Masyarakat Masih Permisif terhadap Politik Transaksional
Masyarakat masih permisif terhadap politik uang dalam kontestasi politik lokal dan nasional. Dari temuan BPS pun, di tingkat keluarga, ada tren makin permisif terhadap korupsi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat masih sangat permisif terhadap politik uang baik dalam pemilihan kepala desa, kepala daerah, dan pemilihan umum lainnya. Mereka menganggap wajar pemberian uang, barang, atau fasilitas lain selama kontestasi politik tersebut. Budaya politik transaksional ini perlu dihilangkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
Temuan tersebut terungkap dalam Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/6/2020). Tahun ini, skor IPAK mencapai 3,84 dari skala 5 (semakin besar skor, masyarakat semakin cenderung antikorupsi). Ada kenaikan skor IPAK sebesar 0,14 poin di tahun ini dibandingkan tahun 2019.
Meskipun skor IPAK naik, persepsi masyarakat terhadap korupsi di lingkup publik masih perlu diperbaiki. Salah satunya adalah politik transaksional selama pemilu yang masih dianggap wajar oleh masyarakat.
Meskipun skor IPAK naik, persepsi masyarakat terhadap korupsi di lingkup publik masih perlu diperbaiki. Salah satunya adalah politik transaksional selama pemilu yang masih dianggap wajar oleh masyarakat.
BPS menyusun indeks ini dengan menggunakan dua dimensi, yaitu persepsi masyarakat yang berupa penilaian mereka terhadap perilaku antikorupsi di masyarakat serta pengalaman masyarakat. Dimensi pengalaman mencakup pengalaman masyarakat dalam mengakses layanan publik dan pengalaman lainnya, seperti pemilu. IPAK hanya mengukur perilaku korupsi kecil-kecilan (petty corruption), bukan kasus korupsi besar.
”Walaupun yang diukur adalah korupsi kecil-kecilan, sebenarnya jika ingin menghilangkan budaya koruptif di Indonesia itu harus dimulai dari hal-hal kecil ini,” ujar Kepala BPS Suhariyanto.
Ia menjelaskan, dari dimensi persepsi, ada tren masyarakat semakin permisif terhadap korupsi di tahun ini. Ada penurunan indeks sebesar 0,12 dari 3,80 di 2019 menjadi 3,68 di tahun 2020. Namun, dari dimensi pengalaman justru ada peningkatan, yaitu dari 3,65 menjadi 3,91.
Salah satu yang menjadi catatan BPS dalam IPAK 2020 ini adalah meningkatkan persentase sejumlah indikator dimensi persepsi dan pengalaman baik di lingkup keluarga, komunitas, maupun publik. Angka dalam persentase ini menunjukkan berapa persen masyarakat yang menganggap perilaku koruptif sebagai tindakan wajar. Artinya, semakin tinggi persentase, semakin permisif pula masyarakat terhadap korupsi.
Di lingkup publik, misalnya, masyarakat masih permisif dan menganggap wajar terhadap pembagian uang, barang, dan fasilitas pada saat pemilihan umum, baik pilkades, pilkada, maupun pileg dan pilpres.
Di lingkup publik, misalnya, masyarakat masih permisif dan menganggap wajar terhadap pembagian uang, barang, dan fasilitas pada saat pemilihan umum, baik pilkades, pilkada, maupun pileg dan pilpres. Persepsi masyarakat terhadap korupsi kecil di lingkup publik ini naik signifikan sebesar 11,85 poin di tahun ini. Tahun lalu, persentasenya hanya 20,89 persen. Kini, naik menjadi 32,74 persen.
”Ada pelemahan persepsi publik di lingkup publik ini dibandingkan pada tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa harus ada pendidikan politik yang lebih baik lagi bahwa politik uang atau transaksional melanggar aturan dan prinsip demokrasi yang baik,” kata Suhariyanto.
Menurut Suhariyanto, kedua belah pihak memiliki andil dalam persepsi masyarakat terhadap politik transaksional ini. Dari temuan BPS, masyarakat permisif terhadap pemberian uang, barang, atau fasilitas selama pemilu. Adapun dari kandidatnya sendiri juga menganggap wajar pemberian uang, barang, dan fasilitas kepada calon pemilih.
Indeks persepsi itu juga sejalan dengan indeks pengalaman masyarakat. Dalam dimensi pengalaman, ada peningkatan sebesar 10,82 persen masyarakat yang mengalami tawaran uang, barang, dan fasilitas saat pilkades, pilkada, dan pemilu terakhir. Ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi di Indonesia belum matang. Harus ada pendidikan politik yang terus-menerus agar masyarakat paham bahwa politik transaksional melanggar aturan dan prinsip-prinsip demokrasi yang baik.
Dalam dimensi pengalaman, ada peningkatan sebesar 10,82 persen masyarakat yang mengalami tawaran uang, barang, dan fasilitas saat pilkades, pilkada, dan pemilu terakhir. Ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi di Indonesia belum matang.
Sikap antikorupsi di keluarga
Hal lain yang disoroti dalam IPAK 2020 ini adalah penurunan persepsi terhadap perilaku koruptif di lingkup keluarga. Misalnya, terlihat dari sikap istri yang permisif terhadap penghasilan suami di luar gaji tanpa mempertanyakan asal-usul uang tersebut. Selain itu, masyarakat juga permisif terhadap tindakan aparatur sipil negara (ASN) yang menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga. Saat pemilu, orangtua bahkan mengajak anaknya dalam kampanye demi mendapatkan imbalan tertentu.
”Ada penurunan persepsi korupsi di lingkup keluarga yang dianggap wajar oleh masyarakat. Peningkatan tertinggi adalah pada perilaku menggunakan barang milik anggota keluarga tanpa seizin pemiliknya,” kata Suhariyanto.
Adapun persepsi di tingkat komunitas, masyarakat juga masih menganggap wajar pemberian uang, barang, atau fasilitas lain kepada ketua RT/RW/kepala desa/atu lurah ketika menjelang hari raya keagamaan.
Suhariyanto menambahkan, bahwa indeks persepsi dan pengalaman di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal itu lantaran di perkotaan pendidikan masyarakat semakin tinggi. Tingkat pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap dimensi persepsi dan pengalaman masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin antikorupsi. Mereka yang berusia di bawah 40 tahun juga terbukti lebih idealis dan antikorupsi dibanding angkatan yang lebih tua.
Tingkat pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap dimensi persepsi dan pengalaman masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin antikorupsi.
Kreativitas program
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana mengatakan, memang ada kultur di masyarakat yang menganggap bahwa memberi dan menerima imbalan tertentu adalah bagian dari kebiasaan. Mereka menganggap ada hal yang kurang ketika seorang kandidat tidak memberikan sesuatu kepada mereka saat kontestasi pemilu.
Sederet aturan soal politik uang pun cenderung menjadi macan kertas dan diabaikan oleh pemilih dan kandidat. Meskipun demikian, salah satu cara untuk mengubah kebiasaan itu adalah dengan mengubah program yang inovatif dari kandidat untuk menggalang dukungan. Dibutuhkan cara-cara baru yang di luar kebiasaan agar masyarakat tak lagi permisif terhadap politik transaksional.
”Memang kondisi masyarakat kita bisa dibilang anomali. Ini menjadi kondisi riil yang terlembagakan bahwa kandidat harus memberikan sesuatu entah itu berupa uang ataupun barang saat kampanye,” kata Aditya.
Menurut Aditya, selain memperkuat sisi pengawasan dan penegakan aturan terkait politik transaksional, kandidat sendiri juga harus berpartisipasi dalam mengubah persepsi masyarakat. Kandidat perlu melakukan cara-cara anti-mainstream agar tidak terjebak dalam situasi politik transaksional. Mereka juga memiliki peran penting untuk mengedukasi pemilih dengan cara yang baik. Salah satunya dengan kreativitas program dan kegiatan produktif selama kampanye.