Bahas Ulang Pasal Bermasalah di RKUHP dan RUU Pemasyarakatan
Masyarakat sipil meminta agar DPR dan pemerintah melibatkan publik untuk berpartisipasi dalam pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Hal itu penting dilakukan agar tidak ada penolakan meluas seperti sebelumnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan Dewan Perwakilan Rakyat kepada pemerintah untuk segera memulai kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan mendapatkan sejumlah catatan dari kalangan masyarakat sipil. Kedua RUU itu dipandang mengandung sejumlah pasal problematik sehingga pembahasannya kembali harus dilakukan secara lebih partisipatif dan berhati-hati terhadap isu-isu krusial.
Desakan DPR itu antara lain mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Senin (22/6/2020), di Jakarta. Rapat, antara lain, menyimpulkan untuk segera mengirimkan surat kepada pemerintah tentang kesiapan mereka membahas RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Dua RUU itu termasuk dari beberapa RUU yang ditolak publik untuk diteruskan pembahasannya, September 2019. Penolakan itu berujung pada demonstrasi besar-besaran yang sampai menimbulkan korban jiwa. Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan menunda pembahasan sejumlah RUU, termasuk RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, saat dihubungi, Kamis (25/6/2020) dari Jakarta, mengatakan, ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada prinsipnya tidak menolak pembahasan kembali RKUHP sepanjang draf RUU terakhir didalami dan pembahasannya partisipatif melibatkan publik.
”Tidak masalah pembahasan dilakukan kembali dengan catatan, yaitu membuka lagi diskusi ke masyarakat, menambah lintas pihak pembahas, bisa dengan penambahan ahli; tidak hanya ahli pidana, tetapi juga harus ada fokus di kesehatan, isu perempuan dan kelompok minoritas, ekonomi, kriminologi, sosiologi, pemasyarakatan, dan lain-lain,” papar Erasmus.
Sebaliknya, jika draf terakhir RUKHP yang ada saat ini tidak dibahas ulang dan langsung disahkan DPR, masyarakat sipil keberatan.
Jika draf terakhir RUKHP yang ada saat ini tidak dibahas ulang dan langsung disahkan DPR, masyarakat sipil keberatan.
Adapun sejumlah isu yang perlu dibahas kembali oleh DPR dan pemerintah, menurut ICJR, antara lain, adalah banyaknya penerapan atau ancaman pidana kepada hal-hal tertentu yang semestinya tidak perlu diatur di dalam KUHP, misalnya pidana gelandangan. Selain itu, ada sejumlah pasal yang dipandang berbahaya bagi kelompok rentan, serta pidana-pidana yang secara perumusan masih bermasalah, seperti hukuman mati dan pidana yang hidup dalam masyarakat, termasuk rumusan hukum adat.
”Kalau syarat atau catatan itu tidak bisa dipenuhi, baiknya didiskusikan dulu lagi di internal pemerintah, jangan dibahas dulu di DPR. Menteri (Menkumham) perlu memulai lagi dulu evaluasi terkait pemidanaan. Jangan nanti pusing karena penjara penuh, sedangkan menteri sendiri yang membikin penghuni penjara naik,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goey, mengatakan, tujuan penggantian atau revisi undang-undang adalah untuk mendorong perubahan sosial dan pembangunan negara. Oleh karenanya, pembahasan kembali RUU Pemasyarakatan sebaiknya juga mempertimbangkan perubahan sosial apa yang akan terjadi jika RUU tersebut disahkan. Misalnya, angka kejahatan dan residivis menurun serta mendorong masyarakat ikut dalam penurunan angka kejahatan.
”Harusnya hal itu yang menjadi pertimbangan. Supaya tidak kontroversial dan mengundang perdebatan, pembahasannya pun harus terbuka dan dilakukan pemetaan kembali untuk mencapai tujuan pembentukan dan perubahan sebuah UU,” katanya.
Supaya tidak kontroversial dan mengundang perdebatan, pembahasannya pun harus terbuka dan dilakukan pemetaan kembali untuk mencapai tujuan pembentukan dan perubahan sebuah UU.
Di dalam RUU Pemasyarakatan, misalnya, masih terdapat perdebatan tentang perlu tidaknya hak-hak pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan bandar narkoba yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 diatur kembali atau disamakan dengan napi pidana lainnya. Terkait hal ini, menurut Gatot, pelibatan masyarakat secara luas dan partisipatif harus dilakukan sehingga tidak lagi muncul penolakan terhadap substansi RUU.
”Kalau memang mau diatur kembali, harus ada pasal penjelasannya di dalam draf RUU Pas itu. Mana yang ingin diatur atau diubah di dalam PP No 99/2012 sehingga tidak timbul kecurigaan seolah-olah kalau RUU Pemasyarakatan ini disahkan, maka banyak koruptor bebas,” katanya.
Minta kejelasan
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, terkait dengan hasil rapat Komisi III DPR dengan Menkumham Yasonna H Laoly, pihaknya memang memerlukan kepastian atau kejelasan sikap dari pemerintah soal kelanjutan pembahasan dua RUU tersebut. DPR pun memutuskan mengirimkan surat kepada pemerintah untuk mengundang rapat pembahasan kedua RUU tersebut.
”DPR meminta pemerintah segera bersikap terkait dengan kedua RUU tersebut,” katanya.
Dua RUU tersebut sudah lama tidak dibahas. Dengan demikian, perlu ada kejelasan dari pemerintah apakah mereka ingin meneruskan pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan ataukah tidak.
Pasalnya, dua RUU tersebut sudah lama tidak dibahas. Dengan demikian, perlu ada kejelasan dari pemerintah apakah mereka ingin meneruskan pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan ataukah tidak. Dalam rapat, Senin lalu, Yasonna Laoly mengatakan, hal itu tidak dapat diputuskannya seorang diri karena harus ada surat presiden atau persetujuan dari presiden mengenai kelanjutan pembahasan kedua RUU tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, Kamis, mengatakan, alasan Yasonna itu patut dipertanyakan. Sebab, untuk melanjutkan RUU Minerba yang kini telah disahkan menjadi UU, pemerintah tidak perlu meminta surpres kepada presiden. Ia pun mempertanyakan sikap Yasonna yang dinilainya tak konsisten.
”Ada apa di balik RUU Minerba, kok, tidak perlu surpres, sedangkan ini perlu supres,” katanya.
Terkait dengan surat kepada pemerintah itu, Herman mengatakan, surat itu segera dikirim Komisi III DPR melalui pimpinan DPR. Adapun untuk mekanisme pembahasannya nanti, kedua RUU tersebut tidak akan dibongkar ulang, tetapi hanya membahas pasal-pasal yang masih krusial.