Mahfud MD: Tunda Pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila
Presiden Joko Widodo memutuskan tidak akan mengirimkan surat presiden pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila kepada DPR. Pemerintah meminta DPR untuk menunda pembahasan RUU inisiatif DPR itu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI dan RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah memutuskan untuk meminta DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Dengan begitu, Presiden Joko Widodo juga memutuskan tidak akan mengirimkan surat presiden atau surpres pembahasan RUU kepada DPR.
Penegasan terkait sikap pemerintah terkait RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) itu disampaikan Mahfud bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Kantor Menko Polhukam di Jakarta, Selasa (16/6/2020) sore. Mahfud mengatakan bahwa dia dan Menkumham baru saja dipanggil Presiden Jokowi untuk menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait dengan RUU HIP.
Menurut Mahfud, RUU tersebut adalah inisiatif DPR yang disampaikan kepada pemerintah. Setelah mempelajari isi RUU HIP dan berbicara dengan sejumlah kalangan, pemerintah memutuskan untuk meminta DPR menunda pembahasan RUU tersebut. Seperti diketahui, DPR telah memutuskan bahwa RUU HIP masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020.
”Penundaan ini diharapkan agar DPR dapat berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh elemen masyarakat,” kata Mahfud.
Selain itu, secara substansi Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan untuk Menyebarluaskan Paham Komunis, Marxisme, dan Leninisme merupakan produk hukum yang mengikat dan tak bisa dicabut negara atau UU. Presiden juga mengatakan, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan yang disahkan 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pancasila itu juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan untuk Menyebarluaskan Paham Komunis, Marxisme, dan Leninisme merupakan produk hukum yang mengikat dan tak bisa dicabut negara atau UU.
Sementara itu, Menkumham menambahkan bahwa pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU tersebut memberikan kesempatan kepada DPR untuk mendengarkan masukan dari masyarakat. Dengan begitu, kata Yasonna, masyarakat dapat duduk tenang dan melihat substansi RUU tersebut dengan baik. Terkait dengan prosedur atau tata cara perundang-undangannya nanti akan ditindaklanjuti dengan DPR.
”Kami akan secara resmi berdiskusi dan berkomunikasi dengan DPR terkait langkah-langkah dan prosedur administratifnya (penundaan pembahasan RUU HIP),” kata Yasonna.
Yasonna juga menegaskan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 adalah produk hukum yang mengikat. Bahkan, TAP MPRS itu sudah dipertegas dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Pancasila. Dalam TAP MPR Nomor I/2003 itu disebutkan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/1996 tetap berlaku.
Lebih lanjut, Yasonna juga meminta masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan mengenai polemik trisila dan ekasila dalam RUU tersebut. Sebab, sikap pemerintah tegas bahwa Pancasila yang sah adalah Pancasila yang ada di pembukaan UUD 1945. Pancasila yang terdiri dari lima sila tersebut adalah satu kesatuan dan dalam satu tarikan napas pemahaman.
Belum menerima
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan, DPR belum menerima surat resmi atas keputusan pemerintah yang menunda pembahasan RUU HIP tersebut.
”Karena DPR berkirim surat resmi kepada pemerintah, maka sebaiknya sikap pemerintah juga disampaikan secara tertulis. Apakah pemerintah mau menunda, menolak, atau menyetujui pembahasan. Kami juga mengapresiasi aspirasi dan pendapat yang berkembang di masyarakat yang sangat kritis terhadap RUU ini,” katanya.
Menurut Baidowi, jika pemerintah menolak pembahasan, berarti RUU HIP dikembalikan ke DPR dan tidak ada pembahasan lebih lanjut. ”Jika disusun kembali, DPR punya kesempatan luas untuk menampung aspirasi. Mekanismenya sudah diatur dalam UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019. Jadi, ya kami menunggu surat resmi pemerintah,” katanya.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menyerukan agar pembahasan RUU HIP tidak diteruskan. Sebab, sejumlah pasal dalam RUU HIP itu dinilai bertentangan dengan Pancasila yang menjadi konsensus kebangsaan.
Upaya untuk menafsirkan kembali Pancasila dalam bentuk UU pun dipandang tidak perlu dilakukan. Sebab, Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional.
”Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Menurut Said, RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah pada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh pendiri bangda bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang penuh polemik.
”Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional,” katanya.
Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
PBNU berpendapat, sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional. Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, jalan keluarnya adalah reformasi paket undang-undang bidang politik.
Begitu pula jika ada masalah terkait dengan haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila. Dalam konteks itu, menurut PBNU, yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 Ayat (5) UUD 1945.