Moderasi keberagamaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sikap dan praktik keberagamaan dari setiap agama di Tanah Air.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Moderasi keberagamaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sikap dan praktik keberagamaan dari setiap agama di Tanah Air. Karakter itulah yang selama ini menjaga bangsa tidak terpecah-belah, dan mengilhami nuansa kehidupan bernegara dan berbangsa yang penuh kerukunan.
Dalam diskusi daring bertema ”Moderasi Beragama dalam Tradisi Agama-agama di Indonesia”, di Jakarta, Jumat (26/6/2020), tradisi moderasi itu dikemukakan oleh para narasumber, yakni Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat, Rektor Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon Agusthina Christina Kakiay, Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar I Gusti Ngurah Sudiana, dan tokoh muda Konghucu Kris Tan, serta dipandu oleh moderator Jamhari Makruf.
Komaruddin mengatakan, Islam di Indonesia memiliki watak moderasi yang kuat. Sebagaimana agama-agama lain, Islam juga agama pendatang di Indonesia. Karena menyadari kedudukannya itulah, Islam tahu diri, dan turut memperkaya budaya Indonesia. Ia, antara lain, mencontohkan sikap toleran umat Islam yang menjaga Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
”Hal itu menunjukkan moderasi, yakni salah satunya kemampuan menyeimbangkan elemen keyakinan dan elemen budaya. Ini merupakan salah satu bentuk kedewasaan umat Islam di Indonesia,” katanya.
Dengan modal sikap moderasi itulah, menurut Komaruddin, umat agama apa pun perlu untuk menjaga kerukunan. Umat beragama harus mampu membedakan mana elemen keyakinan, elemen budaya, dan mana politik yang mempermainkan agama.
”Kesadaran itulah yang harus dikembangkan. Ini rumah bersama untuk mengembangkan kekayaan pluralitas di dalam Bhinneka Tunggal Ika. Kalau terbakar, kita yang rugi,” ujarnya.
I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, tradisi moderasi itu juga ditemui di Bali, yang sebagian besar warganya menganut agama Hindu. Di sejumlah daerah, misalnya, terjadi peleburan budaya antarpenganut agama, yang menyuburkan hubungan baik di antara mereka.
”Di Buleleng, misalnya, sekalipun keluarganya Muslim, mereka tidak berani mengubah nama Made, Wayan, dan Ketut. Jadi, muncullah nama anak dari keluarga Muslim itu Made Amir, dan nama-nama Muslim yang dipadupadankan dengan nama Bali,” katanya.
Demikian halnya dengan fenomena di Karangasem, Bali. Menurut Sudiana, jika ada keluarga Hindu yang meninggal, keluarganya yang Muslim datang dengan membacakan tahlil. Hal itu pun diterima dengan baik, dan tidak menjadi sumber pertentangan di antara warga.
”Jadi, saya yang melihatnya nikmat sekali. Mereka tahlilan dengan membawa lengkap rebana. Ini yang meninggal lengkap doanya, dan lekas menyatu dengan Sang Pencipta, karena doanya dari kedua belah pihak,” ucapnya berkelakar.
Tradisi Kristen juga mengajarkan hal yang sama. Kerukunan menjadi salah satu pesan penting di dalam Injil. Agusthina Christina Kakiay mengatakan, Ambon pernah menjadi saksi betapa kekerasan yang dibumbui dengan konflik agama itu menjadi pelajaran berharga.
”Dengan adanya konflik itu, kami umat beragama semakin menyadari dan menghargai adanya perbedaan itu. Dalam praktik lain di Maluku, sudah terbiasa kalau ada Natal dan Idul Fitri itu saling menjaga gereja dan masjid. Kerukunan antarumat di Maluku telah teruji melalui lintasan sejarah pascakonflik,” kata Christina.
Kris Tan dari Khonghucu juga mencatat bagaimana Indonesia menjadi salah satu negara dengan perkembangan keyakinan Khonghucu yang baik. Anggapan bahwa orang keturunan Tionghoa yang mengikuti Khonghucu itu berasosiasi dengan negara China dalam perspektif yang peyoratif, dipandang sebagai kesimpulan yang keliru.
”Saya ini orang Indonesia. Saya produk hybrid karena kakek buyut saya dari Tiongkok, dan nenek buyut saya dari Sunda,” katanya.