Korupsi, dari Dulu hingga Kini
Sastra telah lama dipakai sebagai ”senjata” untuk menggambarkan dan melawan korupsi. Sekalipun bentuknya fiksi, praktik korupsi yang digambarkan diyakini sebagai kebenaran. Karena itu, korupsi harus dicegah jadi budaya.
Sejumlah karya sastra bertemakan korupsi sejak era penjajahan Belanda menunjukkan korupsi sudah lama ada dan masih lestari hingga kini. Mungkinkah korupsi diberantas?
Sastra telah lama digunakan sebagai ”senjata” untuk menggambarkan sekaligus upaya melawan korupsi. Sekalipun bentuknya fiksi, praktik korupsi yang digambarkan diyakini sebagai kebenaran pada masanya.
Tahun 1954, Pramoedya Ananta Toer menerbitkan novel berjudul Korupsi. Karya fiksi itu menceritakan praktik korupsi kecil-kecilan (petty corruption) yang dilakukan oleh seorang kepala kantor bernama Bakir. Dengan jabatannya sebagai pegawai negara, Bakir merasa sah-sah saja korupsi. Korupsi juga dijadikan sebagai jalan pintas memperbaiki ekonomi keluarga.
Baca Juga: Cegah Korupsi Jadi Budaya
Korupsi kecil-kecilan itu awalnya dia lakukan dengan menjual secara loakan alat tulis kantor, seperti kertas, pita mesin, potlot, karbon, setip, kertas stensil, dan lak stensil. Setelah memperoleh keuntungan, dia mulai mencoba korupsi yang lebih besar. Caranya, melobi pengusaha pemasok alat tulis kantor (ATK). Bakir melobi pengusaha itu untuk menggelembungkan harga ATK. Dari situ, dia akan mendapatkan komisi yang masuk ke kantong pribadinya.
"Korupsi kecil-kecilan itu awalnya dia lakukan dengan menjual secara loakan alat tulis kantor, seperti kertas, pita mesin, potlot, karbon, setip, kertas stensil, dan lak stensil. Setelah memperoleh keuntungan, dia mulai mencoba korupsi yang lebih besar. Caranya, melobi pengusaha pemasok alat tulis kantor (ATK). Bakir melobi pengusaha itu untuk menggelembungkan harga ATK. Dari situ, dia akan mendapatkan komisi yang masuk ke kantong pribadinya"
Sastrawan lain, Ahmad Tohari, merekam praktik korupsi pembangunan yang lazim dilakukan di masa Orde Baru melalui novel Orang-orang Proyek. Latar waktu novel itu menjelang Pemilu 1992.
Melalui novelnya itu, penulis asal Banyumas tersebut menceritakan tentang dilema moral seorang insinyur jujur bernama Kabul. Nurani Kabul terkoyak saat dia terlibat dalam proyek pembangunan jembatan di Desa Cibawor.
Dia dipaksa terlibat dalam permainan proyek untuk pendanaan Partai Golongan Lestari Menang. Modusnya, proyek untuk desa tertinggal tersebut diturunkan kualitas bangunannya.
Rahmat Djoko Pradopo dan Widowati dalam jurnal yang diterbitkan Program Studi Ilmu Sastra Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (2006) menyebutkan, novel karya Ahmad Tohari itu hendak mengkritisi praktik korupsi di era Orde Baru.
Novel tersebut secara khusus menggambarkan bahwa korupsi adalah kejahatan yang menyebabkan kesengsaraan wong cilik. Di novel itu juga digambarkan bahwa korupsi melibatkan tidak hanya pejabat, tetapi juga rakyat jelata. Mereka yang memiliki ambisi pribadi dan ingin melakukan jalan pintas untuk mencapai tujuannya disatukan dalam satu motif, yaitu korupsi.
Dalam jurnal itu juga disebutkan, jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi sastra, korupsi yang tergambar dalam novel itu secara tidak langsung adalah cerminan bangsa.
Di era Orde Baru, korupsi seolah dilegalkan tanpa adanya upaya pemberantasan yang sistematis. Kekuasaan absolut, warisan sistem feodal, dan patronase ikut menyuburkan korupsi. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan, tetapi juga lingkup kecil, seperti mandor proyek. Mereka sebenarnya sadar terhadap perilaku koruptif itu, tetapi digambarkan seolah tidak berdaya melawannya.
Cermin masyarakat
Pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Sunu Wasono, saat dihubungi Rabu (24/6/2020) mengatakan, karya sastra, misalnya novel, pada dasarnya merupakan tanggapan evaluatif terhadap realitas yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks itu, karya sastra merefleksikan sesuatu. Apa yang dilukiskan sastrawan dalam karyanya diharapkan menjadi cermin perilaku masyarakat.
Kritik sastrawan yang dituangkan melalui novel menjadi saksi dan mengingatkan pembacanya tentang buruknya keadaan. Keadaan tersebut dapat berupa rendahnya moralitas, buruknya sistem, lemahnya pengawasan dari otoritas, dan sebagainya.
”Kalau di dalam karya sastra dijumpai tema korupsi, misalnya, hal itu menjadi semacam isyarat bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan di masyarakat,” kata Sunu.
Selain Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari, sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, banyak sastrawan lain yang mengambil tema korupsi. Di antaranya Ramadhan KH dengan Ladang Perminus hingga karya yang lebih lawas yang terbit di era penjajahan Belanda, yaitu buku karangan Multatuli.
Ia sependapat dengan Sunu bahwa karya-karya sastra tersebut dilahirkan sebagai cerminan dari kegelisahan para penulis tentang masalah sosial yang ada di masyarakat.
Di era kekinian, tak sedikit pula penulis yang membuat karya sastra ataupun karya seni lain dengan isu korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW), kelompok masyarakat sipil yang selama ini fokus memerangi korupsi, juga kerap menjadikan karya seni sebagai medium menyampaikan pesan-pesan antikorupsi.
”ICW bertahun-tahun sudah menggunakan strategi menyosialisasikan pesan-pesan antikorupsi dengan karya seni pada generasi muda,” kata peneliti ICW, Donal Fariz.
Medium karya seni, menurutnya, menghadirkan kritik secara tegas tanpa bersifat menggurui. Terkadang, kritik dan pesan yang disampaikan melalui karya seni pun lebih efektif daripada narasi lain. Apalagi karya seni memberikan penghiburan melalui tokoh dan jalan ceritanya.
Komitmen
Tema korupsi yang terus diangkat melalui sastra sejak zaman penjajahan Belanda hingga kekinian, sekaligus menunjukkan kalau problem korupsi di Tanah Air tak kunjung teratasi. Bahkan modus korupsi kian canggih. Tak jarang untuk bisa korupsi, aturan diutak-atik oleh otoritas.
”Kalau di dalam karya sastra dijumpai tema korupsi, misalnya, hal itu menjadi semacam isyarat bahwa ada yang tidak beres dalam kehidupan di masyarakat”
"Untuk memerangi masalah laten itu adalah bagaimana sistem hukum kita dapat tegas memerangi budaya korupsi itu sendiri,” kata Bonnie.
Baca Juga: Tugas Generasi Muda Lawan Masifnya Budaya Korupsi
Namun realita yang terjadi saat ini, publik kian meragukan komitmen pemberantasan korupsi oleh pemerintah.Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020 lalu, menunjukkan penurunan tingkat keyakinan dan persepsi positif responden pada komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.
Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2019 untuk Indonesia pun masih rendah yaitu 40 dari skor maksimal 100. Untuk diketahui, kian tinggi nilai semakin dipersepsikan sebuah negara bebas dari korupsi. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke-85, (Kompas, 23 Juni 2020).
Berkaca pada hal itu, perjuangan memberantas korupsi sepertinya masih harus menempuh jalan yang panjang. Sastra ataupun karya seni lainnya, bisa jadi solusi menanamkan budaya antikorupsi pada masyarakat saat komitmen pemberantasan korupsi dari otoritas memudar.