Hukum Dituntut Mampu Mengikuti Perkembangan Ruang Siber
Media digital harus tetap menjadi sebuah medium; alat untuk mencapai kebaikan bersama. Untuk itu pengguna media digital, termasuk media sosial, harus memiliki motivasi baik, benar, dan atas dasar kepentingan bersama.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Secara global, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan dunia digital dan siber belum berdiri pada fondasi yang kokoh. Persoalan ini kian kompleks di Indonesia karena masyarakatnya belum dilindungi undang-undang yang elementer tetapi penting, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, Hari Purwadi, Jumat (26/6/2020), mengatakan, hukum yang berlaku di dunia nyata atau terestrial tidak serta-merta dapat diterapkan pada dunia siber.
Kendati banyak aktivitas yang sama, banyak hal yang bisa dibedakan antara ruang siber dan ruang terestrial. Di banyak negara, juga tidak ada definisi hukum standar terhadap tindak kejahatan daring (dalam jaringan/online).
”Di sinilah hukum menghadapi persoalan. Hukum internasional juga menghadapi persoalan aktivitas di cyberspace,” kata Hari dalam webinar Bincang Kompas bertajuk ”Penegakan Hukum Kejahatan Digital” yang diselenggarakan oleh Kompas Biro Jawa Timur dan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya. Diskusi ini dimoderatori oleh wartawan Kompas, Ambrosius Harto.
Salah satu penyebab munculnya persoalan hukum pada ruang siber ini, menurut Hari, adalah cakupan global ruang siber tidak dibatasi wilayah negara bangsa (nation state).
Ia mencontohkan, kondisi inilah yang membuat adanya penjajakan kerja sama antara Uni Eropa dan Amerika Serikat terkait cross-border access to electronic evidence atau pemanfaatan bukti elektronik lintas negara.
”Di dunia internasional saja masih dinegosiasikan. Apalagi di Indonesia,” kata Hari.
Menurut Hari, perubahan paradigma terkait produksi dan distribusi serta reproduksi konten budaya digital oleh generasi muda di masa ini juga telah melampaui batasan-batasan yang ditentukan oleh undang-undang hak cipta.
”Hal ini menunjukkan norma hukum telah gagal menggambarkan realitas sebagaimana yang dirasakan,” ujar Hari.
Pandangan senada disampaikan pengajar Fakultas Hukum Untag, Otto Yudianto. Menurut dia, dengan perubahan teknologi yang sangat cepat terjadi, sudah seharusnya hukum pidana Indonesia ikut beradaptasi dengan perkembangan kejahatan siber.
”Hukum pidana memang harus berkembang sesuai dengan apa yang terjadi di dunia,” kata Otto.
Ia menambahkan, segala perkembangan ini sebaiknya tidak dibebankan ke Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjadi satu-satunya peraturan yang terkait penegakan hukum pidana di ranah siber. Terlebih lagi undang-undang itu hanya mengatur 13 tindak pidana.
Menurut Otto, regulasi lain yang harus segera dimunculkan adalah Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Undang-undang tersebut akan menjadi back-up berbagai ketentuan yang terkait dengan kejahatan siber.
”Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ini urgen. Sampai sekarang belum muncul. Padahal, itu adalah amanat konstitusi. UUD 1945 menyatakan adanya perlindungan data pribadi,” tegas Otto.
Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi masih dibahas di DPR sejak masuk dalam Program Legislasi Nasional pada 2019.
Dengan begitu kompleksnya persoalan ini, Guru Besar Etika Moral Universitas Widya Dharma, Pontianak, William Chang menilai moral dan etika masyarakat dalam penggunaan media digital harus lebih ditingkatkan.
Menurut dia, media digital harus tetap menjadi sebuah medium; alat untuk mencapai kebaikan bersama. Untuk itu, pengguna media digital, termasuk media sosial, harus memiliki motivasi yang baik, benar, dan atas dasar kepentingan bersama.
”Media digital ini menjadi medium saja, bukan menjadi tujuan. Ini yang harus kita pegang. Dalam menggunakan media digital, perlu kerja sama antara akal budi dan hati nurani,” kata William.
Etika jurnalistik dan media sosial
Salah satu penggunaan media sosial yang berbahaya, menurut Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto, adalah pembangunan narasi berbasis hoaks dengan tujuan keuntungan politis.
Mengutip data lembaga riset dan advokasi demokrasi Freedom House, Tri menunjukkan bahwa manipulasi daring dan disinformasi memiliki peran penting dalam kontes pemilu setidaknya di 18 negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
”Pada 2019, Polri mencatat setidaknya ada 1.005 unggahan terkait pemilu yang bertujuan untuk memengaruhi faktor keterpilihan kandidat. Terutama di sini adalah berita-berita bohong,” kata Tri.
Ketua Departemen Advokasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Nuruddin Lazuardi juga mengakui media siber saat ini memiliki sejumlah persoalan, mulai dari judul sensasional dan clickbait hingga plagiarisme dari media lain.
Hal ini terjadi karena tuntutan model bisnis yang mengutamakan kecepatan dan kuantitas, ditambah faktor rendahnya jumlah wartawan yang tersertifikasi. Nuruddin meyakinkan bahwa sekitar 300 media siber yang berada di bawah naungan AMSI akan terus memperbaiki diri.
Namun, ia juga meminta masyarakat tetap memberikan kepercayaan kepada media siber di tengah situasi platform media sosial yang dikepung oleh para pendengung atau buzzer.
”Konten yang mereka share itu bisa jadi propaganda dan lebih banyak hoaksnya, apalagi di masa pemilu kemarin,” kata Nuruddin.