Proses Seleksi BPK, Independensi Lembaga, dan Tudingan Benny Tjokro
Tudingan politisasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK sulit dihindarkan jika proses seleksi calon auditor keuangan negara itu masih didominasi oleh DPR. Perlu mekanisme ”checks and balances” dalam seleksi anggota BPK.
JAKARTA, KOMPAS — Aturan dan proses seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan dinilai belum mampu mewujudkan tata kelola organisasi yang independen dan berintegritas. Saat ini proses seleksi lembaga auditor negara itu terlalu dikuasai DPR. Hal ini sedikit banyak berdampak pada potensi tuduhan hasil audit BPK dianggap dipolitisasi untuk melindungi atau menjatuhkan seseorang berdasarkan pesanan partai politik.
Baru-baru ini, terdakwa kasus korupsi Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro, ”bernyanyi”. Sebelum persidangan kasus dugaan korupsi Jiwasraya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dia mengeluarkan tudingan bahwa ada keterlibatan Grup Bakrie dalam kasus Jiwasraya. Namun, hal itu tidak terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan BPK karena Ketua dan Wakil Ketua BPK dituding menutupi.
Menurut versi Benny, dirinya hanyalah kambing hitam. Sebab, dia memiliki aset besar yang dapat digunakan untuk menutup kerugian negara. Adapun, menurut dia, yang telah menyebabkan kerugian Jiwasraya sejak tahun 2006 adalah perusahaan Grup Bakrie. Namun, hal tersebut tidak terungkap karena BPK menutupinya (Kompas, 26 Juni 2020).
Penghitungan kerugian negara oleh BPK dalam kasus Jiwasraya dilakukan atas permintaan Kejaksaan Agung. Penghitungan dilakukan setelah kasus Jiwasraya masuk tahap penyidikan dan Kejagung telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu.
Merespons tudingan itu, Ketua BPK Firman Agung Sampurna menggelar jumpa pers di Kantor BPK, Jakarta, Senin (29/6/2020). Dia menyatakan, penghitungan kerugian negara oleh BPK dalam kasus Jiwasraya dilakukan atas permintaan Kejaksaan Agung. Penghitungan dilakukan setelah kasus Jiwasraya masuk tahap penyidikan dan Kejagung telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu.
”Maka, menjadi aneh atau lucu jika dikatakan bahwa BPK, Ketua dan Wakil Ketua BPK, melindungi pihak tertentu oleh terdakwa. Karena sudah ada konstruksi hukumnya dan ditetapkan tersangka, lalu dieksposur. Jadi bagaimana kami melindungi?” kata Firman.
Menurut Firman, awalnya BPK tidak ingin menanggapi tudingan itu karena tak ingin menimbulkan kegaduhan. Namun, setelah beberapa waktu, pihaknya menilai tuduhan tersebut telah mengganggu kredibilitas BPK. Oleh karena itu, BPK melaporkan Benny Tjokrosaputro ke Bareskrim Polri.
Dominasi DPR
Lima anggota BPK periode 2019-2024 yang dilantik oleh Mahkamah Agung pada 2019 didominasi sosok yang berlatar belakang partai politik. Kelima anggota itu adalah Achsanul Qosasi (Partai Demokrat), Daniel Lumban Tobing (PDI Perjuangan), Harry Azhar Aziz (Partai Golkar), dan Pius Lustrilanang (Partai Gerindra). Hanya Hendra Susanto yang berasal dari internal BPK.
Mereka adalah anggota yang terpilih dan disahkan oleh DPR pada tahun 2019. Mereka dipilih dari 55 calon anggota. Sementara itu, empat pimpinan BPK lainnya yang sudah lebih dulu menjabat ialah Ketua BPK Agung Firman Sampurna, Wakil Ketua Agus Joko Pramono, serta dua anggota, yakni Isma Yatun dan Bahrul Alam.
Di Indonesia, BPK menjadi perpanjangan tangan dari DPR untuk memeriksa anggaran negara. Itulah yang kemudian menjadi logika untuk mendekatkan fungsi DPR dan BPK.
Bahrul Alam berasal dari internal BPK, sedangkan Agus Joko Pramono berasal dari luar BPK. Isma Yatun pernah menjadi anggota DPR dari PDI Perjuangan, sementara Agung Firman Sampurna merupakan birokrat. Namun, posisinya sebagai putra politisi senior Partai Golkar, Kahar Muzakir, beberapa kali membuatnya dinilai berpotensi konflik kepentingan, misalnya pada audit Hambalang tahap II (Kompas.com, 21/12/2012).
Baca juga : Dituduh Lindungi Grup Bakrie, BPK Laporkan Benny Tjokro
Menanggapi tudingan terhadap independensi hasil audit BPK tersebut, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi, Selasa (30/6/2020), mengatakan, dalam sistem pemerintahan presidensial, BPK seharusnya menjadi lembaga yang lebih independen. Namun, sesuai UUD 1945, di Indonesia, BPK menjadi perpanjangan tangan dari DPR untuk memeriksa anggaran negara. Itulah yang kemudian menjadi logika untuk mendekatkan fungsi DPR dan BPK. Dalam Pasal 23 F UUD 1945 disebutkan bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan rekomendasi dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
”Di dalam sistem presidensial, seharusnya BPK bisa lebih independen karena dia juga berwenang memeriksa laporan keuangan parlemen. Namun, konstruksi BPK dalam UUD memang sudah seperti itu,” kata Zainal.
Menurut Zainal, yang menjadi akar permasalahan BPK saat ini adalah proses seleksi anggota yang dikuasai DPR. Meskipun konstitusi mengatur seleksi anggota BPK dilakukan DPR dengan rekomendasi dari DPD, rekomendasi DPD hanya sebatas formalitas. Rekomendasi DPD sering kali tidak menjadi bahan pertimbangan saat DPR mengambil keputusan.
Akar permasalahan BPK saat ini adalah proses seleksi anggota yang dikuasai DPR. Meskipun konstitusi mengatur seleksi anggota BPK dilakukan DPR dengan rekomendasi dari DPD, rekomendasi DPD hanya sebatas formalitas.
Jika ingin memperbaiki BPK, ke depan yang mendesak untuk diperbaiki adalah penguatan fungsi DPD. Hal ini supaya rekomendasi yang dibuat DPD tidak hanya sekadar formalitas, tetapi bersifat mengikat. Mekanisme seleksi pun perlu diubah, yakni keputusan akhir seleksi anggota BPK di tangan DPR, tetapi pertimbangannya menggunakan tim seleksi dari DPD.
”DPD membuat tim seleksi awal, sehingga meskipun keputusan akhir ada di DPR, itu sudah melalui proses pertimbangan dari DPD. Ini lebih jalan mekanisme checks and balances supaya DPR tidak bekerja sendiri. Selama ini DPR memilih, menyeleksi, dan memutuskan hasil akhirnya,” papar Zainal.
Dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan yang diterbitkan Universitas Indonesia (7 Juni 2017), Dumaria Simanjuntak memiliki pendapat senada dengan Zainal. Inspektur BPK itu mengatakan, problem utama BPK adalah aturan dalam seleksi jabatan anggota BPK. Menurut dia, proses pengisian jabatan anggota BPK terlalu dikuasai DPR. Tidak ada proses checks and balances dalam proses seleksi tersebut. Inilah yang rentan disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan politis. Padahal, sebagai satu-satunya lembaga audit eksternal yang sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, seharusnya BPK jauh dari kepentingan partai politik.
Menurut Dumaria, dalam seleksi anggota BPK, DPD memang dilibatkan. Namun, DPD hanya sebatas memberikan rekomendasi. Karena sifatnya rekomendasi, hal itu pun dengan sangat mudah diabaikan DPR. Kewenangan absolut tetap ada di tangan DPR. Apalagi, proses seleksi pejabat di DPR tidak transparan. Proses uji kelayakan dan kepatutan pun hanya menjadi ajang transaksi politik. Bahkan, tak jarang proses itu menjadi ajang transaksi suap.
Pertimbangan pemilihan calon juga sering kali tak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam jurnal itu juga dituliskan, DPR terkadang justru memilih calon yang bermasalah seperti yang tersangkut kasus korupsi. Padahal, BPK berperan besar dalam pemberantasan kasus korupsi karena memiliki kewenangan melakukan audit investigasi penyimpangan keuangan negara yang berdampak pada kerugian negara.
DPR terkadang justru memilih calon yang bermasalah seperti yang tersangkut kasus korupsi. Padahal, BPK berperan besar dalam pemberantasan kasus korupsi karena memiliki kewenangan melakukan audit investigasi penyimpangan keuangan negara yang berdampak pada kerugian negara.
Kewenangan DPR yang absolut itu menyebabkan pemilihan anggota BPK tidak dapat dijauhkan dari isu politis yang dominan. Akibatnya, anggota BPK yang terpilih jauh dari hakikat lembaga profesi yang menjunjung tinggi unsur profesionalitas dan independensi.
”Sudah beberapa kali anggota BPK terseret kepentingan politis, bahkan menjadi tersangka kasus korupsi. Agar BPK lebih profesional dan independen, seleksi jabatan BPK jauh pula dari kepentingan politis,” kata Dumari.
Kasus korupsi yang menjerat ketua BPK terjadi pada 2014 saat Ketua BPK Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, penetapan tersangka itu dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan praperadilan. KPK kemudian mengajukan upaya hukum lanjutan, tetapi tetap kalah.
Kasus lainnya, pada 2011, anggota aktif BPK, Tengku Muhammad Nurlif, ditahan KPK terkait kasus travel cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Kinerja BPK terganggu. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Nurlif baru dapat diberhentikan jika statusnya sudah menjadi terpidana dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap. Padahal, pengambilan keputusan BPK berdasarkan sistem kolektif kolegial.
Ketidakhadiran salah satu anggota BPK akan mengganggu pengambilan keputusan tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan khusus, terutama pada mekanisme pergantian antarwaktu anggota BPK. Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 13/PUU-XII/2013 kemudian membatalkan sejumlah pasal dalam UU BPK yang mengatur tentang pengisian jabatan, khususnya pergantian antarwaktu anggota BPK. Sejumlah pasal yang dibatalkan itu membuat norma baru mengenai pemilihan anggota BPK saat ada anggota yang diberhentikan.
Ke depan, proses pemilihan anggota BPK oleh DPR harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat. Lembaga lainnya seperti KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pun harus dilibatkan dalam memberikan masukan dalam seleksi tersebut.
Selain itu, putusan MK juga berimplikasi pada masa jabatan anggota BPK yang menggantikan anggota BPK lama. MK juga menjamin kesinambungan kinerja lembaga BPK saat terjadi masalah hukum di tengah jalan. Pemilihan anggota BPK pengganti bisa dilakukan walaupun sisa masa jabatan anggota yang diganti kurang dari enam bulan dari masa jabatannya.
Dumaria berpendapat, ke depan, proses pemilihan anggota BPK oleh DPR harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat. Lembaga lainnya seperti KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus dilibatkan dalam memberikan masukan dalam seleksi tersebut. Dia juga menilai bahwa dibutuhkan panitia seleksi khusus sebelum calon terbaik diajukan kepada DPR. Seleksi anggota BPK ini seharusnya mencontoh proses seleksi pimpinan KPK.
Kriteria calon anggota
Selain itu, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK juga dinilai menutup peluang bagi kalangan internal seperti pejabat karier BPK untuk mengikuti seleksi anggota BPK. Sebab, dalam UU BPK, terdapat pasal yang mengatur bahwa calon anggota BPK harus berhenti sekurang-kurangnya dua tahun dari jabatan yang mengurus keuangan negara.
Ketentuan itu membuat mereka yang ingin mengikuti seleksi anggota BPK harus berhenti sekurang-kurangnya dua tahun sebelum seleksi dilakukan. Akhirnya, banyak kalangan internal BPK di daerah maupun pejabat karier lembaga keuangan negara yang akhirnya ditolak karena kriteria itu.
”Pasal itu sebenarnya niatnya baik agar tidak ada konflik kepentingan. Anggota BPK tidak boleh berkonflik kepentingan saat mengaudit keuangan di lembaga lama tempatnya bekerja. Namun, seharusnya tidak perlu diatur dalam pasal seperti itu. Bisa saja dibuat deklarasi agar audit di lembaga lama bukan dia yang melaksanakan, tetapi orang lain,” terang Zainal.
Syarat tersebut membuat rata-rata calon yang mengikuti seleksi anggota BPK berasal dari kalangan politikus. Jarang sekali seleksi anggota BPK diikuti pejabat karier cemerlang yang sudah berpengalaman di lembaga keuangan negara.
Menurut Zainal, syarat tersebut membuat rata-rata calon yang mengikuti seleksi anggota BPK berasal dari kalangan politikus. Jarang sekali seleksi anggota BPK diikuti pejabat karier cemerlang yang sudah berpengalaman di lembaga keuangan negara.
”Kecurigaan publik bahwa ada geliat politisasi yang bermain dalam hasil audit keuangan negara itu sangat mungkin. Sebab, proses seleksi dikuasai oleh DPR dan faktanya anggota BPK hampir selalu dari partai politik,” kata Zainal.
Dengan mengubah dua hal, yaitu proses seleksi dan merevisi UU BPK, menurut Zainal, setidaknya kemungkinan politisasi di tubuh BPK dapat diminimalkan. Dia menyebut cukup berat menghapus politisasi seleksi anggota BPK karena keputusan akhir ada di lembaga politik, yaitu DPR. Namun, paling tidak dengan memperbaiki mekanisme dan aturan seleksi, potensi politisasi BPK dapat dikurangi.
Jika proses seleksi dilakukan dengan metode yang benar, kemungkinan tata kelola organisasi di lembaga auditor negara itu dapat diperbaiki. Organisasi BPK dapat dijauhkan dari praktik penguasaan partai politik sehingga dapat menjadi lembaga negara yang lebih independen, berintegritas, dan profesional.
Dumaria juga menyimpulkan bahwa melihat kondisi dan perkembangan aturan BPK, aturan UU No 15/2006 memang sudah saatnya direvisi. Perubahan undang-undang tersebut sangat penting dan mendesak agar BPK lebih bebas dan mandiri. Ke depan, dia berharap anggota BPK dapat menjalankan tugasnya dengan lebih independen dan jauh dari kepentingan politik praktis.
Baca juga : BPK Temukan Kejahatan Korporasi pada Pengelolaan Jiwasraya