Bintang Emon, Novel Baswedan, dan Tekanan "Netizen"
Komedi bagian dari kebebasan ekspresi. Namun, komika Bintang Emon diserang sebagian netizen setelah videonya yang mengkritik secara "jenaka" tuntutan rendah terhadap penyerang penyidik KPk Novel Baswedan, menjadi viral.
Kritik berbalut komedi telah ada sejak dulu, bahkan pada zaman kerajaan. Namun, keberadaan komedi politik ini dimaknai berbeda di tengah kondisi masyarakat yang semakin dinamis. Tekanan datang dari sebagian netizen alias pengguna internet.
"Sudah mulai ada yang bandel ke e-mail kerjaan, akun kakak, akun manager," tulis Gusti Muhammad Abdurrohman Bintang Mahaputra alias Bintang Emon di akun Twitter-nya, Senin (15/6/2020).
Unggahan itu berselang empat hari setelah videonya yang berisi kritikan atas tuntutan ringan terhadap dua oknum polisi penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, viral di media sosial. Video berdurasi 1 menit 43 detik dengan judul "Ga sengaja" itu ditonton lebih dari 4,4 juta kali di Twitter, dan disukai oleh 1,5 juta kali di Instagram.
Baca juga: Novel Baswedan: Kalau Hukum Rusak, Sulit Kita Bercita-cita Menjadi Negara Maju
Konten video didasari isi tuntutan jaksa yang menyebutkan para terdakwa tidak sengaja melukai mata Novel. Dalam video, Bintang Emon menyindir alasan ketidaksengajaan itu. Sebab, menurutnya, tak mungkin siraman air keras bisa pas di muka jika tanpa disengaja.
Namun, tak disangka, dia malah mendapatkan serangan balik di media sosial. Terdapat sejumlah akun Twitter yang menuding Bintang Emon sebagai pengguna narkoba. Tak sampai sehari, akun-akun itu lenyap. Bintang Emon bahkan sampai memeriksakan diri ke Rumah Sakit Pondok Indah, Puri Indah Jakarta untuk membantah tudingan itu. Dia dinyatakan negatif dari narkoba.
Ini bukan kali pertama Bintang Emon menjadi topik perbincangan di media sosial. Beberapa kali videonya yang dibuat bak komedian tunggal, menyampaikan keresahan dari orang-orang di sekitarnya. Misalnya meminta agar masyarakat patuhi jaga jarak.
Kebebasan berekspresi
Komika perempuan, Sakdiah Makruf, menyampaikan, komedian, khususnya komedian tunggal pada dasarnya ingin menggarisbawahi suatu fenomena sosial agar masyarakat melihat dengan terang benderang apa yang terjadi.
"Sama seperti yang dilakukan Bintang Emon dan banyak netizen yang ramai-ramai membuat joke tentang \'enggak sengaja\' untuk menunjukkan betapa frasa itu saja memperlihatkan persoalan besar dalam sistem hukum dan pemberantasan korupsi di negara kita," ucap Sakdiah.
Karena itu, kata Sakdiah, humor sungguh sangat penting perannya dalam komunikasi politik. Humor memungkinkan diskusi tentang topik yang paling tabu dan sensitif sekalipun, menantang berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi dengan "membalikkan" narasi penindas ke hadapan mereka sendiri.
"Yang menarik lagi berkaitan dengan humor dan komunikasi politik. Humor itu sifatnya win-win. Ia dapat menunjukkan kebobrokan kekuasaan, dan saat kekuasaan itu berusaha membungkam, makin nampak kebobrokannya, karena alasan yang sederhana," ujar Sakdiah.
Menurut Sakdiah, demokrasi yang sehat mensyaratkan kebebasan berekspresi. Komedi menjadi bagian dari kebebasan ekspresi tersebut. Atas dasar itu, dia menyebut, komedi adalah pilar kelima demokrasi, setelah pers yang independen dan imparsial.
"Negara yang maju demokrasinya, komedinya juga berkembang baik," ucapnya.
Demokrasi yang sehat mensyaratkan kebebasan berekspresi. Komedi menjadi bagian dari kebebasan ekspresi tersebut. Atas dasar itu, dia menyebut, komedi adalah pilar kelima demokrasi, setelah pers yang independen dan imparsial.
Sakdiah menyadari tidak mudah berkomedi di Indonesia. Ada sejumlah undang-undang yang rentan menjerat para komedian, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta pasal penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Ini membuat seni utamanya humor menjadi sangat rentan. Jadi memang unsur takut itu ada banget," ujar komika yang fokus di topik hak perempuan, kesetaraan, kekerasan-ekstremisme, dan hak pekerja.
Yang terpenting, bagi Sakdiah, para komedian tahu persis yang ingin disampaikan. Komedian harus memiliki pengetahuan, data, dan referensi. Semua yang disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan.
"Jadi, yang penting, kita sendiri yakin dan tahu persis dengan yang kita sampaikan sehingga bisa mempertanggungjawabkan.
Soal aman, tidak pernah ada jaminan ya kecuali memang freedom of expression benar-benar dipegang seperti di negara demokrasi mapan," ujar Sakdiah.
Tampak sama
Fenomena yang menimpa Bintang Emon, bagi sebagian kalangan, dianggap tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada grup-grup pelawak pada masa Orde Baru. Sebut saja, Grup Bagito yang terdiri dari tiga pelawak, Hadi Wibowo alias Unang, Dedi Gumelar alias Miing, dan Didin Pinasti alias Didin.
Bagito populer di tengah rezim Orde Baru. Saat itu, Bagito dikenal dengan lawakan nakal yang sering kali mengkritisi pemerintah.
Miing mengungkapkan, di setiap manggung, di belakang panggung selalu ada dua aparat dengan jabatan kolonel. Mereka menjaga jalannya pentas dengan pistol di kaki. Itu terjadi sekitar tahun 1996.
"Kita mau ngelawak gimana coba? Gimana mau lucu melihat pistol," ujar Miing melalui sambungan telepon.
Ketika dipanggil untuk pentas di depan Presiden Soeharto, Miing mengaku, dua minggu sebelum pentas sudah diingatkan agar tak boleh mengkritik dengan keras. Semua narasi pentas diatur.
Namun, menurut Miing, fenomena itu tak jauh berbeda, seperti yang dialami Bintang Emon. Mungkin dahulu, dia dihadapkan langsung dengan aparat, sedangkan sekarang dengan sekelompok masyarakat yang "seolah-olah" mewakili masyarakat lain. Kehadiran media sosial membuat sekelompok masyarakat itu seperti penembak gelap. Tidak diketahui identitas aslinya.
"Jadi represifnya berbeda. Sekarang lebih kepada psikologis. Ada yang mengkritik, langsung ramai-ramai dihajar di media sosial. Ini yang berbahaya dan merusak demokrasi. Masyarakat berperan seolah-olah aparat," ucap Miing.
Saat dihubungi, ia mengaku masih terbaring di rumah sakit sehabis menjalani operasi batu empedu. Di tengah kondisi itu, bersedia berbagi cerita setelah mengetahui kabar komedian muda telah terkekang kebebasan ekspresinya.
Menurut Miing, konten video Bintang Emon telah mampu memotret fenomena sosial yang ada. Unsur humor yang dibawa bernada satire. "Tak semua pelawak punya kemampuan itu," kata Miing.
Sejak masa kerajaan
Ditarik ratusan tahun yang lalu, unsur komedi sebenarnya telah ada di balik kisah pewayangan hingga kerajaan. Sejarawan Dwi Cahyono menceritakan, di kisah pewayangan, unsur komedi muncul di relief cerita Ramayana yang dipahatkan di Candi Induk Penataran di Jawa Timur.
Relief menggambarkan ketika raksasa Kumbakarna diserang kera-kera, anak buahnya Anoman. Ulah para kera ini yang menjadi komis atau mengundang tawa. Misal, ada cerita bahwa kera-kera menggigit hidung Kumbakarna.
"Kok yang digigit hidungnya, bukan bahu. Itu, kan komis. Disisipkan hal-hal kecil agar orang tak bosan membaca cerita perang. Ini rodo mbeling sing mahat (rada \'nakal\' yang memahat)," tutur Dwi.
Kisah lucu ini terus menurun hingga hingga masa Majapahit saat ditemukan Prasasti Pabanyolan di Malang bagian Timur, hingga kisah Hayam Wuruk yang "menyentil" pejabat-pejabatnya dan warganya lewat suatu acara pentas seni semasa itu.
Makin maju, aktivitas humor diadaptasi dalam bahasa Jawa menjadi "ndagel" atau kerap disebut dagelan. Secara harafiah, "ndagel" artinya mentok. "Orang kepepet karena kelabakan, kan, jadi lucu. Itu menjadi komis," katanya.
Setelah itu, mulai muncullah kesenian ludruk, yang isinya kidungan menggelitik. Lalu diikuti dengan ketoprak, yang tak jauh berbeda dengan dagelan.
"Dalam seni pertunjukan itu ada kritik sosial yang disisipkan. Ada muatan yang muatan itu berupa kritik sosial, yang berupa sentilan-sentilan. Yang disentil bisa siapa saja. Dan yang kena sentil tak boleh marah. Kalau sekarang, kan, yang kena sentil malah mengamuk," ujar Dwi, yang juga pengajar pada Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
Fenomena yang terjadi ke Bintang kini menunjukan potensi bahaya itu masih ada. Bintang sekaligus menguatkan adanya "kekuatan" yang tak suka dengan pengkritik. Akankah kita mau mundur di masa Orde Baru, atau malu dengan masa kerajaaan yang tidak terluka dengan berbagai kritik?