Masyarakat Ingin Lihat Foto Prajurit, Bukan Foto Jenderal...
Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo baru saja berpulang, Sabtu (13/6/2020). Mantan KSAD dan Danjen Kopassus ini punya resep buku tentara agar laku: perbanyak foto prajurit di lapangan, bukan pejabat TNI-nya.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo, mantan KSAD dan Danjen Kopassus, baru saja berpulang, Sabtu petang (13/6/2020) di RSU Cimacan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, di usia 65 tahun. Pramono Edhie adalah sosok jenderal yang rendah hati dan tegas.
Dalam satu kesempatan ketika menjadi Pangdam III Siliwangi tahun 2010, Kompas dan penerbit Red dan White berkesempatan bertemu Mayjen Pramono Edhie Wibowo di ruang kerja Pangdam Siliwangi di Kota Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, pertemuan ramah-tamah tersebut dilakukan terkait rencana penerbitan ulang buku Kopassus untuk Indonesia.
Sewaktu menjadi Danjen Kopassus pada 2009, Mayjen Pramono Edhie Wibowo meminta untuk dibantu menyusun buku Kopassus untuk Indonesia sebagai semacam bacaan populer, tetapi menggambarkan reformasi militer yang sudah dijalankan Kopassus pasca-1998.
Tak dinyana, buku yang dirilis akhir tahun 2009 itu mendapat respons positif sehingga direncanakan cetak ulang ketika Pramono Edhie sudah pindah dan menjabat Pangdam III Siliwangi. Saat bertemu penulis, Pramono Edhie bercerita, teman-temannya sesama jenderal TNI menanyakan, apa rahasianya sehingga buku Kopassus untuk Indonesia yang digagas dirinya bisa laku di toko buku.
”Saya jawab ke teman-teman, buku tentang tentara yang isinya tentang prajurit dan foto prajurit. Kenapa buku yang diterbitkan tentara tidak menjual di masyarakat atau toko buku karena isi buku dari depan sampai belakang yang banyak adalah foto jenderal atau foto komandan dan keluarga komandan. Masyarakat ingin lihat prajurit dan foto prajurit. Bukan foto pejabat TNI-nya. Yang menarik, ya, kehidupan prajurit di lapangan,” tegas Pramono Edhie.
Proses kreatif penulisan buku Kopassus untuk Indonesia ketika itu sepenuhnya didukung oleh Pramono Edhie. ”Perlu narasumber siapa saja, sampaikan. Semua akses kami berikan,” kata Pramono Edhie dalam beberapa kali rapat di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, bersama dengan Wadanjen Brigjen (TNI) Wisnu Bawatenaya (sekarang Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia), Korspri Kolonel (Inf) Farid Makruf, dan para pejabat Kopassus.
Ketika itu, penulis bertemu dengan para pelaku sejarah Kopassus yang berkiprah selepas tahun 1998 hingga 2009 dalam berbagai operasi tempur, latihan berskala internasional di dalam dan luar negeri, operasi kemanusiaan, serta misi PBB di berbagai penjuru dunia.
Setiap malam, penulis bertemu prajurit, bintara, perwira dari berbagai satuan Kopassus di Grup I, Grup II, Mako, Satuan Gultor, Sandi Yudha, hingga perempuan TNI di Kopassus yang menjalankan berbagai penugasan di dalam dan luar negeri. Berbagai kisah humanis dijadikan fokus dari penulisan buku tersebut.
Kepercayaan Pramono Edhie kepada Kompas memang sudah terjalin lama. Pada tahun 1997, Pramono Edhie bersama wartawan senior Kompas Rudy Badil (alm) serta tim gabungan Kopasssus dan pencinta alam, terlibat dalam Tim Pendakian Everest tahun 1997 di masa Kopassus dipimpin Mayjen (TNI) Prabowo Subianto.
Secara berkala, terkait penulisan Kopassus untuk Indonesia, Pramono Edhie pun turut memantau perkembangan dan berkomunikasi dengan penulis. Suatu ketika, pada November 2009, ketikapenulis sedang mengikuti Ekspedisi Pulau Terluar bersama Tim Wanadri dan beberapa peneliti Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, di perairan Laut Flores, Pramono Edhie menelepon dan menanyakan perkembangan terakhir penulisan buku.
Sedianya buku akan diselesaikan beberapa bulan lagi, tetapi ada perintah baru bagi Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo untuk menjabat Panglima Kodam III Siliwangi. ”Mas, saya sertijab dipercepat, tolong bukunya disegerakan ya sebelum sertijab,” pesan Pramono Edhie ketika itu.
Pramono Edhie yang memberikan akses penuh ke berbagai informasi dan operasi yang dilakukan akhirnya mengedit beberapa material yang dianggap masih sensitif ataupun rahasia. Meski demikian, kepercayaan dan akses penuh yang diberikan adalah kesempatan langka bisa mengetahui beragam kegiatan Kopassus era 1998-2009.
Ketika buku akan dicetak ulang pun, Pramono Edhi berpesan, ”foto saya cukup di edisi pertama”, selanjutnya perbanyak foto anggota dan kegiatan para prajurit. Buku ini adalah kebanggaan mereka sebagai prajurit dan kebanggaan masyarakat kepada Kopassus. Buku tersebut hingga kini sudah dicetak dan direvisi hingga empat kali.
Bahkan, di lapak penjual buku bekas online, harga buku yang digagas Pramono Edhie Wibowo itu sudah dijual lima kali lipat dari harga perdana hingga mencapai Rp 500.000 per jilid.
Ketika menjabat Pangdam III Siliwangi dan KSAD pun, Pramono Edhie diam-diam melakukan berbagai pembenahan. Pada satu kesempatan, dia bercerita tentang upayanya mengembalikan aset TNI AD, seperti rumah dinas di Jalan Riau, Bandung, yang banyak dijadikan factory uutlet oleh pihak yang tidak berhak.
Dia pun sadar diri dan mawas diri ketika sedang berkarier, ternyata kakak iparnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Presiden Republik Indonesia. ”Ketika menjadi ipar Presiden, tentu saya disorot. Saya disorot juga dan harus membawa diri,” kata mantan ADC Presiden Megawati Soekarnoputri yang selalu low profile ini.
Lama tidak bersua, kepergian Pramono Edhie Wibowo sangat mengejutkan. Selamat jalan Jenderal yang bersahaja....