Era Baru Pemerintahan ”Dilan”
Setahun silam, Presiden Joko Widodo menggunakan istilah ”Dilan” untuk merepresentasikan gagasannya soal model pemerintahan yang hendak diwujudkan jika kembali terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2019.
Setahun silam, Presiden Joko Widodo menggunakan istilah ”Dilan” untuk merepresentasikan gagasannya soal model pemerintahan yang hendak diwujudkan jika kembali terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2019. Pandemi Covid-19 membuat percepatan ”Dilan” di pemerintahan menjadi keniscayaan.
Dilan yang dimaksud bukan sosok dari film Dilan 1991, melainkan model pemerintahan berbasis digital. ”Pada bidang pemerintahan, ke depannya diperlukan pemerintahan Dilan, Digital Melayani,” kata Jokowi saat debat Pemilihan Presiden 2019 pada 30 Maret 2019.
Saat itu Jokowi, dalam kapasitas sebagai calon presiden petahana, merujuk pada program mempercepat Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang ada di poin delapan dokumen visi, misi, dan programnya. Di dokumen itu disebutkan program percepatan penerapan e-planning, e-budgeting, e-procurement, dan e-reporting. Selain itu, mempercepat koordinasi pengembangan e-government terintegrasi dan penyatuan data seluruh instansi pemerintah. Dengan kata lain, transformasi digital dalam tata kelola ataupun pelayanan pemerintahan.
Kebutuhan akan pelayanan digital menjadi amat terasa saat pandemi Covid-19. Pada Maret 2020, pemerintah mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Dampaknya, pelayanan pemerintahan, seperti layanan administrasi kependudukan dan perizinan, di banyak daerah terhenti.
Sejumlah daerah yang siap dengan pelayanan daring serta memiliki infrastruktur internet yang baik lalu memindahkan pelayanan fisik ke ruang daring. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta, misalnya, pada pertengahan Maret menutup 316 titik pelayanan. Namun, dinas memberikan pelayanan terpadu secara daring.
Kota Semarang (Jateng) serta Kota Surabaya dan Kabupaten Banyuwangi (Jatim) juga menjadi bagian dari daerah yang memanfaatkan teknologi untuk tetap memberikan pelayanan kependudukan selama pandemi.
Di Banyuwangi, pelayanan administrasi kependudukan dilakukan melalui aplikasi pesan Whatsapp dan laman daring. Berkas persyaratan mengurus dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, akta kematian, dan akta perkawinan, difoto kemudian dikirim melalui Whatsapp. Untuk verifikasi identitas, pemohon diminta berswafoto dengan kartu identitas. Setelah dokumen jadi, pemohon akan dihubungi.
Namun, belum semua pemda siap. Misalnya, terkait perizinan, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, 217 kabupaten/kota dan 13 provinsi belum mengimplementasikan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Kompas, 23/4/2020).
Pelayanan proaktif
Pandemi Covid-19 diyakini akan mendorong pemerintah di berbagai belahan dunia untuk lebih cepat memindahkan basis data ataupun pelayanan pemerintahan secara daring.
”Sekarang makin banyak pemerintah memahami dalam situasi krisis, pelayanan secara fisik tidak memungkinkan. Pelayanan digital akan menggantikannya, bukan sementara, melainkan seterusnya,” tutur Direktur Pengembangan, E-Governance Academy, Estonia, Hannes Astok kepada Kompas, Kamis (18/6/2020).
Hannes sempat menjadi Wakil Wali Kota Tartu, kota terbesar kedua di Estonia, anggota parlemen nasional Estonia, dan kemudian penasihat Presiden Estonia untuk urusan pengembangan masyarakat informasi.
Estonia adalah salah satu negara di Eropa yang menjadi rujukan dalam pemerintahan daring. Sekitar 98 persen penduduknya memiliki kartu identitas yang menyediakan akses digital bagi pelayanan daring yang aman.
Menurut Hannes, pelayanan pemerintah di masa mendatang akan ditandai empat karakteristik, yakni simplifikasi pelayanan, proaktif, berlangsung 24 jam sehari selama tujuh hari sepekan, dan intuitif.
Data besar (big data) dan lalu lintas informasi antarinstansi pemerintah akan memungkinkan pemerintah proaktif menawarkan pelayanan sebelum warga bertanya. Dia mencontohkan, di Estonia, anak-anak usia tujuh tahun sudah wajib sekolah.
”Pemerintah bisa tahu dari catatan registrasi kependudukan bahwa di keluarga tertentu ada anak yang tahun ini harus masuk sekolah. Maka, jauh hari sebelumnya, pemerintah bisa mengirim paket informasi ke para orangtua itu tentang prosedur pendaftaran sekolah, kemudian di sekitar tempat tinggalnya ada sekolah apa saja. Bahkan, dilengkapi tautan digital mendaftar sekolah,” katanya. Ia menambahkan, informasi ini disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami.
Selain itu, dengan pertukaran data lintas instansi yang baik, warga tak perlu berulang-ulang mengisi semua data daring yang sama untuk keperluan berbeda. Mereka tinggal menambahkan atau mengonfirmasi data. Masyarakat akan bisa mengakses pelayanan semudah memotret dan mengirim foto menggunakan telepon pintar.
Dengan model pelayanan pemerintahan masa depan, kehadiran masyarakat di kantor pemerintahan bisa amat minimal karena pelayanan daring pemerintah berbasis swalayan (self-service). Hal ini bisa menghemat waktu dan biaya serta menekan korupsi kecil-kecilan (petty corruption).
”Petugas jadi tidak bisa meminta sesuatu untuk mempercepat atau memperlambat pelayanan. Sebab, mesin akan langsung memproses permintaan pelayanan,” katanya.
Di Indonesia, pemerintahan berbasis daring bukan sesuatu yang baru. Konsep e-government sudah digagas sejak dua dekade lalu. Itu ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 2000 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia. Konsep itu dilanjutkan dengan Inpres No 6/2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia serta Inpres No 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government.
Namun, jalan Indonesia menuju pemerintahan digital yang ideal masih panjang. International Digital Government Rankings dari Institute of Digital Government Universitas Waseda-International Academy of CIO mengindikasikan hal itu. Pada laporan tahun 2018, Indonesia berada di posisi ke-33 dari 65 negara yang dikaji. Peringkat itu disusun dari 10 indikator, di antaranya infrastruktur, efisiensi, partisipasi digital, inklusivitas digital, keamanan siber, dan promosi pemerintahan digital.
Tantangan ”Dilan”
Di Indonesia, ada beberapa hal yang mengganjal akselerasi pemerintahan ”Dilan” yang didorong Presiden Jokowi.
Ada tantangan dalam aspek digital, seperti kesenjangan infrastruktur dan pengetahuan antarkelompok masyarakat dan antarwilayah serta masalah keamanan digital. Satu data pemerintah dan penggunaan nomor identitas tunggal untuk semua keperluan juga masih jadi tantangan untuk diwujudkan.
Kesenjangan infrastruktur, misalnya, terjadi di Kota Jayapura, Papua. ”Di kota saja, sistem pelayanan internet belum optimal, apalagi di pedalaman. Listrik dan internet belum terpasang. Jadi, (konsep e-government) masih jauh dari harapan,” ujar Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano.
Sementara dari sisi analog, ada persoalan ego sektoral instansi. Juga ada tantangan kesadaran warga untuk melaporkan perubahan data kependudukan. Selain itu, belum terbentuk kepemimpinan berorientasi digital di semua tingkat pemerintahan.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menuturkan, Indonesia sebenarnya telah mempersiapkan lompatan besar menuju e-government dengan adanya basis data kependudukan yang mencapai 267,2 juta. Setiap penduduk terekam dengan satu sistem nomor induk kependudukan (NIK).
Namun, Zudan mengakui, basis data itu belum sepenuhnya sempurna karena masih ada potensi data ganda. Sebab, disiplin warga sangat rendah untuk merekam ulang ketika pindah tempat tinggal. Zudan berharap, dalam upaya integrasi dan pembersihan data, nomor induk siswa dapat diganti menjadi NIK. ”Cukup satu nomor. Jika menggunakan NIK sejak sekolah, banyak masalah bisa diselesaikan, sampai nanti ke data pemilih pemilu,” katanya.
Belajar dari dampak pandemi Covid-19, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menuturkan, pembenahan tata kelola data terpadu secara nasional dibutuhkan untuk menghilangkan ego sektoral. Apalagi, pada penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), satu data amat dibutuhkan.
Untuk mewujudkan hal itu, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia Eko Prasodjo berharap Presiden segera menunjuk integrator data agar perdebatan masalah data tak terjadi lagi. Dengan begitu, seluruh pelayanan kelak merujuk pada satu data itu, meliputi pelayanan kesehatan, pendidikan, perhubungan, pariwisata, perdagangan, dan industri.
Terkait hal itu, pakar teknologi informasi Onno W Purbo menekankan, kebijakan integrasi data mesti dibuat oleh kepemimpinan yang melek teknologi dan memiliki pola pikir jejaring antarinstansi. Selain itu, juga dibutuhkan kepemimpinan untuk mendorong penguatan keamanan siber agar data pribadi terlindungi.
Dengan kata lain, kepemimpinan bisa menjadi faktor penting mengurai persoalan dari aspek digital dan analog. Seperti disampaikan Hennes Astok, ”Banyak ’keajaiban’ bisa diwujudkan dengan uang dan teknologi dalam skala kecil, tapi ada kepemimpinan dan visi.”