Saat Tahapan Dimulai Kembali, Perppu Pilkada Dibawa ke MK
MK diminta membatalkan ketentuan dalam Perppu No 2/2020 terkait pelaksanaan pilkada pada Desember 2020. Sebab, tak ada kegentingan yang memaksa perlunya pilkada dilakukan tahun ini, apalagi wabah Covid-19 belum berakhir.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga melintasi mural Komisi Pemilihan Umum yang mengajak peran serta masyarakat dalam pemilu di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (5/6/2020). KPU berharap pembahasan tambahan anggaran untuk pilkada serentak 2020 dengan standar protokol normal baru Covid-19 bisa tuntas sebelum dimulainya tahapan pilkada pada 15 Juni 2020.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tahapan pilkada serentak 2020 yang kembali bergulir, muncul gugatan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Penundaan Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Namun, pengujian konstitusionalitas terhadap payung hukum penundaan pilkada itu dinilai DPR tidak akan menghentikan jalannya tahapan yang sedang berlangsung.
Uji materi Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penundaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota diajukan oleh Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP), Senin (8/6/2020). PWSPP mempersoalkan Pasal 201 A Ayat (1) dan (2) Perppu No 2/2020 tentang Penundaan Pilkada karena adanya bencana non-alam Covid-19. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi sebab melaksanakan pilkada serentak bukan termasuk sebuah kegentingan memaksa seperti diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.
Uji materi perppu di MK merupakan hak masyarakat dan hal tersebut dimungkinkan dalam peraturan perundangan. Namun, selama belum ada perubahan perppu, regulasi tersebut tetap menjadi payung hukum pengambilan keputusan terkait kelanjutan pelaksanaan pilkada serentak 2020.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung saat dihubungi, Minggu (14/6/2020), mengatakan, uji materi perppu di MK merupakan hak masyarakat dan hal tersebut dimungkinkan dalam peraturan perundangan. Namun, selama belum ada perubahan perppu, regulasi tersebut tetap menjadi payung hukum pengambilan keputusan terkait kelanjutan pelaksanaan pilkada serentak 2020. Tahapan pilkada lanjutan yang dijadwalkan dimulai kembali pada 15 Juni ini akan tetap berjalan sesuai agenda.
Seperti diketahui, pemerintah, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu sudah menyepakati bahwa pilkada akan tetap dilaksanakan di Desember 2020.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung
”Perppu sudah berlaku sejak ditandatangani oleh presiden. Selama belum ada perubahan, itu akan tetap menjadi pegangan keputusan apa pun yang diambil terkait pilkada serentak 2020,” kata Doli.
Meski tak akan memengaruhi tahapan yang akan segera dimulai, Doli menyadari bahwa putusan MK berpotensi berimplikasi pada tahapan dan penyelenggaraan pilkada. Komisi II akan melihat perkembangan proses hukum di MK sembari terus menjalankan agenda yang sudah disepakati. Doli berpandangan, belum tentu MK akan mengabulkan gugatan pemohon. Di sisi lain, selama proses persidangan pun pihak-pihak yang digugat tentu akan mempertahankan argumennya terkait perppu.
”Kalau kita menunggu sampai ada putusan MK, itu akan menunda agenda yang sudah diputuskan bersama. Oleh karena itu, sebelum ada putusan, tahapan pilkada tetap berjalan,” kata Doli.
Kalau kita menunggu sampai ada putusan MK, itu akan menunda agenda yang sudah diputuskan bersama. Oleh karena itu, sebelum ada putusan, tahapan pilkada tetap berjalan. (Ahmad Doli Kurnia)
Saat ini, uji materi perppu tersebut belum diregistrasi oleh MK. Petugas MK masih memeriksa kelengkapan dokumen pengajuan perkara.
Kepastian hukum
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat, uji materi Perppu No 2/2020 ke MK menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada. Sebab, pilkada di masa pandemi sangat berisiko dan mengancam keselamatan warga.
Menurut Titi, ruang perbedaan hukum itu dimungkinkan karena Pasal 201 A Ayat (3) Perppu No 2/2020 membuka tafsir bahwa pilkada serentak masih dimungkinkan ditunda. Apalagi, keputusan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilihan untuk melanjutkan pilkada serentak 2020 itu juga banyak ditolak oleh masyarakat. Bahkan, menurut survei, masyarakat tidak menganggap agenda pilkada sebagai prioritas. Masyarakat skeptis dan khawatir dengan penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020, terutama dari aspek kesehatan. Masyarakat justru berharap pilkada dapat ditunda pelaksanaannya hingga 2021.
”Kami berharap lembaga peradilan dapat menangani perkara tersebut dengan cepat, dan bijaksana, tanpa berlarut-larut karena masyarakat membutuhkan kepastian hukum,” kata Titi.
Kami berharap lembaga peradilan dapat menangani perkara tersebut dengan cepat, dan bijaksana, tanpa berlarut-larut karena masyarakat membutuhkan kepastian hukum. (Titi Anggraini)
Apa pun yang diputuskan MK nanti, lanjut Titi, akan berdampak pada kualitas dan jaminan penyelenggaraan pilkada serentak. Sebab, baik dikabulkan maupun ditolak, putusan MK akan membawa konsekuensi kepastian hukum bagi penyelenggaraan pilkada. Tak tertutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bawah perppu seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Tahapan Pilkada juga akan dipersoalkan oleh masyarakat.
Kompas/Wawan H Prabowo
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem
”Kami berharap proses dan putusan peradilan dapat berjalan dengan selaras dan tidak berdampak pada kualitas dan jaminan penyelenggaraan pilkada. Sebab, putusan MK berpotensi berdampak bagi jajaran pemangku kepentingan baik penyelenggara maupun peserta pilkada serentak itu sendiri,” kata Titi.
Ketua PWSPP Johan Syafaat Mahanani dalam permohonan uji materinya menyebutkan, meskipun syarat formil perppu sudah terpenuhi, sebenarnya pelaksanaan pilkada serentak di Desember bukanlah suatu kegentingan yang memaksa. Sebab, Indonesia masih mengalami bencana non-alam Covid-19. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bahwa setiap orang diminta menjaga jarak dan mengurangi aktivitas untuk mencegah penularan Covid-19.
Apabila pilkada serentak tetap dilaksanakan, justru akan menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap penularan Covid-19. (Johan Syafaat Mahanani)
Johan menjelaskan, mengacu pada Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, Presiden memiliki hak konstitusional subyektif untuk mengeluarkan perppu dalam hal ihwal kegentingan memaksa. Selain itu, dalam putusan MK Nomor 138 /PUU—VII/2009 juga disebutkan tentang tiga syarat penerbitan perppu. Pertama, adanya kegentingan memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat; adanya kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; serta kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena memakan waktu lama.
”Apabila pilkada serentak tetap dilaksanakan, justru akan menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap penularan Covid-19,” kata Johan.
Selain itu, PWSPP juga menilai bahwa alasan pemerintah melaksanakan pilkada serentak di tahun ini tidak tepat. Pemerintah mengemukakan, tidak ada yang dapat memprediksi kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Selain itu, sejumlah negara pun tetap melaksanakan pemilu lokal dan nasional di tengah pandemi Covid-19 dengan protokol kesehatan ketat. Namun, alasan itu tidak dapat disamaratakan dengan Indonesia karena regulasi, dukungan anggaran, dan teknologi yang berbeda di setiap negara.
Lebih lanjut, Johan mengatakan bahwa saat ini negara juga membutuhkan biaya besar untuk penanganan Covid-19. Anggaran negara seharusnya tidak dibebani lagi untuk penyelenggaraan pilkada. Pilkada yang dilaksanakan di tengah pandemi akan menguras banyak anggaran, misalnya untuk pengadaan alat pelindung diri (APD). Jika tetap dilaksanakan di Desember 2020, pilkada akan memakan anggaran besar dan membebani keuangan negara. Padahal, anggaran tersebut lebih baik digunakan untuk penanganan kesehatan ataupun pemulihan dampak ekonomi akibat Covid-19.
Dari sisi waktu pelaksanaan, walaupun hari pemungutan suara akan dilaksanakan pada Desember 2020, tahapannya akan dimulai sejak Juni, di saat daya tular Covid-19 masih tinggi. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020, tahapan pilkada serentak dimulai sekitar enam bulan sebelumnya. Waktu itu digunakan untuk membentuk panitia penyelenggara sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Hal itu akan berisiko bagi kesehatan masyarakat. Apalagi, tahapan pilkada yang belum dilaksanakan juga akan bersinggungan langsung dengan masyarakat sehingga rawan menularkan Covid-19, terutama di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada.
Saat ini, negara juga membutuhkan biaya besar untuk penanganan Covid-19. Anggaran negara seharusnya tidak dibebani lagi untuk penyelenggaraan pilkada. Pilkada yang dilaksanakan di tengah pandemi akan menguras banyak anggaran, misalnya untuk pengadaan alat pelindung diri (APD).
Lebih lanjut, pelaksanaan pilkada pada Desember juga dinilai bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nocV) sebagai Penyakit yang Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya. SK tersebut menyebutkan bahwa untuk mencegah meluasnya penularan virus, pemerintah mengeluarkan kebijakan penjarakan sosial (social distancing). Sementara tahapan pilkada yang akan bersinggungan dengan masyarakat banyak seperti verifikasi faktual pemilih, verifikasi dukungan calon perseorangan, kampanye, hingga perhitungan suara kontradiktif dengan kebijakan tersebut.
”Pelaksanaan tahapan pilkada yang masih tersisa sendiri justru tidak sejalan dengan imbauan pemerintah untuk tetap di rumah, menjaga jarak demi mencegah penularan Covid-19,” kata Johan.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Spanduk pengumuman pencalonan Wali Kota Manado Vicky Lumentut dalam perebutan kursi Gubernur Sulawesi Utara serta spanduk pencalonan Wakil Wali Kota Manado Mor Dominus Bastiaan dalam pemilihan wali kota Manado pada Pilkada 2020 berdiri di Kelurahan Bailang, Bunaken, Manado, pada Rabu (29/4/2020).
Melalui uji materi tersebut, PWSPP meminta MK untuk menyatakan Pasal 201 A Ayat (1) dan (2) Perppu No 2/2020 bertentangan dengan konstitusi. Pasal 201 A Ayat (1) menyebutkan bahwa ”pemungutan suara serentak sebagaimana diatur dalam Pasal 201 Ayat (6) ditunda karena bencana non-alam”. Adapun dalam Pasal 201 A Ayat (2) disebutkan bahwa ”Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dilaksanakan pada Desember 2020”.
Mereka menggunakan batu uji Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi ”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.