Penerapan rekapitulasi elektronik berpotensi tak dapat dilakukan dalam Pilkada 2020. Pasalnya, ketersediaan anggaran e-rekap itu justru belum bisa dipastikan. Anggaran tersebut sebelumnya terpotong untuk Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN INGKI RINALDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan rekapitulasi elektronik berpotensi tidak dapat dilakukan dalam Pilkada 2020. Pasalnya, ketersediaan anggaran untuk e-rekap itu belum dapat dipastikan. Di sisi lain, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat juga mendorong agar e-rekap tetap dapat dilakukan. DPR menilai mekanisme itu sejalan dengan upaya memperkecil risiko penularan Covid-19 dalam pilkada.
Dalam rapat pleno yang digelar oleh KPU, Senin (22/6/2020) malam, di Jakarta, terungkap, anggaran untuk penyelenggaraan sistem rekapitulasi elektronik (Sirekap) itu belum termasuk yang dapat ditutupi oleh anggaran tambahan dari pemerintah. Anggaran untuk Sirekap itu sebelumnya termasuk bagian dari anggaran KPU yang terpotong untuk penanganan pandemi. Anggaran KPU awalnya Rp 2,159 triliun dan terpotong menjadi Rp 1,879 triliun.
Dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, KPU telah mengajukan anggaran tambahan kepada pemerintah sebesar Rp 4,77 triliun. Anggaran itu terbagi menjadi tiga tahapan, yakni Rp 1,02 triliun untuk tahap pertama di bulan Juni, Rp 3,28 triliun untuk tahap kedua di bulan Agustus, dan Rp 457,145 miliar untuk tahap ketiga pada Oktober mendatang.
Jika tidak ada anggarannya, Sirekap tidak bisa dijalankan. Padahal, Sirekap merupakan cara KPU untuk mendorong transparansi dan efisiensi. Penggunaan rekapitulasi elektronik sebelumnya disebutkan dapat memangkas waktu 35 hari penghitungan sebelum penetapan menjadi sekitar lima hari.
Namun, pemerintah hingga saat ini baru menyetujui untuk memberikan anggaran Rp 1,02 triliun kepada KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dari jumlah itu, KPU mendapatkan Rp 941 miliar, sedangkan sisanya dibagi untuk Bawaslu dan DKPP.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, jika tidak ada anggarannya, Sirekap tidak bisa dijalankan. Padahal, Sirekap merupakan cara KPU untuk mendorong transparansi dan efisiensi. Penggunaan rekapitulasi elektronik sebelumnya disebutkan dapat memangkas waktu 35 hari penghitungan sebelum penetapan menjadi sekitar lima hari.
”Penggunaan Sirekap juga bisa memotong potensi terjadinya konflik. Dengan demikian, tidak perlu terjadi perdebatan hasil rekapitulasi sebab tinggal dilakukan penetapan dan tahapan seterusnya,” katanya.
Namun, Arief belum mengetahui apakah dengan demikian Sirekap benar-benar tidak bisa digunakan pada pilkada serentak 2020. Pasalnya, masih ada pencairan tambahan anggaran tahap kedua. Jika pada tahap kedua ada pencairan anggaran tambahan lagi dari total Rp 3, 28 triliun yang diajukan KPU, bukan tidak mungkin ada alokasi dana yang dapat dipergunakan untuk mendorong Sirekap.
Tergantung anggaran
Merujuk pada kesepakatan antara pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dengan DPR dan penyelenggara pemilu dalam rapat dengar pendapat pada 11 Juni 2020, sebanyak Rp 1,02 triliun disiapkan pemerintah untuk menjalankan tahap pertama pada bulan Juni. Namun, penambahan anggaran itu tidak murni untuk KPU, dibagi dengan Bawaslu dan DKPP. Dari hasil evaluasi dan telaah Kemenkeu terhadap pengajuan anggaran yang dilakukan oleh KPU, lembaga itu mendapatkan jatah Rp 941 miliar, sedangkan sisanya untuk Bawaslu dan DKPP.
Dengan jumlah anggaran bagi KPU Rp 941 miliar yang saat ini dalam proses pencairan, menurut Arief, masih ada usul anggaran KPU yang belum disetujui oleh pemerintah dari keseluruhan Rp 4,77 triliun yang diajukan. Mempertimbangkan masih adanya pengajuan anggaran untuk tahap kedua dan ketiga, Sirekap masih bisa diupayakan asalkan ada persetujuan dan pencairan anggaran untuk KPU pada tahap kedua dan ketiga. ”Ya bisa saja. Kalau tahap keduanya ini disetujui, kan bisa saja,” kata Arief.
Bagi KPU, Sirekap merupakan sistem yang disiapkan untuk jangka panjang, yakni untuk digunakan pada pemilu serentak 2024. Sebelum dipergunakan secara menyeluruh, sistem itu memerlukan simulasi dan uji coba. Pilkada 2020 dipandang sebagai kesempatan untuk melihat aplikasi awal dari sistem tersebut. Sistem yang dibangun bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, menurut Arief, saat ini sudah selesai disiapkan.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, yang dihubungi, Selasa, mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi adanya kendala dalam penyelenggaraan e-rekap untuk pilkada. Namun, pada dasarnya, DPR mendorong agar dalam Pilkada 2020 diterapkan e-rekap sebab penggunaan sarana ini dinilai mampu mengurangi interaksi orang per orang dalam rekapitulai suara. Pendekatan elektronik juga dipandang leih efektif dan efisien bagi penyelenggaraan pilkada.
”Kami sejak awal, sebelum pandemi, sudah meminta agar KPU menggunakan e-rekap. Mekanisme diharapkan bisa diterapkan pada Pemilu 2024. Namun, waktu itu kami meminta agar diujicobakan di Pilkada 2020. Sebab, dengan e-rekap banyak hal bisa efisien, mulai dari penganggaran, dan tidak terlalu banyak melibatkan penyelenggara dalam praktiknya sehingga bisa memotong banyak sekali hierarki. Tidak ada rekapitulasi di tingkat PPK karena langsung ke provinsi untuk pilkada kabupaten/kota. Begitu juga untuk pilkada gubernur, tidak ada rekapitulasi di tingkat kabupaten,” ujar Saan.
Dalam kondisi pandemi, mekanisme e-rekap itu pun dipandang sesuai karena sejalan dengan upaya menjaga jarak dan mengurangi berkumpulnya orang dalam jumlah banyak di satu tempat. Mekanisme itu juga dipandang bisa lebih cepat dalam menghimpun data dari lapangan sehingga hasil pilkada lebih cepat diketahui, serta mengurangi risiko kecurangan dilakukan oleh oknum petugas di lapangan lantaran data langsung dikirim dari tempat pemungutan suara (TPS).
Saan mengatakan, atas kendala penerapan e-rekap yang dipicu oleh ketidakpastian anggaran pilkada ini, pihaknya terlebih dulu akan melakukan konfirmasi dengan KPU. Sebab, pada rapat terakhir dengan Komisi II DPR, Senin lalu, kendala ini belum diungkapkan oleh KPU. Dengan demikian, DPR masih akan meminta keterangan dari KPU perihal kemungkinan e-rekap tidak dapat dilakukan. Sebab, e-rekap itu sejak awal didorong agar bisa diujicobakan di dalam Pilkada 2020.
Kami akan mengonfirmasi dulu ke mereka (KPU) sebab ini, kan, masih tahapan yang berjalan. Sambil berjalan, setiap tahapan kan nanti di-review (dikaji) dan dievaluasi terkait tahapan-tahapan pilkada di tengah pandemi. Ini menjadi penting untuk dilakukan review setiap tahapan karena bukan tidak mungkin nanti ada perubahan-perubahan di tengah jalan.
”Kami akan mengonfirmasi dulu ke mereka (KPU) sebab ini kan masih tahapan yang berjalan. Sambil berjalan, setiap tahapan, kan, nanti di-review (dikaji) dan dievaluasi terkait tahapan-tahapan pilkada di tengah pandemi. Ini menjadi penting untuk dilakukan review setiap tahapan karena bukan tidak mungkin nanti ada perubahan-perubahan di tengah jalan,” kata Saa.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, bila Sirekap ingin diberlakukan sebagai mekanisme rekapitulasi elektronik, mesti dipersiapkan dengan baik mulai dari kepastian kerangka hukum, kesiapan anggaran, pilihan teknologi yang aman, kapasitas petugas, maupun penerimaan masyarakat. Namun, realitasnya tidak semua daerah saat ini melalui anggarannya telah mengondisikan persiapan pilkada dengan penerapan Sirekap.
”Setahu kami, mayoritas penyelenggara pilkada masih mengasumsikan pilkada dijalankan dengan rekapitulasi manual. Padahal, kalau Sirekap bisa dipersiapkan baik, bisa berkontribusi pada mengurangi kerumunan orang di pilkada. Namun, kalau persiapannya tidak matang dan serba tergesa-gesa, bisa memicu timbulnya masalah hukum baru dalam pelaksanaannya, mulai dari kecurigaan pada hasil, ketidakpercayaan pada keamanan teknologi, serta spekulasi soal kredibilitas KPU dalam menetapkan hasil secara kredibel,” ujarnya.