MK Mulai Sidangkan Pengujian UU Penetapan Perppu Covid-19
MK akan mulai menyidangkan uji formil dan materiil UU No 2/2020 tentang Penetapan Perppu Covid-19. Sejumlah pihak menilai, pengujian formil undang-undang tersebut diperlukan karena penetapan Perppu Covid-19 cacat formil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua perkara uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 segera diperiksa Mahkamah Konstitusi pada Kamis (18/6/2020). Perkara ini merupakan babak baru setelah uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 berhenti di tengah jalan karena disahkan menjadi UU.
Di dalam laman www.mkri.id, dijadwalkan dua sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 37/PUU-XVIII/2020 dan 38/PUU-XVIII/2020. Perkara nomor 37/PUU-XVIII/2020 didaftarkan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). YAPPIKA menguji konstitusionalitas sejumlah pasal, yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Angka 1 ,2, dan Angka 3, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) Huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 29 UU No 2/2020. Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 23, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat UUD 1945.
Adapun perkara nomor 38/PUU-XVIII/2020 didaftarkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Selasa (16/6/2020), mengatakan, uji materi ini merupakan perkara baru setelah pengujian Perppu No 1/2020 berhenti di tengah jalan karena kehilangan obyek perkara. MAKI kemudian mengajukan uji formil dan materiil UU No 2/2020.
Sementara, untuk uji materi, MAKI mempersoalkan Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3) UU No 2/2020 tentang imunitas pengguna anggaran Covid-19. MAKI menggunakan batu uji Pasal 1 Ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 Ayat (1), dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
”Untuk perkara baru ini, kami telah mendapatkan undangan dari Mahkamah Konstitusi untuk hadir dalam pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (18/6/2020) pukul 13.00,” kata Boyamin.
Boyamin mengatakan, dalam perkara baru ini, MAKI menguji secara formil ataupun materiil UU No 2/2020. Dari sisi formil, MAKI melihat ada sejumlah kejanggalan dalam penetapan perppu menjadi undang-undang di DPR.
Menurut UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu seharusnya dibahas dan ditetapkan menjadi undang-undang dalam masa sidang berikutnya. Namun, Perppu No 1/2020 ini ditetapkan di masa sidang yang sama saat pemerintah mengajukan surat presiden kepada DPR. Dengan demikian, unsur kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat terbitnya perppu itu tidak teruji oleh DPR. Pengesahan UU itu pun dinilai cacat secara formil.
”Kami meminta UU No 2/2020 ini dibatalkan sepenuhnya karena cara pengesahan yang cacat di DPR,” ujar Boyamin.
Kami meminta UU No 2/2020 ini dibatalkan sepenuhnya karena cara pengesahan yang cacat di DPR.
Sementara untuk uji materiil, Boyamin menjelaskan bahwa pihaknya menilai hak kekebalan hukum pejabat keuangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UU No 2/2020 harus dibatalkan. Semua orang, termasuk pejabat, harus cermat dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan keputusan apalagi terkait keuangan negara dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pengujian tersebut bertujuan memberikan rambu kepada pejabat untuk menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara dengan tata kelola yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme.
”Soal pasal kekebalan terhadap pejabat keuangan ini, kami ibaratkan dengan berkendara di jalan raya. Meskipun sudah ada rambu-rambu untuk berhati-hati, tetap saja masih ada kecelakaan lalu lintas. Apalagi jika rambu-rambu itu dicabut, malah berpotensi menimbulkan kekacauan di jalan raya,” kata Boyamin.
Di luar gugatan dari Yappika dan MAKI, MK juga menerima setidaknya empat permohonan pengujian lainnya terhadap UU No 2/2020 ini. Empat perkara lainnya masih dalam proses pengecekan kelengkapan dokumen dan proses registrasi. Salah satu pihak yang mengajukan uji materi itu adalah Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (Tapera). Tapera mendaftarkan gugatan ke MK pada Rabu (10/6/2020).
Di saat sidang pemeriksaan gugatan UU No 2/2020 mulai bergulir, perkara pengujian Perppu No 1/2020 sampai saat ini belum diputus MK. Terakhir, MK menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada Rabu (20/5/2020). Ketika itu, Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang mengungkapkan, secara resmi penghentian pemeriksaan perkara tersebut akan diputuskan di forum rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, saat dikonfirmasi, mengatakan, sejauh ini belum ada jadwal sidang pembacaan putusan pengujian Perppu No 1/2020. Perkara itu masih dibahas hakim konstitusi dalam forum RPH.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, sudah saatnya MK merevisi hukum acara perkara pengujian perppu. Sebab, proses politik dan pengesahan perppu menjadi UU sangat dinamis. Jika tidak ada aturan baku dari MK, akibatnya tidak ada kepastian waktu bagi pencari keadilan.
Sudah saatnya MK merevisi hukum acara perkara pengujian perppu. Sebab, proses politik dan pengesahan perppu menjadi UU sangat dinamis. Jika tidak ada aturan baku dari MK, akibatnya tidak ada kepastian waktu bagi pencari keadilan.
Hal tersebut, kataFeri, adalah akibat dari lemahnya hukum acara persidangan di MK yang hanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Akibatnya, sifatnya sangat subyektif dari kebijakan hakim konstitusi.
Feri berpendapat, ke depan, hukum acara persidangan di MK harus direvisi. Hukum acara itu seharusnya diatur dalam UU, bukan peraturan MK. Hukum acara pengujian perppu juga harus berbeda dengan perkara pengujian UU. Sebab, sifat dan dinamika persetujuan perppu selalu berkejaran dengan waktu.
”Perppu seharusnya direspons dengan masa persidangan yang cepat supaya publik mendapatkan kepastian soal daya laku perppu,” kata Feri.
Ketua DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Erwin Natosmal Oemar juga berpendapat bahwa dalam perkara yang membutuhkan pemeriksaan cepat, MK seharusnya dapat menerapkan skala prioritas. MK sudah pernah menggelar sidang pemeriksaan dan memutus perkara dengan cepat. Contohnya saat MK memutuskan persyaratan mengikuti pemilu presiden dengan memperbolehkan warga negara memilih hanya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) yang berlaku dan kartu keluarga. Putusan itu keluar hanya dua hari menjelang Pilpres 8 Juli 2009.
”Dalam rekam jejaknya, MK sudah pernah responsif terhadap gugatan seperti itu. Seharusnya, hal itu bisa dilakukan kembali dengan melihat urgensi perkara,” kata Erwin.
MK justru terkesan membuat tafsir politik karena tidak menunjukkan konsistensinya dalam memeriksa dan memutus perkara yang membutuhkan waktu cepat, seperti pengujian perppu. Apabila tidak dibenahi, hal itu justru akan memperburuk citra MK karena muncul anggapan MK berpolitik.
Namun, kata Erwin, konsistensi itu tidak terwujud karena selama ini belum ada aturan mengenai hukum acara pemeriksaan di MK. MK justru terkesan membuat tafsir politik karena tidak menunjukkan konsistensinya dalam memeriksa dan memutus perkara yang membutuhkan waktu cepat, seperti pengujian perppu. Apabila tidak dibenahi, hal itu justru akan memperburuk citra MK karena muncul anggapan MK berpolitik. Tingkat kepercayaan para pencari keadilan terhadap MK juga bisa tergerus karena tidak adanya keajekan hukum tersebut.
”Harus ada aturan yang ajek soal perkara-perkara yang membutuhkan waktu pemeriksaan yang cepat itu. Jangan hanya diatur di peraturan MK yang subyektif, tetapi harus diatur di UU. Ini juga merupakan salah satu agenda reformasi MK agar lebih baik lagi ke depan,” kata Erwin.
Di MK sendiri, saat ini juga telah muncul pengujian Perppu No 2/2020 tentang Penundaan Pilkada. Sejumlah pihak berharap MK dapat memeriksa perkara ini dengan cepat. Sebab, salah satu pasal yang dipersoalkan yaitu Pasal 201 A mengatur tentang pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2020. Pemohon uji materi menganggap bahwa pelaksanaan pilkada serentak pada 2020 tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa karena masih dalam status pandemi Covid-19.
Meskipun demikian, pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 itu sudah disepakati oleh DPR, Kementerian Dalam Negeri, penyelenggara, dan pengawas pemilu. Tahapan pilkada yang sempat tertunda karena terdampak Covid-19 juga sudah dilanjutkan pada medio Juni ini.