Pemerintah Pertimbangkan Tak Teruskan Banding Atas Putusan Blokir Internet Papua
Pemerintah mempertimbangkan untuk tak melanjutkan banding atas putusan PTUN Jakarta terkait pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Adapun, Tim Pembela Kebebasan Pers menyayangkan keputusan banding pemerintah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sudah mengajukan banding terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menyatakan pemerintah melanggar hukum dengan memblokir internet di Papua dan Papua Barat. Namun, pemerintah kini juga mengaku sedang mempertimbangkan untuk tidak meneruskan proses permohonan banding tersebut.
Informasi terkait pengajuan banding dari Menteri Komunikasi dan Informatika itu disampaikan Tim Pembela Kebebasan Pers yang mengaku sudah menerima pemberitahuan banding dari panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam surat pemberitahuan itu disebutkan bahwa pada 12 Juni 2020, tergugat I telah menyatakan banding terhadap putusan PTUN Jakarta Nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-JKT tanggal 3 Juni 2020. Adapun tergugat I ialah Menkominfo dan tergugat II Presiden RI.
Saat dikonfirmasi terkait hal itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, ketika dihubungi, Sabtu (20/6/2020), mengatakan, pemerintah tengah mempertimbangkan agar tidak meneruskan banding terkait putusan majelis hakim PTUN Jakarta terhadap gugatan yang diajukan Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet).
Putusan PTUN pada 3 Juni menyatakan, Presiden dan Kemenkominfo melanggar hukum karena pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat, dalam rentang 19 Agustus-4 September 2019. Sebab, kebijakan diambil tanpa terlebih dulu menyatakan status kedaruratan seperti disebutkan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Pemerintah menghormati keputusan PTUN dan mempertimbangkan untuk tidak meneruskan banding,” kata Johnny.
Pemerintah menghormati keputusan PTUN dan mempertimbangkan untuk tidak meneruskan banding.
Dalam wawancara sebelumnya, Johnny sempat menyatakan bahwa pemerintah yakin tidak berbuat salah atau melanggar hukum dalam kebijakan itu. Menurut Johnny, pihaknya telah berdiskusi dan berkomunikasi dengan pengacara negara terkait tindak lanjut dan upaya hukum selanjutnya atas putusan tersebut. Kemungkinan besar pihak tergugat akan mengajukan banding.
”Setelah itu diputuskan, selanjutnya kami akan menyiapkan memori banding. Dalam memori banding itu akan ada argumentasi-argumentasi baru dan landasan UU lain yang menjadi acuan payung hukumnya. Selama ini, kan, yang dipakai hanya UU ITE, dan kami akan mengajukan UU lainnya juga sebagai basis argumentasi,” katanya saat itu (Kompas.id, 7/6/2020).
Sementara itu, Ade Wahyudin, dari Tim Pembela Kebebasan Pers, mengatakan, pihaknya akan bersiap jika Presiden dan Kemenkominfo pada akhirnya mengambil langkah banding. Hal itu diungkapkan setelah kemarin pemerintah menyatakan akan melakukan banding terhadap putusan PTUN tersebut.
”Kami masih menunggu memori bandingnya karena kemarin mereka baru menyatakan saja,” kata Ade.
Dalam keterangannya, Tim Pembela Kebebasan Pers menyayangkan keputusan untuk mengajukan banding tersebut. Sebab hal itu memperlihatkan pemerintah tidak mau belajar dari keputusan majelis hakim. Adapun Tim Pembela Kebebasan Pers terdiri atas beberapa kelompok masyarakat sipil, yakni AJI Indonesia, SAFENet, LBH Pers, YLBHI, Kontras, ICJR, dan Elsam.
Menurut Tim Pembela Kebebasan Pers, rencana banding tersebut menegaskan pemerintah tidak memahami fungsi dan peran peradilan serta tidak mau menerima partisipasi dan koreksi dari masyarakat. Selain itu, upaya banding tersebut dinilai dapat melukai hati dan rasa keadilan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat yang menjadi korban perlambatan dan pemutusan akses internet.
Hal itu menambah kekhawatiran bahwa pemerintah menganggap langkah-langkah hukum yang diambil masyarakat dan dihargai konstitusi dianggap sebagai lawan dan gangguan. Sampai saat ini, Ade melanjutkan, tak ada persiapan khusus Tim Pembela Kebebasan Pers untuk menghadapi banding itu.
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpandangan putusan majelis hakim yang menyatakan tindakan pemerintah melakukan pemblokiran akses internet karena tanpa menyatakan status kedaruratan merupakan hal yang positif. Sebab, hal itu dilakukan di tengah berbagai kasus yang mengesankan negara tebang pilih dalam penegakan hukum. Terkait langkah hukum banding, dia menilai hal itu tidak masalah karena masih dalam kerangka hukum.