Pilkada, Realisasi Janji dan Covid-19
Pandemi Covid-19 yang belum usai membuat kapasitas fiskal daerah berkurang. Padahal, Pilkada 2020 harus jalan. Pencairan dana tambahan pun dinanti agar ancaman Covid-19 tak menjadi kekhawatiran petugas di lapangan.

Ketua KPU Arief Budiman bersama tamu undangan menunjukkan perlengkapan sesuai dengan standar penanganan Covid-19 yang akan digunakan dalam tahapan pilkada serentak di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (18/6/2020). Pilkada serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Di tengah keterdesakan waktu, penambahan anggaran untuk tahapan lanjutan Pilkada 2020 sangat dinanti pencairannya oleh KPU dan Bawaslu agar kelengkapan petugas yang berinteraksi dengan warga tak hanya seadanya menghadapi pandemi.
Pandemi Covid-19 yang belum usai membuat kapasitas fiskal sejumlah daerah berkurang. Turunnya kemampuan keuangan dicerminkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sejumlah daerah. Akibatnya, kebutuhan anggaran Pilkada 2020 di sejumlah daerah pun tidak terelakkan untuk ditambah.
Tambahan kebutuhan anggaran itu ditujukan untuk memenuhi perlengkapan kesehatan bagi petugas penyelenggara pemilihan. Sebagian di antaranya untuk masker dan cairan antiseptik, sedangkan lainnya guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. Anggaran tambahan itu sudah disetujui pemerintah dan DPR. Namun, sejauh ini baru di atas kertas. Berdasarkan rapat dengar pendapat antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, Kamis (11/6/2020), tambahan anggaran bagi KPU Rp 4,7 triliun, Bawaslu Rp 478,9 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Rp 39 miliar.
Pencairan anggaran tahap pertama ditujukan ke KPU dan Bawaslu dengan total Rp 1,02 triliun. Realisasi komitmen itu disebutkan Juni 2020, tetapi hingga lanjutan tahapan pilkada pada Rabu (24/6/2020) depan, anggaran belum juga cair. Konsekuensinya, pelantikan sejumlah petugas ad hoc pun dilakukan bersahaja. Para petugas membawa perlengkapan kesehatan masing-masing, seperti masker dan pembersih tangan. Aktivitas bimbingan teknis di sejumlah daerah juga berlangsung dengan perlengkapan seadanya.
Baca juga: Dana Belum Cair, Penyelenggara ”Ad Hoc” Pilkada Menggunakan APD Swadaya
Hal ini tak sesuai dengan Surat Edaran KPU No 488/PP.08.2-SD/07/SJ/VI/2020 tentang Petunjuk Teknis Penyediaan Perlengkapan Protokol Kesehatan Covid-19 pada Pilkada. SE itu menetapkan 10 jenis perlengkapan protokol kesehatan, tak sekadar masker dan sanitasi, tetapi juga pelindung wajah, termometer inframerah, serta alat tes cepat (rapid test) dan vitamin penambah daya tahan tubuh.
Realisasi komitmen itu disebutkan Juni 2020, tetapi hingga lanjutan tahapan pilkada pada Rabu (24/6/2020) depan, anggaran belum juga cair. Konsekuensinya, pelantikan sejumlah petugas ad hoc pun dilakukan bersahaja. Para petugas membawa perlengkapan kesehatan masing-masing, seperti masker dan pembersih tangan. Aktivitas bimbingan teknis di sejumlah daerah juga berlangsung dengan perlengkapan seadanya.
Fakta itu membuat petugas KPU dan Bawaslu dalam risiko sangat besar. Saat bersamaan, terdapat keraguan dari sisi petugas yang menjalankan tugas di lapangan dan keraguan masyarakat yang berinteraksi. Apalagi dengan alat perlindungan diri yang tidak lengkap.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan (kedua kiri) bersama Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto (kedua kanan) menghadiri seremoni Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengawasan Netralitas ASN Pada Pilkada Serentak 2020 di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (17/6/2020). Kemitraan Bawaslu bersama KASN tersebut diharapkan bisa mewujudkan Pilkada Serentak 2020 yang langsung, umum, bebas, jujur, adil, dan beritegritas. Bawaslu mencatat, hingga 15 Juni lalu jumlah pegawai ASN yang melakukan pelanggaran netralitas terkait pilkada serentak 2020 sebanyak 369 orang. Lingkup PKS yang akan dipergunakan sebagai pedoman pengawasan di lapangan di antaranya pertukaran data dan informasi, pencegahan, serta pemantauan tindak lanjut rekomendasi.
KPU tersandera
Teori menarik diutarakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang hadir saat acara Satu Meja The Forum: Pillkada di Tengah Korona, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (17/6/2020). Titi yang hadir secara daring menanyakan sikap KPU yang seperti tersandera terkait keputusan menyelenggarakan Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Selain 9 Desember, KPU juga sempat memaparkan pilihan pilkada pada 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. Hal itu karena merujuk sejumlah prasyarat yang diminta KPU jika pilkada digelar pada 9 Desember 2020.
Catatan Kompas, sebagian prasyaratnya mulai dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang penundaan pilkada yang harus terbit akhir April 2020, juga pencabutan Peraturan Pemerintah No 21/2020 terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar sebelum dilanjutkannya tahapan. Dua syarat itu tak terpenuhi.
Pada kesempatan tersebut, Titi menyampaikan relevansi untuk melihat kembali kemungkinan memundurkan pilkada ke 2021. Titi juga menyebutkan, keinginan menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember bertentangan dengan argumentasi untuk beroleh kepemimpinan definitif pada masa pandemi. Hal ini terkait petahana yang mesti mengambil cuti di luar tanggungan selama masa kampanye. Namun, dengan kontestasi pilkada, kepala daerah membagi fokus antara perhatian pada pemulihan warga akibat Covid-19 dan elektoral meraup banyak suara.
Tunggu realisasi
Namun, anggota KPU, Ilham Saputra, dalam acara yang sama menampik bahwa KPU tersandera dan kehilangan independensi. Ilham mencontohkan, langkah KPU untuk menghentikan dan menunda tahapan pilkada yang tengah berjalan pada Maret lalu membuktikan hal itu. Hal yang mungkin belum disadari Ilham dari apa yang dimaksud Titi ialah sikap dan keputusan-keputusan KPU setelah penundaan tahapan tersebut dilakukan.

Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020). KPU memutuskan untuk menggelar pilkada serentak 2020 pada 9 Desember mendatang.
Ilham juga mengatakan bahwa KPU masih menunggu realisasi tambahan anggaran yang sudah disetujui bersama pemerintah dan DPR, terutama untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan kesehatan guna menjalankan tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan.
Menurut dia, tahapan itu krusial. Pasalnya, verifikasi dilakukan dengan mendatangi orang-orang dari rumah ke rumah. Dengan kata lain, tahapan itu berisiko cukup tinggi jika dipandang dari potensi penularan Covid-19. Apalagi jika perlengkapan kesehatan untuk memenuhi protokol penanganan Covid-19 belum bisa disediakan secara lengkap.
”Bagaimana dengan janji yang kemudian kita bisa melakukan pengadaan masker, hand sanitizer. Memberikan vitamin. Nah, itu yang belum ada jaminan,” ucap Ilham.
Di sisi lain, regulasi berupa Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam belum kunjung dibahas serta dikonsultasikan lagi kepada DPR dan pemerintah. PKPU tersebut nantinya akan mengatur tata cara penyelenggaraan setiap tahapan pilkada serentak 2020 selama masa pandemi Covid-19. Menurut rencana, jadwal pembahasan tersebut akan dilakukan dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) pada Rabu lalu, tetapi ditunda hingga Senin (22/6/2020).
Mengenai hal ini, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, yang hadir dalam acara tersebut, mengatakan, Komisi II DPR sudah siap. Akan tetapi, hal ini lalu dibantah Ilham yang menyebutkan penundaan jadwal justru berasal dari Komisi II DPR.
Ilham juga mengingatkan draf PKPU yang telah dikirimkan ke Komisi II DPR agar dipelajari dengan saksama sehingga harapannya dalam RDP lanjutan Senin depan, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan dari nol.

Massa yang tergabung dalam organisasi kepemudaan mengampanyekan pilkada damai tanpa kecurangan di kawasan hari bebas kendaraan bermotor, Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (2/4) pagi. Kampanye bertujuan untuk mengajak warga Jakarta selain berpartisipasi dalam pilkada, juga mengawasi penyelenggaraannya.
Keuntungan petahana
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, pada dasarnya petahana diuntungkan jika saat pilkada dilakukan, yang bersangkutan masih menjabat. Hal ini mengingat interaksi secara penuh dengan masyarakat bisa dilakukan. Kondisi ini dinilainya relatif sama saat pandemi ataupun tidak.
Akan tetapi, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey yang akan kembali bertarung mempertahankan jabatannya justru khawatir jika Pilkada 2020 dilakukan 9 Desember 2020. Alasannya, relatif beririsannya aktivitas sebagai kepala daerah dan dugaan melakukan politisasi bantuan sosial, bisa saja dialamatkan kepada petahana.
Pilkada pada 9 Desember justru berpeluang mendapatkan pemimpin di masa krisis.
Menurut Olly, lebih baik pilkada dilakukan setelah habis masa jabatan sejumlah kepala daerah jika pandemi Covid-19 berkepanjangan. Pasalnya, pihaknya tidak mungkin berhenti memberikan bantuan sosial dan menggerakkan pembangunan ekonomi selama menjabat di masa pandemi berlangsung.
Baca huga: Pilkada di Era Pandemi Covid-19
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, pilkada pada 9 Desember justru berpeluang mendapatkan pemimpin di masa krisis. Selain itu, jika pilkada tidak dilakukan pada 9 Desember, hal itu akan membuat ratusan pelaksana tugas mesti ditunjuk pemerintah untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya. Pilkada pada awal Desember juga dinilai Bahtiar akan membuat para calon mempertarungkan gagasan dan kinerja hadapi pandemi.
Terkait keraguan warga jika menggunakan hak pilihnya di tengah pandemi, Mardani menambahkan, hal itu sesuatu yang wajar. Pasalnya, publik dinilai belum menyadari rencana pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang masih tinggi. Biasanya, minat publik untuk mencoblos akan semakin tinggi menjelang hari pemungutan suara pada 9 Desember mendatang.
Meskipun hal itu menjadi kebiasaan saat pemilihan, kini tampaknya mesti diingatkan pula ancaman gelombang kedua pandemi Covid-19 jangan sampai benar-benar terjadi.

Petugas Komisi Pemilihan Umum Korea Selatan memilah surat suara untuk dihitung pada pemilihan umum parlemen di sebuah gedung olahraga di Seoul, Korea Selatan, Rabu (15/4/2020). Selama pemungutan suara berlangsung, warga tetap menggunakan masker dan menjaga jarak fisik. Pilkada 2020 diharapkan juga tetap berpegang pada prokotol kesehatan agar tak terjadi gelombang pandemi Covid-19 kedua pasca-pemungutan suara.