Bung Karno, Istana, dan Simbol Padma
Selain negarawan dan orator ulung, Presiden ke-1 RI Soekarno juga arsitek. Ia menjadikan arsitektur alat membangun karakter bangsa. Di istana-istana, Bung Karno meninggalkan banyak simbol padma yang punya makna mendalam
Teratai atau padma adalah bunga yang mudah ditemukan di berbagai ornamen di istana-istana kepresidenan, tidak terlepas dari hasil sentuhan Presiden pertama RI Soekarno. Ornamen teratai bisa tampil dalam bentuk seni, dinding, pilar, ataupun furnitur di istana-istana kepresidenan.
Ruang depan gedung utama Istana Kepresidenan Bogor, misalnya, bahkan disebut Ruang Teratai karena ada lukisan bunga teratai karya Dezentje menghias dindingnya. Lukisan cat minyak tersebut dipesan khusus oleh Soekarno tak lama setelah ia menjadikan Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan.
Motif teratai banyak pula terdapat di Istana Batutulis Hing Puri Bima Sakti di Jalan Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Beberapa pilar dan plafon di ruang-ruang di rumah peristirahatan Bung Karno ini juga memiliki ornamen berpola padma.
Di Istana Cipanas, Cianjur, motif bunga teratai tampak di kolam halaman tengah yang berbentuk bunga teratai. Demikian pula tugu atau tiang bendera di depan Istana, juga dibangun dengan motif padma.
Demikian pula di Istana Yogyakarta. Presiden Soekarno juga membuat kolam yang dinamakan Kolam Teratai pada tahun 1947. Motif bunga-bunga tersebut menjadi sentuhan Soekarno.
”Ada semacam kegandrungan Bung Karno pada padma. Ini bisa menjadi lambang keutamaan pribadi, keindonesiaan, dan ekspresi kemuliaan beliau,” ujar Yuke Ardhiati, penulis buku Bung Karno Sang Arsitek, dalam diskusi ”Soekarno dan Karya Arsitekturnya” yang diselenggarakan Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, Bogor, Selasa (16/6/2020).
Baca juga : Bung Karno dan Helikopter Kepresidenan Pertama Dunia
Diskusi itu digelar secara virtual untuk memperingati Bulan Bung Karno. Diskusi ini dipandu Harry Trisatya Wahyu serta menghadirkan panelis lain, yakni Bambang Eryudhawan dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI serta Kandar, Direktur Preservasi Arsip Nasional Indonesia.
Ada semacam kegandrungan Bung Karno pada padma. Ini bisa menjadi lambang keutamaan pribadi, keindonesiaan, dan ekspresi kemuliaan beliau.
Dalam diskusi juga diungkapkan bahwa Istana Merdeka, Jakarta, dan Istana Bogor yang kosong saat Indonesia merdeka mulai ditata Soekarno saat ia menjabat Presiden RI. Di istana-istana ini juga tampak banyak perabot rumah tangga bergaya art deco dengan ragam hiasan padma.
Salah satu meja di Istana Merdeka, Jakarta, juga tampak seperti kelopak bunga teratai. Di halaman Istana Merdeka, tiang pengibar bendera Merah Putih juga berhias kelopak teratai.
Pada dinding ruang kerja Bung Karno di Istana Bogor, ornamen padma juga terlihat. Kursi dan meja di istana kepresidenan juga kerap menampilkan motif padma, baik di bawah meja, penghubung lengan kursi, maupun bagian bawah meja bisa berhias pola ini.
Dalam buku Bung Karno Sang Arsitek, dikutip pula penuturan Soekarno yang ditulis oleh penulis Amerika Serikat, Cindy Adams, mengenai Istana Bogor yang kosong dan porak poranda sekitar tahun 1950. Bung Karno lalu menatanya dengan harapan istana ini menjadi layak dan menarik untuk menjamu tamu-tamu asing dari sejumlah negara.
”Di waktu itu, tidak banyak yang dapat diperbaiki selain dari hasil ciptaku sendiri. Oleh karena kami tidak punya bahan untuk itu. Pada waktu sekarang—dengan tamannya yang berombak-ombak hasil seni pahatnya yang megah dan ruangan-ruangan yang diatur secara menarik—tamu-tamu yang datang berkunjung menganggap Istana Bogor sebagai istana yang paling indah di daerah Asia,” tutur Bung Karno kepada Cindy Adams.
Bermakna kemuliaan
Menurut Yuke, Tugu Monumen Nasional dari jauh tampak seperti tangkai padma yang sedang kuncup. Sementara di dalamnya, di ruang hening, tempat penyimpanan bendera pusaka berhias motif padma. Tugu Monumen Nasional di seberang Istana Merdeka, Jakarta, itu diinisiasi oleh Bung Karno.
Bunga teratai dalam kebudayaan Jawa dan Bali kuno, menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, Dwi Cahyono, sangat populer. Bahkan juga pada masa perkembangan Islam. Dwi menjelaskan, teratai di Indonesia bisa dibedakan antara tunjung yang tangkai bunganya lebih panjang dan daunnya lebih membulat ke atas air. Sementara teratai bertangkai lebih pendek dan daunnya mengambang di permukaan air.
Dalam tradisi Jawa kuno, teratai merah disebut padma dan di relief yang monokrom digambarkan merekah sempurna. Teratai biru disebut nilotpala dan dalam relief tampil setengah merekah. Teratai putih, yang disebut utpala, dalam relief tampak menguncup. Namun, secara umum, orang lebih menggunakan kata padma untuk menggantikan teratai tanpa membedakan warnanya.
Teratai, lanjut Dwi, tidak hanya elok, tetapi juga kerap dikaitkan dengan makna suci dan sakral. Sebab, teratai tumbuh di air yang bisa saja keruh dan kotor, tetapi bahkan daunnya yang bisa menampung sedikit air tidak pernah tertempeli kotoran ini. Bunganya pun muncul di atas permukaan air. Karena itu, teratai banyak dipilih dalam karya seni religius.
Teratai tumbuh di air yang bisa saja keruh dan kotor, tetapi bahkan daunnya yang bisa menampung sedikit air tidak pernah tertempeli kotoran ini. Bunganya pun muncul di atas permukaan air. Karena itu, teratai banyak dipilih dalam karya seni religius.
Di sisi lain, padma juga bisa dimaknai sebagai mulia. Seorang perempuan yang mulia kerap disebut padmini.
Soekarno sebagai seorang arsitek diyakini tidak awam pada sejarah dan seni Jawa-Bali kuno ini. Apalagi ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, kelahiran Bali. Karena itu, Dwi menilai wajar apabila Soekarno memilih teratai pada ragam hias di istana-istana kepresidenan.
Tak hanya itu, Bambang Eryudhawan melihat perkembangan karya-karya arsitektur Soekarno tak lepas dari pengaruh dosennya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini menjadi Institut Teknologi Bandung), Charles Wolff Schoemaker.
Schoemaker bukan seorang awam atas budaya Jawa. Dia menulis buku estetika kebudayaan Hindu Jawa khususnya candi-candi di Jawa Tengah, yakni Aesthetiek en oorsprong des Hindoe-kunst op Java. Hal ini, menurut Bambang, bisa jadi ikut menginspirasi Bung Karno dengan arsitektur Indonesia.
Karakter bangsa
Saat menjabat Presiden RI, Bambang menyoroti, Bung Karno menjadikan arsitektur sebagai alat untuk membangun karakter bangsa yang kuat. Karena itu, setiap bangunan monumental yang akan dibangun didiskusikan dan dipantau langsung oleh Bung Karno. Beberapa bangunan itu ialah Masjid Istiqlal dengan arsitek Friedrich Silaban, Tugu Pahlawan Surabaya, Tugu Nasional Malang, Hotel Indonesia, Hotel Bali Beach, Wisma Nusantara, Planetarium, dan Toserba Sarinah.
Masjid Istiqlal dibangun dengan kubah berdiameter 45 meter untuk mengingat tahun kemerdekaan Indonesia. Bangunan ini, ujar Bambang, indah, fungsional, simbolis, kokoh, berarsitektur tropis, geometris, teratur, jujur, sederhana, rapi, dan bersih. Bangunan lain pun disiapkan dengan filosofi dan tujuan yang kuat.
Indonesia yang belum lama merdeka pada tahun 1964 membangun Planetarium. Sebab, Bung Karno ingin memastikan masyarakat Indonesia bisa belajar astronomi dan tidak terlalu percaya bahwa bintang-bintang dari mitologi yang khayal. Sementara Toserba Sarinah harapannya bisa menjadi penstabil harga barang dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Putra sulung Soekarno, Guntur Soekarnoputra, suatu saat dikonfirmasi mengenai karya ayahnya, menuturkan, sebagai arsitek, ada begitu banyak ide ayahnya, tetapi sebagian tidak tercatat.
”Atap Stadion Utama Senayan yang temu gelang adalah mahakarya bapak. Banyak gedung lain yang juga dirancang bapak, tetapi tidak tercatat. Gedung-gedung yang dirancang dan dibangun saat itu bukan hanya politik mercusuar, melainkan juga untuk menunjukkan kegigihan bangsa Indonesia yang pernah dijajah, tetapi mampu berdikari,” ujar Guntur.
Segala harapan baik sebagai peletak dasar pendirian berbagai bangunan ini semestinya terus diingat dan diwujudkan. Pada saat mengambil keputusan, para pemimpin hendaknya mengenang lagi makna simbol-simbol padma dan teratai yang ditinggalkan Bung Karno di berbagai sudut istana-istana di Indonesia, yakni kebijaksanaan dan kemuliaan.
Hendaknya setiap keputusan yang diambil terkait hidup orang banyak dipandu oleh dua hal itu. Semoga....