melalui aparat penegak hukumnya mau melakukan hal itu dengan mengoptimalkan segala instrumen yang dimilikinya untuk mengejar buronan tersebut. Semakin lama Joko Tjandra tidak ditangkap, hal itu akan membuat negara dipermalukan.
”Jika buronan tidak bisa ditangkap, negara dipermalukan. Biar rakyat yang menilai karena publik sangat paham bagaimana institusi negara harus bekerja. Teroris saja bisa ditangkap, kok, hanya seorang buronan saja tak bisa ditangkap. Apakah karena nama yang bersangkutan Joko Tjandra?” ungkap Herman.
Menurut Herman, koordinasi antarpenegak hukum dan pemerintah harus segera dilakukan. Sepanjang ada kemauan, koordinasi antarpenegak hukum adalah persoalan sederhana. ”Persoalannya, mau ataukah tidak?” ujarnya.
Jika buronan tidak bisa ditangkap, negara dipermalukan. Biar rakyat yang menilai karena publik sangat paham bagaimana institusi negara harus bekerja. Teroris saja bisa ditangkap, kok, hanya seorang buronan saja tak bisa ditangkap. Apakah karena nama yang bersangkutan Joko Tjandra?
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan, persoalan koordinasi antarpenegak hukum ini menjadi konsen pengawasan lembaganya dalam kasus Joko Tjandra. Informasi terakhir yang diperolehnya, Kejaksaan Agung telah mengirimkan surat ke imigrasi tentang status Joko yang masuk daftar pencarian orang (DPO). Namun, ada informasi status DPO Joko itu sebelumnya dicabut kepolisian. Dalam situasi ini, terjadi ketidaksinkronan tindakan penegak hukum.
”Saya meminta kepada penegak hukum, baik Polri, Kejagung, Badan Intelijen Negara, maupun Kemenkumham, untuk mengecek benar-benar proses ini. Kalau benar dia masuk DPO, seyogianya yang bersangkutan segera ditangkap karena yang bersangkutan telah menodai citra hukum Indonesia,” kata Sahroni.
Untuk mendorong perbaikan koordinasi antarpenegak hukum dan Kemenkumham, Sahroni mengatakan, bisa saja DPR memanggil lembaga-lembaga itu dalam rapat gabungan. Diharapkan rapat gabungan itu dapat menyolidkan koordinasi antarlembaga penegak hukum.
”Kalau prosesnya demikian (kurang koordinasi) terhadap Joko Tjandra, akan ada ’Joko Tjandra-Joko Tjandra’ lain nantinya. Itu yang tidak kita harapkan,” katanya.
Anggota Komisi III DPR yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Arsul Sani, mengatakan, problem koordinasi di antara lembaga penegak hukum idealnya diatasi pemerintah melalui peran Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam). Sebab, Kemenko Polhukan memiliki peran mengoordinasi lembaga-lembaga penegak hukum, yakni polisi dan kejaksaan, termasuk juga menyinergikan hubungan keduanya dengan Kemenkumham.
”Bisa saja, misalnya, Menko Polhukam mengadakan rapat koordinasi (rakor) dengan pihak-pihak terkait untuk menuntaskan masalah ini. Di dalam rakor, hasilnya dapat saja dibentuk tim gabungan untuk menuntaskan persoalan ini bersama-sama antarpenegak hukum,” katanya.
Di sisi lain, Arsul mengingatkan, pengajuan peninjauan kembali (PK) harus dilakukan langsung oleh terpidana. Bila syarat formil itu tidak terpenuhi, permohonan PK Joko harus digugurkan.