Guyonan Gus Dur soal polisi jujur yang diunggah Ismail Ahmad dan memantik reaksi polisi, hanya satu dari sekian humor satire yang pernah dilontarkan Gus Dur. Guyonan dianggap sebagai cara terbaik menyampaikan kritik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Guyonan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur soal polisi jujur yang diunggah Ismail Ahmad (41) di Facebook dan sempat membuat Kepolisian Resor Sula, Maluku Utara, tersinggung, hanya satu dari sekian kritik yang dikemas dalam humor oleh Gus Dur. Guyonan dianggap sebagai cara terbaik untuk menyampaikan kritik selain upaya merawat kewarasan.
Di negeri ini, hanya ada tiga polisi yang jujur. Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng (Kapolri tahun 1968-1971 Jenderal Hoegeng Imam Santoso). Humor satire yang berulang kali diungkapkan Gus Dur untuk mengkritik kerja kepolisian itu kembali populer setelah Ismail Ahmad, aparatur sipil negara di Sula mengunggahnya di Facebook.
Populer tidak dari sisi yang positif, tetapi justru sebaliknya. Sebab, tiga jam setelah ia mengunggah, Jumat (12/6/2020), sejumlah personel polisi dari Polres Sula mendatangi rumahnya. Ia pun dibawa ke Markas Polres Sula, diinterogasi, dan beberapa hari kemudian, ia dipanggil lagi dan diminta membacakan pernyataan minta maaf atas unggahannya.
Tindakan polisi terhadap Ismail Ahmad yang dinilai berlebihan langsung memantik reaksi publik. Pembelaan beramai-ramai muncul untuk Ismail karena guyonan itu sebatas kritik dan kritik merupakan bagian dari demokrasi. Merespons hal tersebut, Kepala Polda Maluku Utara Inspektur Jenderal Rikwanto segera menegur bawahannya di Polres Sula (Kompas, 19 Juni 2020).
Di sisi lain, guyonan soal polisi jujur itu sekaligus mengingatkan publik akan figur Gus Dur yang humoris. Bukan hanya sekali ia melontarkan guyonan semasa hidupnya.
Pada suatu waktu, Gus Dur pernah pula melontarkan guyonan pedas tentang perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyebabnya, DPR yang kerap ricuh dan gagal menjaga sikap saat rapat paripurna. Salah satunya saat Rapat Paripurna DPR membahas kenaikan harga bahan bakar minyak, tahun 2004.
Saat ditanya wartawan tentang kejadian itu, Gus Dur kemudian berseloroh bahwa anggota DPR sudah turun pangkat. ”DPR dulu TK, sekarang playgroup,” kelakar Gus Dur kala itu.
Karena pribadinya yang humoris, Gus Dur juga tidak mudah tersinggung apabila ada yang melontarkan sindiran balik atau justru salah kutip oleh wartawan.
Ini terlihat saat Gus Dur masih menjabat presiden (1999-2001), wartawan bertanya tanggapannya tentang pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew tentang gembong teroris di Indonesia. Gus Dur menjawab pertanyaan itu dengan menyatakan pada saatnya nanti, dia akan mengajarkan demokratisasi di Singapura. Namun, wartawan salah mengutip dan justru menyebutkan bahwa Gus Dur akan demo di Singapura.
Menanggapi salah kutip itu, Gus Dur hanya menanggapi dengan santai. ”Walah-walah, gitu aja, kok, repot!”
Putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid, saat dihubungi Senin (22/6/2020) mengatakan, semasa hidupnya, Gus Dur menganggap lelucon adalah caranya untuk mengkritik penguasa. Kritik-kritik itu kerap muncul secara spontan.
Namun, kritik itu bukanlah sesuatu yang kosong dan muncul secara tiba-tiba. Itu merupakan buah pemikiran dan kecerdasan Gus Dur yang melihat ada banyak praktik menyimpang di negeri ini. Misalnya praktik korupsi, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, kemiskinan, dan penindasan terhadap kaum minoritas.
Alisa menegaskan bahwa kritik bagi Gus Dur bukanlah ungkapan kebencian. Kritik yang dibalut satire itu merupakan masukan konstruktif yang menjadi bagian integral dalam negara demokrasi. Bahkan, pada masa Orde Baru yang otoriter dan militeristik, guyonan itu menjadi cara yang baik untuk menyampaikan kritik. Meskipun akibatnya, Gus Dur kerap diboikot saat hendak mengisi ceramah.
Selain itu, seperti tertuang dalam kata pengantar buku Mati Ketawa Ala Rusia (1986), Gus Dur menganggap humor adalah senjata ampuh untuk memelihara kewarasan masyarakat. Dengan humor, masyarakat dapat menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar. Humor menjadi alat untuk berdamai dengan keterbatasan dan pembatasan yang dihadapi masyarakat, tanpa harus kehilangan ketangguhan menghadapi tantangan, bahkan kepahitan hidup.
Bagi Gus Dur, humor juga merupakan alat perlawanan yang efektif. Tanpa harus menentang secara frontal, masyarakat dapat melontarkan pandangan kritisnya terhadap kekonyolan, ketidakadilan, atau sistem yang membelenggu.
Selayaknya komedian mahir, Gus Dur tidak hanya piawai melahirkan guyonan kritis, tetapi juga pandai menertawakan dirinya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur kerap mengolok-olok dirinya sendiri.
Misalnya dengan ungkapan ”Presiden pertama gila wanita, presiden kedua gila kuasa, presiden ketiga gila teknologi, dan presiden keempat membuat orang lain gila.” Ini adalah cara Gus Dur mengkritisi presiden sebelumnya, tetapi tak luput mengkritik dirinya sendiri.
”Ini menunjukkan humor juga mampu berfungsi membantu kita lebih rendah hati dan sadar diri. Humor membantu kita dengan meringankan beban dalam mengakui kelemahan-kelemahan diri. Dan, dibutuhkan kebesaran jiwa untuk menertawakan diri sendiri,” kata Alissa.
Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nina Widyawati, berpendapat, kultur masyarakat sangat berpengaruh pada cara mengkritik. Khusus humor atau satire biasanya digunakan dalam masyarakat yang tak terbiasa menerima kritik secara langsung. Namun penggunaannya pun, jangan sampai membuat yang dikritik kehilangan muka. Jika itu terjadi, yang dikritik bukannya introspeksi, tetapi justru kian bebal.
Humor yang berisi kritik biasa dikemas dalam banyak hal, seperti karya sastra, pertunjukan, dan komedi. Kini, bentuk kritik humor itu pun mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi.
Pada zaman Orde Baru ada monolog Butet Kartaredjasa. Kini, di era digital ada dalam bentuk video maupun meme. Namun, di era digital ini dengan adanya keberlimpahan informasi dan UU ITE, orang sulit membedakan mana kritik, fitnah, dan hoaks.
Padahal, menurut Nina, justru kemampuan untuk mengemas kritik atau keluhan dalam bentuk humor adalah kemampuan tertinggi dalam mengelola emosi dan tidak semua orang memiliki kemampuan melontarkan humor yang cerdas dan tidak vulgar.
Alarm bagi demokrasi
Atas melimpahnya kritik di era demokrasi, baik itu yang dibalut dalam guyonan maupun dilontarkan secara langsung, peneliti senior politik LIPI Siti Zuhro mengingatkan agar otoritas tidak bereaksi berlebihan.
Kritik disebutkannya sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam negara demokrasi. Demokrasi dari rakyat dan oleh rakyat membutuhkan peran aktif masyarakat dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
”Jangan sampai ada kecenderungan pembungkaman yang membuat masyarakat takut untuk bersuara. Ini merupakan alarm keras bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi asas kebebasan berpendapat,” tutur Siti.
Maka, alih-alih bereaksi berlebihan, lebih baik kritik dalam bentuk apa pun dijadikan sebagai introspeksi untuk perbaikan. Seperti kata Gus Dur, ”Gitu aja, kok, repot...”