Putusan Sofyan Basir Menjadi Pembelajaran bagi KPK
Putusan kasasi MA yang tetap membebaskan mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir perlu jadi pembelajaran KPK agar ke depan lebih baik lagi menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap putusan bebas mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir dapat menjadi pembelajaran bagi lembaga antikorupsi ini. Kuasa hukum Sofyan melihat, sejak awal sangkaan terhadap kliennya kurang tepat.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji mengatakan, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa penuntut umum (JPU) karena bisa saja MA menguatkan dan mengambil alih pertimbangan putusan pada tingkat pertama.
”Dengan alat bukti dan keyakinan hakim MA, obyektivitas putusan seperti pada Sofyan ini yang dilaksanakan,” kata Indriyanto melalui pesan singkat, Kamis (18/6/2020).
Pada umumnya pertimbangan putusan menolak kasasi karena kurang cukup alat bukti yang mendukung dakwaan atau tuntutan JPU. Dalam kasus Sofyan, hanya ada satu keterangan saksi kunci, yakni bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. (Indriyanto Seno Adji)
Ia menambahkan, pada umumnya pertimbangan putusan menolak kasasi karena kurang cukup alat bukti yang mendukung dakwaan atau tuntutan JPU. Menurut Indriyanto, dalam kasus Sofyan hanya ada satu keterangan saksi kunci, yakni bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Perdebatan kasasi Sofyan ini pun sudah terjadi di ruang publik terkait dengan minimnya alat bukti.
Sebelumnya, jaksa pada KPK menuntut Sofyan dengan pidana penjara 5 tahun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun, pada 4 November 2019, Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Sofyan tak terbukti bersalah sesuai dakwaan jaksa dan membebaskan dari segala tuntutan. Atas putusan itu, KPK mengajukan kasasi.
Oleh karena itu, sebaiknya putusan dari MA sebagai lembaga kekuasaan peradilan tertinggi harus dihormati. Di sisi lain, KPK sebagai kelembagaan tetap harus introspeksi atas kekurangan yang ada.
Menurut Indriyanto, putusan ini justru akan memperkuat profesionalitas dan integritas kinerja KPK agar lebih baik lagi ke depan, khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang menjadi atensi publik. Putusan ini tidak ada kaitannya dengan tingkat keyakinan pada KPK dalam memberantas korupsi.
”Putusan ini bukan soal kekalahan atau kemenangan sosok personal maupun kelembagaan. Namun, lebih berbasis penegakan hukum dan keadilan yang harus dihormati,” ujarnya.
Putusan ini bukan soal kekalahan atau kemenangan sosok personal maupun kelembagaan. Namun, lebih berbasis penegakan hukum dan keadilan yang harus dihormati. (Indriyanto Seno Adji)
Sebelumnya, Rabu (17/6/2020), Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri meyakini bahwa bukti-bukti yang ditunjukkan KPK dari awal penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan dalam perkara ini telah kuat.
KPK belum menentukan langkah hukum berikutnya yang akan dilakukan. Sebab, mereka belum menerima putusan lengkapnya untuk menganalisis pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi tersebut.
Kuasa hukum Sofyan, Soesilo Aribowo, mengatakan, sejak awal sangkaan kepada kliennya kurang pas. Soesilo pun pernah mempertanyakan landasan KPK dalam menetapkan Sofyan sebagai tersangka (Kompas, 24/4/2019).
”Memang benar tersangka yang lain itu terbukti tindak pidana pokoknya sesuai putusan pengadilan. Namun, Pak SB (Sofyan) itu, kan, tuduhannya ’pembantuan’ tindak pidana yang sejak awal tidak mengetahui adanya atau akan adanya suap bagi tersangka yang lain itu,” kata Soesilo.
Ia mengungkapkan, karena saat ini putusan dari MA sudah final, Sofyan akan memulai lagi kegiatan barunya yang sedang dipikirkan. Namun, Sofyan tidak mengetahui apakah akan kembali ke PLN atau tidak. Sebab, mekanisme itu ada di Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Presiden.