Bangun Koherensi Sistem Politik dalam RUU Pemilu
RUU Pemilu yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mampu membangun koherensi sistem politik. Menilik pada UU Pemilu sebelumnya, sejumlah aturan belum menggambarkan koherensi sistem politik.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pemilu yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan mampu membangun koherensi sistem politik. Menilik pada UU Pemilu sebelumnya, sejumlah aturan belum menggambarkan koherensi sistem politik yang diharapkan tersebut.
Empat pakar kepemiluan menyampaikan masukkannya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi II DPR, di Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Empat pakar itu adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso, dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Kacung Marijan. Rapat dipimpin oleh Ketua Panitia Kerja Perumusan Draf RUU Pemilu Arif Wibowo.
Kacung mengatakan, berangkat dari usulan ambang batas pencalonan presiden, sebenarnya ada basis rasional yang harus diingat. Ambang batas itu untuk mencegah presiden menjadi minoritas yang berkuasa. Artinya, ia harus diupayakan untuk didukung oleh mayoritas parlemen. Dengan tujuan itu, ambang batas dalam syarat raihan kursi parlemen ditetapkan.
Baca juga: Urgensi Keberimbangan Ambang Batas Pilpres
”Hanya saja, ada logika yang bisa tidak nyambung dalam aturan pemilu sebelumnya. Sebab, RUU Pemilu mengatur penyelenggaraan pilpres (pemilu presiden) dan pileg (pemilu legislatif) dibarengkan atau digabung sehingga penetapan ambang batas ini menjadi kehilangan makna. Jika memang maunya ada ambang batas, sebaiknya pemilu itu dipisah, yakni antara pileg dan pilpres. Pileg diselenggarakan terlebih dulu baru pilpres,” tuturnya.
Namun, pilihan untuk tidak menyelenggarakan kedua jenis pemilu secara berbarengan itu akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karenanya, harus dipikirkan juga oleh pembuat UU, bagaimana agar RUU Pemilu yang dihasilkan itu tetap bermakna walau ada syarat keserentakan. Pilihan untuk meniadakan ambang batas presiden bisa juga diambil oleh pembentuk UU, tetapi hal itu juga berisiko menciptakan presiden yang tidak didukung oleh mayoritas parlemen. Kondisi ini juga menimbulkan gangguan bagi sistem presidensial.
Jika tujuan utamanya ialah menguatkan sistem presidensial, menurut Kacung, upaya untuk terus mengatur ambang batas itu boleh saja dilakukan. Hanya saja harus dipikirkan bagaimana agar ambang batas tersebut tidak bertentangan dengan pengaturan yang lain. Termasuk dengan tidak mendasarkan ambang batas presiden itu pada raihan hasil pemilu sebelumnya.
Baca juga: Sejumlah Aturan di RUU Pemilu Berpotensi Langgar Konstitusi
”Argumentasi ini agak aneh karena relasi eksekutif-legislatif itu adalah terkait dengan hasil pemilu sebelumnya. Padahal, harusnya terkait dengan masa jabatan atau hasil pemilu yang sama. Ambang batas di sini lalu tidak lebih dari sebagai persyaratan administratif belaka, bukan untuk membangun relasi eksekutif dan legislatif yang baik dan stabil,” ucap Kacung.
Terkait dengan ambang batas perolehan suara untuk penghitungan kursi di parlemen (parliamentary threshold), menurut Kacung, dapat saja diatur dengan tujuan menyederhanakan sistem kepartaian.
Akan tetapi, menyederhanakan sistem kepartaian yang berlebihan, misalnya, menjadi dua atau tiga partai juga tidak mencerminkan realitas pluralitas politik dan keterwakilan di Indonesia. Pilihan besaran ambang batas parlemen karena itu menjadi penting.
”Besaran parliamentary threshold 5 persen bisa menjadi titik tengah untuk mengatasi pandangan kontras antara sistem kepartaian sederhana dan sistem kepartaian ekstrem,” ujarnya.
Sementara itu, Titi Anggraini dalam paparannya antara lain mengusulkan pengaturan pembentukan daerah pemilihan (dapil) yang lebih detail dan diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
RUU Pemilu sebaiknya memasukan prinsip-prinsip universal dari alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan,seperti kesatuan wilayah, kesetaraan populasi, kesamaan kepentingan atau komunitas, menjaga keutuhan wilayah intergeralitas, dan kekompakan daerah pemilihan.
Selain itu, RUU Pemilu diharapkan menegaskan agar sumber data penduduk yang dijadikan rujukan dalam mengatur alokasi kursi dan pembentukan dapil adalah sensus penduduk. Dengan demikian, peninjauan ulang terhadap alokasi kursi dan daerah pemilihan disamakan dengan siklus sensus penduduk, yakni sepuluh tahun sekali.
Titi juga mengingatkan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan, yakni dengan memastikan perempuan masuk dalam nomor urut tertinggi dalam pencalonan di setiap dapil oleh partai politik (parpol).
”Selain itu, arah RUU Pemilu juga seharusnya memperkuat efektivitas sistem presidensial, juga mendorong efektivitas pemerintahan daerah. Sejalan dengan konstruksi Putusan MK No.55/PUU-XVII/2019,” katanya.
Demokrasi Indonesia
Adapun Siti Zuhro mengatakan, demokrasi Indonesia masih terjebak pada demokrasi prosedural, belum demokrasi susbtantif dan deliberatif. Padahal, demokrasi deliberatif ini praktiknya telah berlangsung semenjak masa prakemerdekaan di Nusantara, serta ditemukan dalam praktik politik dan budaya lokal di daerah-daerah.
Persoalannya, demokrasi deliberatif yang mengandalkan komunikasi dan dialog terus-menerus itu berlangsung dalam kesetaraan ekonomi dan politik. Namun, realitasnya saat ini Indonesia justru menunjukkan adanya ketiadaan kesetaraan ekonomi dan politik.
”Monopoli praktik ekonomi dan politiklah yang menghalangi kesetaraan dan partisipasi warga negara secara substantif dalam demokrasi,” katanya.
Baca juga: Desain Pemilu Dirumuskan
Apabila dilihat dari ukuran demokrasi substantif-berkualitas, yang antara lain ditandai dengan tidak adanya diskriminasi bagi pemilih dan tidak adanya partisipasi semu akibat mobilisasi dan vote buying (pemberian suara), demokrasi di Indonesia belum memenuhi keduanya. Dalam realitasnya, kedua hal itu, yakni diskriminasi bagi pemilih dan pembelian suara, justru terjadi pada saat pemilu. RUU Pemilu, menurut Siti, harus mengupayakan bagaimana demokrasi substantif itu dapat diwujudkan.
Sementara itu, Topo Santoso meminta agar keadilan elektoral menjadi salah satu fokus pembuat UU. Salah satu yang perlu jadi perhatian, penyelenggara pemilu dalam UU sebelumnya yang paling banyak diancam dengan pidana. Padahal, jika belajar di negara-negara lain, penyelenggara pemilu adalah pihak yang harus dilindungi.