Merekam Pandangan ”Netizen” soal Normal Baru Covid-19 di Dunia Maya
Kajian LP3ES bersama Media Kernels Indonesia dalam riset ”Normalisasi New Normal dalam Perang Opini Publik” menunjukkan terjadinya kontestasi narasi netizen di ruang maya. Ada kritik, juga ada dukungan atas normal baru.
Penyampaian pendapat merupakan bagian demokrasi. Sebagian berupa kritik. Sebagian lagi berupa dukungan. Hal yang sama terekam dalam pendapat-pendapat warganet alias pengguna internet di ruang digital, terkait normal baru atau new normal dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Di abad informasi, pembentukan opini publik tidak hanya berasal dari dapur media massa dengan ikatan terhadap etika jurnalistik, tapi bisa berasal dari siapa pun juga.
Joel Penney (2017) dalam buku The Citizen Marketer: Promoting Political Opinion in The Social Media Age menyebutkan, dari perspektif praktik pemasaran kontemporer, gagasan ihwal pengaruh peer to peer sebagai sebuah jaringan dan fenomena agregat, bukan hanya menjadi sebuah kebijaksanaan. Namun juga merupakan strategi inti komunikasi persuasif di era digital.
Bahkan, sebagaimana dikutip dari Penney, salah satu alasan utama mengapa penting untuk mempertimbangkan aktivitas penyebaran media politik dengan kerangka pemasasan dari mulut ke mulut atau viral, sebagaimana terjadi via media sosial, adalah karena banyak pihak yang mengadopsi itu.
Di dalamnya dilakukan oleh para aktor organisasi, mulai dari kampanye pemilihan hingga kelompok-kelompok advokasi isu. Semuanya telah dengan secara sengaja mengadopsi model tersebut sebagai cara memperluas jangkauan dan kredibilitas pesan persuasif mereka.
Baca juga : Presiden Jokowi Ajak Masyarakat Berdamai dengan Covid-19
Riset big data yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama Media Kernels Indonesia menunjukkan adanya fenomena tersebut. Riset bertajuk ”Normalisasi New Normal dalam Perang Opini Publik” itu dilakukan pada 15 Mei hingga 7 Juni 2020.
Selama masa riset itu, terdapat dua sumber penarikan data. Pertama, opini publik yang ada di sejumlah kanal media daring. Kedua, opini publik yang terbentuk dan dibentuk di berbagai platform media sosial, yakni Twitter, Facebook, Youtube, dan Instagram.
Dari riset tersebut, ditemukan pada 15 Mei-1 Juni, Twitter mendominasi sebagai platform pembentukan opini publik terkait normal baru dan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yakni mencapai 80 persen percakapan. Hal ini diikuti pembicaraan di Instagram, Facebook, dan Youtube. Sementara media massa daring menyumbang 13 persen dari seluruh percakapan.
Sementara itu, di periode 1 Juni-7 Juni 2020, Twitter masih mendominasi dengan 72 persen percakapan. Ini masih diikuti dengan Instagram, Facebook, dan Youtube. Media massa daring di periode ini mengambil 15 persen dari seluruh percakapan.
Direktur LP3ES Fajar Nursahid, Kamis (11/6/2020), mengatakan, dari masa pengamatan tersebut, terjadi tiga gelombang isu yang cukup menonjol. Ketiga isu itu juga muncul dalam pemberitaan di sejumlah media massa daring. Pertama, isu mengenai penolakan pelonggaran PSBB dan kebijakan new normal (normal baru). Puncak pembahasan atau pembentukan opini publik atas isu ini berada pada 18 Mei 2020.
Kedua, isu yang berhubungan dengan tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehubungan dengan pelonggaran PSBB atau penerapan normal baru. Puncaknya terjadi pada 28 Mei. Ketiga, adalah isu mengenai geliat ekonomi masyarakat. Puncak pembentukan opini publik atas itu tersebut terjadi pada 4 Juni.
Fajar menyebutkan bahwa riset itu mengunakan konsep normal baru sebagai payung besar. Kemudian dipergunakan sejumlah kata kunci terkait yang mendukung konstruksi besar mengenai normal baru, yakni hal-hal yang dibayangkan publik tentang normal baru.
Persilangan Agenda
Riset menunjukkan adanya persilangan isu di media massa daring dengan media sosial pada 18 Mei dan 4 Juni. Topik-topik hangat di media massa daring pada 18 Mei adalah pelonggaran PSBB, normal baru, dan peringatan bahaya penyebaran Covid-19. Di saat yang sama, perbincangan di media sosial Twitter didominasi dengan sejumlah tagar seperti DisiplinAturanPSBB, TerserahIndonesia, dan indonesiaterserah.
Adapun pada 4 Juni, topik hangat di media massa daring adalah mengenai prinsip PSBB proporsional di Depok (Jawa Barat), pelonggaran PSBB di DKI Jakarta, dan soal mengisi bensin di era normal baru. Pada saat yang sama, perbincangan di media sosial Twitter didominasi tagar PSBBAmiesGagalTotal, NewNormal, dan psbb.
Adanya semacam persilangan antara agenda setting oleh media massa daring dengan perbincangan di media sosial yang sama-sama mencapai puncaknya itu cenderung memunculkan pertanyaan tentang pihak mana sebagai pemberi pengaruh. Apakah berita-berita di media massa daring yang memantik respons pengguna media sosial ataukah sebaliknya?
Natalia Aruguete dalam makalah ”The agenda setting hypothesis in the new media environment” di jurnal Comunicación y Sociedad yang diterbitkan Universitas Guadalajara (Edisi Januari-April 2017) mengutip pertanyaan Thorndyke (2012) mengenai hal itu: Apakah percakapan yang ada di laman media sosial mewakili agenda yang ditetapkan sumber-sumber media populer?”
Aruguete juga mengutip pendapat Rubio Garcia (2014) yang menjadikan Twitter sebagai ”refleksi agenda publik”. Mengikuti hipotesis agenda setting, Garcia lalu memeriksa apakah media tradisional mengantur agenda sejumlah isu di antara warga Spanyol. Ia menemukan korelasi kuat antara isu-isu utama tatkala membandingkan versi digital surat kabar El Pais dan El Mundo, dengan komentar-komentar pengguna Twitter di Spanyol.
Kontras dengan temuan itu, sebagaimana dikutip dari Aruguete, korelasi yang diuji Thorndyke tak sampai pada kesimpulan yang sama. Sekalipun terdapat homogenitas yang kuat dalam cakupan pemberitaan ihwal kerusuhan di Timur Tengah dan krisis keuangan global oleh Al Jazeera, BBC, dan The New York Times, selama periode analisis dilakukan, isu-isu tersebut tidak beroleh tempat menonjol di Twitter. Topik yang lebih menonjol dalam opini publik tampaknya lebih berhubungan dengan media tradisional ketimbang media sosial.
Twitter masih lebih digunakan terutama sebagai tempat mengikuti gosip selebritas dan budaya populer dibandingkan dengan kejadian-kejadian dan berita di dunia. Kemampuan Twitter untuk mengatur agenda tidak sebesar dan sekuat media berita tradisional. (Thorndyke, dalam Aruguete, 2017)
Persaingan digital
Fajar menambahan, analisis data dari sisi media sosial menunjukkan bahwa perbincangan pada 18 Mei banyak didominasi akun-akun masyarakat yang orisinal. Sementara berkebalikan dengan itu, pada perbincangan pada 4 Juni, imbuh Fajar, didominasi oleh para buzzer atau influencer.
Menurut Fajar, pihaknya melihat hal itu sebagai bentuk noise atau gangguan dalam pembentukan opini alih-alih voice. Pasalnya, imbuh Fajar, sejumlah akun buzzer yang selama ini dikenal propemerintah mendominasi perbincangan. Pada saat yang sama, hal itu menutup suara-suara kritis yang kurang setuju dengan kebijakan normal baru.
Kay Lehman Schlozman, Sidney Verba, dan Henry E Brady dalam makalah ”Weapon of the Strong? Participatory Inequality and the Internet” di jurnal Perspectives on Politics Universitas Cambridge (2010) menyebutkan, harapan agar internet bisa mendisrupsi ketidaksetaraan partisipasi politik yang sudah bertahan sebagai pola lama, merupakan hal tidak berdasar. Hal ini berdasar studi tentang praktik politik di Amerika Serikat.
Matthew Hindman (2018) dalam buku The Internet Trap: How the Digital Economy Builds Monopolies and Undermines Democracy mengingatkan bahwa mahalnya biaya distribusi membantu menjelaskan ketidaksetaraan yang berlanjut dalam partisipasi digital. Hindman juga menulis bahwa banyak penelitian terus menemukan bahwa aktivitas politik di internet tetaplah menjadi weapon of the strong.
Diskusi soal relasi buzzer pemerintah mencuat ke ruang publik pada akhir tahun 2019 di banyak negara, termasuk di Indonesia. Saat itu, muncul kajian Oxford Internet Institute (OII) terkait temuan sejumlah pemerintah yang memakai jasa buzzer, seperti China dan Rusia. Indonesia tak disebutkan dalam kajian itu sebagai contoh pemerintah yang memakai jasa buzzer.
Eko Sulistyo yang di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi Deputi IV Kantor Staf Presiden menegaskan, pemerintah memang membutuhkan penyampai informasi yang positif, tetapi itu dilakukan melalui kanal-kanal daring pemerintah. Dia menegaskan, berdasarkan studi OII, tak ada pasukan siber yang dikelola Pemerintah Indonesia. Pengguna jasa buzzer itu ialah kelompok politik dan pihak swasta, bukan pemerintah (Kompas, 11/10/2019).
Di tengah semakin meluasnya penetrasi internet, masyarakat perlu terus menyampaikan pendapat mereka secara orisinal di gawai-gawai berlayar segi empat yang terkoneksi jaringan internet. Agar demokrasi di ruang digital juga tetap orisinal.