Sebanyak 62,1 persen responden jajak pendapat Kompas menilai baik citra Polri. Masih banyak hal bisa dilakukan guna terus meningkatkan citra dan kinerja Polri.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pada usia yang menginjak 74 tahun, Rabu (1/7/2020), masyarakat secara umum masih memandang baik citra Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun, masih ada banyak ruang perbaikan yang bisa diambil untuk menjaga konsistensi reformasi Polri. Pemanfaatan teknologi informasi lebih intensif untuk pelayanan masyarakat bisa menjadi salah satu solusi.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada 23-25 Juni 2020 mencatat, mayoritas responden, yakni 62,1 persen, menilai citra kepolisian saat ini baik. Dari jajak pendapat berkala, sejak April 2015 hingga Juni 2020, persepsi ini bukan yang terbaik, juga bukan yang terburuk. Catatan terbaik ada pada April 2018, yakni 72,2 persen, sedangkan yang terendah pada April 2015, yakni 55 persen.
Dari jajak pendapat Juni 2020, terlihat generasi milenial muda (berusia di bawah 30 tahun) menjadi kelompok responden yang paling skeptis. Misalnya, kelompok ini terbesar dibandingkan dengan kelompok usia milenial dewasa (31-40), generasi X (41-52), dan baby boomers (53 tahun ke atas) dalam menjawab setuju terhadap persepsi ”polisi mudah disuap”.
Sebanyak 48,8 persen generasi milenial muda menjawab setuju. Persentase ini di atas kaum milenial dewasa (36,6 persen), gen X (34,5 persen), dan baby boomers (25 persen).
Sosiolog Universitas Gadjah Mada dan Direktur Eksekutif Youth Studies Centre Oki Rahadianto Sutopo, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (30/6), menilai, persepsi kelompok milenial ini perlu dipahami sebagai sebuah sikap kritis. Sikap itu juga memperlihatkan bahwa kaum milenial melihat ada hal atau situasi yang perlu diperbaiki untuk kepentingan bersama.
”Bukan berarti mereka tidak berpengetahuan. Namun, bisa jadi sumber-sumber pengetahuannya lebih banyak dan bisa jadi mereka lebih terkoneksi secara global. Jadi harus dilihat sebagai generasi yang berpengetahuan dan kritis,” kata Oki.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan, secara umum, Polri terus melakukan perbaikan dari tahun ke tahun. Namun, hal yang dipersepsikan sebagian masyarakat, terutama generasi milenial, juga ada benarnya.
Dengan bantuan teknologi informasi, menurut dia, generasi milenial dapat dengan mudah mengecek berita positif ataupun negatif mengenai Polri di banyak daerah. Dengan teknologi informasi yang terus berkembang, tugas berat Polri adalah konsistensi memperbaiki perilaku anggotanya.
Untuk meminimalkan terjadinya potensi penyelewengan, menurut Neta, Polri semestinya semakin banyak mengadopsi teknologi untuk membantu pelayanan bagi masyarakat, seperti pengurusan surat izin mengemudi. Dengan teknologi, potensi polisi bertemu masyarakat bisa dihindari sehingga meminimalkan potensi penyelewengan, seperti suap.
Pembuktian Polri
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, Polri mengapresiasi kepercayaan masyarakat. Hal itu menjadi dorongan meningkatkan kinerja. Dua hal yang akan terus ditingkatkan adalah terkait keamanan dan kualitas hidup masyarakat.
Sementara itu, terkait persepsi negatif soal Polri, lanjut Argo, langkah yang harus dilakukan adalah membuktikan kepada publik bahwa hal itu tidak benar. Untuk itu, jajaran kepolisian akan bekerja lebih baik dan profesional ke depan.
Buktikan bahwa berurusan dengan polisi tidak perlu membayar.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Bekto Suprapto, mengatakan, persepsi masyarakat, termasuk generasi milenial, bisa jadi tidak netral. Namun, masih adanya oknum anggota Polri yang menerima suap harus diikuti dengan tindakan tegas dari pengawas internal Polri, termasuk juga menindak pemberi suap.
”Polri harus mau menerima persepsi tersebut untuk menjadi bahan introspeksi dan sekaligus berupaya keras untuk mengubahnya. Buktikan bahwa berurusan dengan polisi tidak perlu membayar,” kata Bekto.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan, untuk menjaga kepercayaan publik terhadap Polri, hal yang diperlukan adalah konsistensi penegakan hukum. Polri harus berdiri di atas semua golongan ataupun di atas kepentingan pragmatis.
Reformasi di tubuh Polri harus terus dilakukan secara struktural, dimulai dari pucuk pimpinan Polri. Menurut Bambang, Polri punya modal kuat untuk terus memperbaiki diri, yakni UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI yang memberikan kewenangan besar bagi Polri menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, Polri perlu membangun partisipasi publik untuk turut melakukan kontrol.
Selama ini kepolisian lebih bersikap defensif ketika muncul kritik dari masyarakat. Ini yang disayangkan
”Selama ini kepolisian lebih bersikap defensif ketika muncul kritik dari masyarakat. Ini yang disayangkan,” katanya.
Beberapa waktu terakhir, Polri dikritik masyarakat sipil karena tindakan sebagian personel Polri dianggap bisa mengganggu kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Kritik itu muncul misalnya terkait dengan penjemputan personel Polres Sula, Maluku Utara, terhadap Ismail Ahmad (41) yang mengunggah ke media sosial guyonan Gus Dur terkait dengan tiga polisi jujur, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng (Kapolri 1968-1971). Berkaitan dengan tindakan itu, Polres Sula ditegur oleh Polda Maluku Utara.
Terkait kebebasan berekspresi yang menjadi sorotan masyarakat, Argo menyatakan, kepolisian akan menjaga demokrasi dengan lebih baik.