Di usianya yang hampir 66 tahun, Asvi Warman Adam masih terus bersuara sebagai pelurus sejarah. Ia memilih jalan senyap untuk konsisten meluruskan sejarah, sekaligus menjadikan sejarah sebagai alat pembebasan.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Lebih dari dua dekade, Asvi Warman Adam konsisten menapaki jalan ”pelurusan” sejarah Indonesia. Jalan yang kadang sepi, sunyi, tetapi juga bisa gaduh. Teror tak menyurutkan langkah profesor riset bidang sejarah politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini berkarya. Sebab, ia meyakini jalan keilmuannya, yakni sejarah, sebagai alat pembebasan kesalahan kolektif di masa lalu.
Rak-rak berisi buku seakan mengisi setiap sudut ruang keluarga di rumah Asvi di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Setiap rak memiliki klasifikasi. Ada rak yang berisi buku-buku tentang Soekarno, Tionghoa, literatur berbahasa Inggris, literatur Perancis, hingga buku-buku soal peristiwa 1965.
Asvi piawai bercerita sejarah, khususnya sejarah kontemporer. Apa pun pertanyaan yang diajukan dijawab Asvi dengan detail dan penuh keyakinan atas dasar buku dan penelitian yang pernah dilakukan.
”Saya senang cerita, he-he-he,” ucap Asvi dalam perbincangan di rumahnya, pertengahan Juni 2020.
Atas dasar itu, dia memberi masukan bahwa sejarah menjadi sangat menyenangkan jika narasinya memiliki unsur detektif. ”Lho, kenapa, kok, begini? Itu yang menarik. Ada unsur penceritaan, ada unsur narasi-narasi yang tidak kaku. Sejarah pada hakikatnya adalah cerita. Sekarang bagaimana cerita itu menarik, sama seperti kita baca cerita detektif, sehingga kita mengikuti alurnya,” kata Asvi.
Bagi Asvi, menulis sejarah seperti melawan lupa. Pertama, lupa dengan sejarah sendiri. Kedua, juga pada pelupaan.
Dalam arsip Kompas tahun 1980-2020 ada 168 entri tulisan dengan nama penulis Asvi Warman Adam, mulai dari surat pembaca, artikel opini, hingga tinjauan pustaka. Sebagian besar artikel opini yang ditulis Asvi berkaitan dengan konflik, hak asasi manusia dalam jejak sejarah kontemporer. Benang merah dari tulisan Asvi adalah mencoba meluruskan fragmen-fragmen tertentu sejarah. Peristiwa 1965 dan pembunuhan massal yang mengikutinya termasuk isu yang kerap dibahasnya.
Penguasaan terhadap masa lalu dapat membantu mengontrol masa sekarang. Ada dua cara pengendalian sejarah, yaitu dengan penambahan unsur tertentu di sejarah dan kebisuan sejarah.
Pada tulisan ”Mengendalikan Sejarah” yang dimuat 15 November 1997, Asvi mengingatkan, penguasaan terhadap masa lalu dapat membantu mengontrol masa sekarang. Ada dua cara pengendalian sejarah, yaitu dengan penambahan unsur tertentu di sejarah dan kebisuan sejarah.
Sementara dalam tulisan ”Pengendalian Sejarah demi Kekuasaan” yang dimuat 1 Januari 2000, Asvi menyampaikan, strategi pengendalian sejarah pada masa awal Orde Baru mencakup dua hal, yakni mereduksi peran Soekarno dan membesar-besarkan jasa Soeharto.
Asvi mengatakan, untuk konsisten meluruskan sejarah, diperlukan sikap tenang. Ia mengaku tak pernah marah dan tak pernah memaki orang ketika menemukan ada fakta sejarah yang keliru. Sebab, arogansi akan memunculkan resistensi. Padahal, kritik bisa disampaikan secara santun, sedikit gurauan yang akan membuat orang berefleksi.
Namun, pelurusan sejarah juga bisa berujung teror. Asvi pernah diteror melalui telepon dan pesan singkat. Ia juga pernah menerima ancaman pembunuhan. Namun, bagi Asvi, hal itu tak akan menyurutkan semangatnya. Baginya, sejarah harus menjadi alat pembebasan kesalahan kolektif di masa lalu, bukan malah dijadikan legitimasi memukul atau mendiskriminasi kelompok tertentu.
Kejayaan dan trauma
Memori kolektif yang memperkuat konflik memiliki beberapa karakter, yaitu mengaitkan penghinaan, kebencian, dan kemarahan kepada kelompok luar, mempertahankan atau menghidupkan kembali peristiwa traumatis masa lalu di masa kini yang didasarkan pada trauma yang dipilih (chosen trauma). Di sisi lain, juga ada memori kolektif tentang kejayaan (chosen glory), yakni sesuatu hal yang ideal di masa lalu (The Encyclopedia of Peace Psychology, 2012).
Terkait hal itu, menurut Asvi, untuk menimbulkan harapan, masyarakat perlu mengingat kejayaan masa lalu, kebesaran Sriwijaya dan Majapahit. Selain itu, pencapaian masa lampau pada zaman modern. Indonesia, misalnya, sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika yang menjadi inspirasi kemerdekaan banyak negara.
Presiden Soekarno juga berpidato di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1960 menawarkan Pancasila. Indonesia juga pernah bangkit setelah peristiwa dahsyat seperti krisis moneter 1997/1998.
Di sisi lain, Indonesia juga pernah mengalami revolusi sosial setelah 1945 selain revolusi fisik. ”Kita mengalami tragedi berdarah tahun 1965/1966 dengan korban setengah juta jiwa dan menimbulkan trauma mendalam. Penguasa memberi stigma kepada korban 65 dan keluarganya. Saya percaya akan ada jalan keluar dari persoalan HAM masa lalu ini,” tutur Asvi.
Asvi menjelaskan bahwa dirinya terus menulis pelurusan sejarah 1965 berdasarkan riset dan kajian ilmiah dengan harapan ada perbaikan pemahaman masyarakat.
”Pembunuhan massal 1965 memang sulit diselesaikan karena banyak yang terlibat. Tetapi, sebenarnya ada yang mudah dan bisa diselesaikan dengan kebijakan negara. Korban hanya butuh pernyataan bahwa itu terjadi di masa lalu sebagai kekeliruan dan pengakuan itu kesalahan masa lalu oleh negara,” kata Asvi yang pernah jadi saksi ahli pengadilan rakyat peristiwa 1965 di Den Haag, Belanda.
Menurut Asvi, orang-orang yang dulu menjadi korban bisa direhabilitasi nama baiknya agar stigma menjauh dari keluarga dan anak cucunya. Upaya rekonsiliasi mandiri dari masyarakat soal peristiwa 1965, ujar Asvi, sudah ada. Namun, hal ini cenderung dimentahkan. Menurut dia, hal itu karena ada kepentingan politik praktis. Di era Orde Baru, misalnya, isu PKI dipakai untuk melabeli orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Proses kritis
Perhatian Asvi terhadap sejarah kontemporer tidak begitu saja muncul. Asvi yang sempat menjabat redaktur pelaksana majalah Sportif (1982-1983) banting setir menjadi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 1983. Setelah itu, ia kuliah di Perancis tahun 1984. Selama enam tahun belajar di Perancis, Asvi aktif mendalami tentang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Pada 1990, ia kembali lagi ke LIPI dan meneliti tentang hubungan Indo-China dengan ASEAN sampai 1998.
Pengalaman belajar di Perancis ikut membentuk cara Asvi menguliti sejarah. Ia aktif dalam kegiatan penelitian sejarah dengan pendekatan nouvelle histoire (sumber baru, metode baru, dan perspektif baru) yang dikembangkan sejarawan Perancis, Fernand Braudel.
Tahun 1998, ketika pergantian rezim, Asvi memulai pergulatan bidang sejarah keindonesiaan dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Saat itu ia menjabat ketua bidang pendidikan. Tiba-tiba Asvi diminta berceramah di depan korban 1965, di bawah Yayasan Kasut Perdamaian. ”Saya selama ini belum belajar. Jadi, apa yang saya sampaikan itu fresh from the oven. Malamnya saya baca bukunya, paginya disampaikan,” kenang Asvi.
Pertemuan dengan peserta ceramah itu mulai membuat Asvi mendalami kasus 1965. Asvi menyadari, yang intensif dilakukan pada masa itu adalah sejarah lisan karena data sangat minim, bahkan relatif tak ada. Jadi, penelitian dilakukan dengan wawancara. Dia berhati-hati agar tidak terjebak sejarah lisan yang memberi seseorang kesempatan kedua; melebihkan peranan atau menghilangkan kesalahannya.
”Jadi, saya selalu membaca memoar mereka dengan sikap kritis seperti itu,” ucap Asvi.
Kini, di usianya yang hampir 66 tahun, Asvi masih terus bersuara sebagai pelurus sejarah. Ia memilih jalan senyap untuk konsisten meluruskan sejarah.